Darurat
Oleh: M Taufan Musonip
“Snake Tamers Ditty” Copyright Amy Crehore
|
Pada suatu malam dengan taburan
bintang dan purnama yang cukup sempurna di lubang jendela, saya dapat merasakan
desir seekor ular di kepalanya. Saya pikir setiap wanita setuju, anggota tubuh
yang paling erotis dari seorang lelaki adalah isi otaknya. Maka saya abaikan
sepucuk mawar persembahannya, rayuannya, semua sekedar kata, seperti Il Principe yang di sapu
halamanhalamannya oleh angin, di nakasnya, tak berdaya, karena baru sekedar
sekumpulan katakata.
Maka ular itu jadi dua, seperti
berkembang biak begitu saja, dan saya merasakan keliarannya menembus ke dalam
dada. Begitu hangat. Batas keliaran adalah rahasiarahasia dibalik ambisi
lelaki. Ambisi, tak lain merupakan kuda anganangan yang diciptakan pikiran
sembari menyadari bahwa pikiran memiliki batas kembara. Maka saya memetakan
batasbatas keliaran itu, dengan memahami rahasiarahasia ambisinya:
Dia menginginkan Pasgot tak lagi
mengganggu kariernya. Dan saya diminta mendekatinya. Pasagon mau saya menjadi
stafnya dan menggali sebanyakbanyaknya sepak terjang Pasgot dalam menjalin
perkawanan dengan para klien.
“Apa yang harus kulakukan?”
“Aku ingin kau jadi kepercayaan
Pasgot, manis, dan perbudaklah dia”
“Kupikir itu tak mudah.”
“Kau perempuan cerdas, Resty. Aku
percaya kau bisa melakukannya”
Pasagon mengecup bibir saya dan
berjanji, setelah semuanya selesai, dia akan memenuhi apa yang saya minta, termasuk
menceraikan istrinya. Tapi saya tak menginginkan itu. Saya menginginkan uang,
sebagaimana kodrat saya. Setelah itu Il
Principe dibacakan, saat seperti itu
Pasagon lebih mirip seorang pendakwah ketimbang Al Pacino.
***
Dalam kepalanya ada anjing. Itulah
yang membedakan Pasgot dengan Pasagon. Pasgot dilahirkan rahim kegelisahan. Dia
ingin menciptakan apa saja, termasuk senja dan secangkir kopi ke dalam
hariharinya. Saya merasa Pasgot tidak mengejar karier. Yang diingikannya
adalah transaksi. Pasagon salah menilainya.
Dia termasuk lelaki introvert,
menghabiskan bukubuku diluar kitab umum para bandit, Il Principe. Langkahnya mengisyaratkan sejumlah kesunyian yang
meraung di dadanya. Pasgot seringkali menatap langit, dan memahami betapa kecil
dia diantara tata kosmos dunia. Tidak seperti Pasagon yang menganggap manusia
adalah pusat segala sesuatu, Pasgot menganggap setiap manusia adalah pelayan,
prinsip itulah yang menguatkannya dalam membangun relasi.
Pasagon berhasil memindahkan saya
sebagai staf yang berhubungan langsung dengan pekerjaan Pasgot. Pekerjaan saya
menyiapkan estimasi biaya pembangunan proyek dermaga. Tidak terlalu penting
pekerjaan itu. Sebab yang menantang dan mengasyikan adalah mengawasi Pasgot
dalam berhubungan dengan para koleganya. Dan yang paling mengharukan ketika dia
menerima tamu sejumlah esais, apa hubungan mereka dengan rencana proyek
pembangunan dermaga? Sebagai seseorang yang diutus Pasagon untuk menghancurkan
sepak terjang Pasgot, adalah kemampuan memahami kodekode pembicaraan lelaki
berwajah tirus itu pada setiap kesempatan. Semua nampak luhur dan berbudaya,
meski akhirnya saya mengerti katakata luhur itu digunakan mereka untuk
menindas. Tapi saya merasakan letak seksualitas mereka di sana. Seksualitas
yang makro. Tanpa rencanarencana mereka membangun proyekproyek besar, para
budayawan yang sebagian besar waktunya digunakan untuk menulis dengan upah
minimum, tak mampu menghidupi keluarganya.
Oleh karenanya saya diminta Pasgot
untuk membuat estimasi biaya rencana pemberian anugerah yang akan diberikan
kepada para pengarang. Tak ada hubungannya, pesta anugerah itu dengan proyek
Dermaga, tapi pertemuan mereka dengan Pasgot selalu terjadi diantara
pembicaraan mengenai proyek itu dengan para kolega yang lain.
Pasagon sebagai pemegang kuasa penuh
terhadap kas organisasi menolak rencana Pasgot. Saya sendiri yang mendesak
Pasagon untuk mengikuti saja keinginan lawan politiknya itu, demi siasatnya,
dengan begitu saya mendapatkan dengan mudah apa yang sedang dipikirkan Pasgot.
Keberhasilan saya merepresentasikan rencana Pasgot di depan Marigot, membuat
lelaki bercambang itu tertarik pada saya. Pasagon akhirnya mengalirkan sejumlah
uang untuk membiayai pesta award itu.
Keesokan harinya ketika Pasgot
memasuki ruang kerja saya, memberi apresiasi terhadap apa yang telah saya
kerjakan, tulisantulisan para budayawan tentang polemik pembangunan dermaga di
sebuah pesisir pantai yang telah mengorbankan tempat tinggal penduduk sekitar
banyak ditulis.
Para esais saling bersitantang dengan
tulisantulisan mereka di surat kabar. Rencana mega proyek pembangunan itu
kemudian mengemuka. Di antara mereka yang menciptakan polemik itu, adalah
mereka yang hadir dalam pesta award. Pasgot yang masa mudanya terdidik sebagai
seorang pengarang karya fiksi, memang telah menciptakan sandiwara.
Para nelayan yang merasa dirugikan
melakukan demontrasi. Pemimpinnya Bustan adalah kawan karib Pasgot ketika ia
pernah berkarir dalam organisasi kiri. Dalam sebuah pertemuan dengan pihak
pemerintah, Bustan dikabarkan menghilang. Saat itu saya ditugaskan kembali
membuat draft estimasi biaya pembangunan pemukiman para nelayan, yang akan
diajukan pada Marigot sebagai pengganti kekecewaan lahan tempat tinggal mereka
karena tergusur. Pasagon kembali menolak manuver Pasgot. Tetapi kehilangan
Bustan terus dibicarakan di berbagai media massa. Pasgot menghindari citra
buruk organisasi, tapi bukan itu tujuan sebenarnya, ia hanya ingin roda
organisasi berputar.
Marigot kembali menyalurkan dananya.
Saat mendengar kabar itu, saya melihat seorang lelaki keluar dari ruang kerja
Pasgot dengan menenteng sebuah koper, dan saya merasa yakin bahwa lelaki itu
adalah Bustan yang telah banyak dikabarkan menghilang.
Tapi semua bagi saya tidak begitu
penting. Yang terpenting adalah saat Pasgot mengecup jemari tangan saya, dengan
penuh kehangantan. Mungkinkah ia telah jatuh hati?
Langit merah jambu, daun mahoni
berguguran di teras ruang kerja saya. Saya menikmati isi pikiran lelaki yang
banyak dilolongi kegelisahan itu: tatap matanya selalu mendalam, setiap kata
yang dibangunnya ketika berbicara seperti petualangan pikirannya sendiri,
sejumlah ingatan tentang bukubuku bacaan beserta sepak terjangnya dalam
berbagai organisasi.
“Negara dibangun oleh penyair, dan
para politisi mulai menghancurkannya.”
Ucapan itu mungkin akan selalu saya
ingat, di antara perbincangan yang telah kita ciptakan sepanjang hari setiap kali
ia mengunjungi kamar kerja saya. Saya pikir itu sangat romantis dari pada puisi
cinta sekalipun.
Dan di dalam kepalanya ada
anjing.
***
Entah apa yang mendorong saya untuk
mengabarkan kepada Pasgot tentang rencana pembunuhan terhadapnya oleh Pasagon.
Mungkinkah saya telah jatuh hati pada lelaki yang sudah beristri itu? Tibatiba
saja kepala saya diracuni semangat pengkhianatan. Dan saya ingin menjalankannya
secara tidak tergesagesa. Saya mengabarkan warita itu melalui sms. Tak ada
jawaban dari Pasgot. Mungkin lelaki itu terlalu biasa dengan intrik dalam
organisasi, atau dia terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Entahlah.
Sore itu Pasagon berhasil memengaruhi
Marigot, bahwa organisasi tidak sedang berjalan dengan baik jika salah seorang
anggota besar mereka terlalu menonjol: para klien tersedot perhatiannya pada
anggota yang tengah bersinar, ketimbang organisasi itu sendiri. Kitab Il Principe terlalu menguasai jalan
pikiran mereka. Pada sebuah kesempatan ketika para anggota lingkaran dalam
duduk dalam sebuah pertemuan rahasia, Pasagon menyebutkan ciriciri darurat
organisasi, salah satunya adalah kekhawatiran adanya seseorang yang dalam waktu
cepat dapat menggulirkan roda organisasi. Pasgot memang berhasil membeli
seperempat saham organisasi. Tapi dalam jalannya organisasi hal itu bisa
membahayakan.
Marigot yang ruang pikirannya dilubangi
banyak jendela, kemudian menganggap prestasi Pasgot membahayakan, dan
memerintahkan saya membuat estimasi biaya pemulihan organisasi, di dalamnya
termasuk biaya rencana pembunuhan Pasgot.
Dalam ruang kerja ketika saya harus
menyelesaikan tugas, Marigot menyambangi saya. Dia tak pernah memperlihatkan
rasa galaunya, tapi apabila dia memasuki ruang kerja saya, seperti harihari yang telah berlalu , saya paham
benar Marigot, sedang mengalami guncangan.
“Apa benar yang dikatakan Pasagon,
Resty?” saya tak mau menjawabnya, saya hanya ingin menawarkannya secangkir
kopi, tapi dia menolak. Dan saya tak akan menjawab pertanyaan itu.
“Mungkin bapak harus istirah barang
sejenak, cuti beberapa hari,” saya ingin menghindari memberinya masukan apapun
tentang apa yang sudah diputuskan, sebagai seorang pemimpin dia seringkali ragu
bahkan pada beberapa keputusan yang telah ia ucapkan di berbagai rapat
orangorang lingkaran dalamnya. Tapi keraguannya seringkali menjadi manuver
mengejutkan, dalam semalam bisa saja dia membelokkan apa yang harus terjadi
kemudian pada keesokan harinya.
“Apa, menurutmu rencana pembunuhan
itu mesti harus berjalan?”
Marigot memang lelaki yang ruang
pikirnya dilubangi banyak sekali loronglorong cahaya, membuatnya selalu penuh
pertimbangan. Tapi saya tetap tak bisa memberinya masukan. Ditatapnya langit
senja di depan jendela ruang kerja saya.
Sekali lagi saya tawarkan secangkir
kopi untuknya. Lagilagi menolak. Saya meneruskan pekerjaan, tibatiba
kerinduan muncul dalam dada, kerinduan pada Pasgot, berharihari dia tak hadir
di antara kami, karena tengah mengawasi proyek dermaga yang sudah selangkah berjalan.
Marigot masih mencangkung di depan
jendela, lintas peristiwa dalam sebuah acara televisi terus bergaung di ruang
tengah. Saya berharap dia membatalkan rencana pembunuhan terhadap Pasgot. Saya
mencintainya. Tapi Marigot tak kunjung merubah keputusannya. Dan terus menatap
senja dengan helaan nafas yang dalam berkalikali.
***
Cikarang, 16 April 2012
Dimuat di HU Pikiran Rakyat 20 Mei 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar