Jumat, 25 Mei 2012

Cerpen


Darurat
Oleh: M Taufan Musonip

“Snake Tamers Ditty” Copyright Amy Crehore
Anggota paling menonjol perlu diwaspadai. Pasagon memahami itu dalam Il Principe. Seekor ular menari dalam kepalanya. Pasgot selalu datang lebih awal ke kantor, dan terlihat cukup hangat membicarakan urusannya di hadapan Marigot, sang pemimpin. Pasgot memang tengah bersinar, dia menumbuhkan minat berbagai klien untuk bekerja sama dengan organisasi kami.  Pasagon, melakukan blunder memilihnya sebagai bawahan. Meski Pasgot sedari awal bertampang licik dengan pelicin rambut yang selalu membuat kepalanya terlihat segar, Pasagon terkelabui. Dia ingin membesarkan organisasinya dengan memilih orang­orang hebat, tanpa menyadari bahwa suatu saat ia akan ditelikung.


Pada suatu malam dengan taburan bintang dan purnama yang cukup sempurna di lubang jendela, saya dapat merasakan desir seekor ular di kepalanya. Saya pikir setiap wanita setuju, anggota tubuh yang paling erotis dari seorang lelaki adalah isi otaknya. Maka saya abaikan sepucuk mawar persembahannya, rayuannya, semua sekedar kata, seperti Il Principe yang di sapu halaman­halamannya oleh angin, di nakasnya, tak berdaya, karena baru sekedar sekumpulan kata­kata.



Maka ular itu jadi dua, seperti berkembang biak begitu saja, dan saya merasakan keliarannya menembus ke dalam dada. Begitu hangat. Batas keliaran adalah rahasia­rahasia dibalik ambisi lelaki. Ambisi, tak lain merupakan kuda angan­angan yang diciptakan pikiran sembari menyadari bahwa pikiran memiliki batas kembara. Maka saya memetakan batas­batas keliaran itu, dengan memahami rahasia­rahasia ambisinya:


Dia menginginkan Pasgot tak lagi mengganggu kariernya. Dan saya diminta mendekatinya. Pasagon mau saya menjadi stafnya dan menggali sebanyak­banyaknya sepak terjang Pasgot dalam menjalin perkawanan dengan para klien.  


“Apa yang harus kulakukan?”


“Aku ingin kau jadi kepercayaan Pasgot, manis, dan perbudaklah dia”


“Kupikir itu tak mudah.”


“Kau perempuan cerdas, Resty. Aku percaya kau bisa melakukannya”


Pasagon mengecup bibir saya dan berjanji, setelah semuanya selesai, dia akan memenuhi apa yang saya minta, termasuk menceraikan istrinya. Tapi saya tak menginginkan itu. Saya menginginkan uang, sebagaimana kodrat saya. Setelah itu Il Principe dibacakan, saat  seperti itu Pasagon lebih mirip seorang pendakwah ketimbang Al Pacino.

***


Dalam kepalanya ada anjing. Itulah yang membedakan Pasgot dengan Pasagon. Pasgot dilahirkan rahim kegelisahan. Dia ingin menciptakan apa saja, termasuk senja dan secangkir kopi ke dalam hari­harinya. Saya merasa Pasgot tidak mengejar karier. Yang diingikannya adalah transaksi. Pasagon salah menilainya.


Dia termasuk lelaki introvert, menghabiskan buku­buku diluar kitab umum para bandit, Il Principe. Langkahnya mengisyaratkan sejumlah kesunyian yang meraung di dadanya. Pasgot seringkali menatap langit, dan memahami betapa kecil dia diantara tata kosmos dunia. Tidak seperti Pasagon yang menganggap manusia adalah pusat segala sesuatu, Pasgot menganggap setiap manusia adalah pelayan, prinsip itulah yang menguatkannya dalam membangun relasi.


Pasagon berhasil memindahkan saya sebagai staf yang berhubungan langsung dengan pekerjaan Pasgot. Pekerjaan saya menyiapkan estimasi biaya pembangunan proyek dermaga. Tidak terlalu penting pekerjaan itu. Sebab yang menantang dan mengasyikan adalah mengawasi Pasgot dalam berhubungan dengan para koleganya. Dan yang paling mengharukan ketika dia menerima tamu sejumlah esais, apa hubungan mereka dengan rencana proyek pembangunan dermaga? Sebagai seseorang yang diutus Pasagon untuk menghancurkan sepak terjang Pasgot, adalah kemampuan memahami kode­kode pembicaraan lelaki berwajah tirus itu pada setiap kesempatan. Semua nampak luhur dan berbudaya, meski akhirnya saya mengerti kata­kata luhur itu digunakan mereka untuk menindas. Tapi saya merasakan letak seksualitas mereka di sana. Seksualitas yang makro. Tanpa rencana­rencana mereka membangun proyek­proyek besar, para budayawan yang sebagian besar waktunya digunakan untuk menulis dengan upah minimum, tak mampu menghidupi keluarganya.


Oleh karenanya saya diminta Pasgot untuk membuat estimasi biaya rencana pemberian anugerah yang akan diberikan kepada para pengarang. Tak ada hubungannya, pesta anugerah itu dengan proyek Dermaga, tapi pertemuan mereka dengan Pasgot selalu terjadi diantara pembicaraan mengenai proyek itu dengan para kolega yang lain.


Pasagon sebagai pemegang kuasa penuh terhadap kas organisasi menolak rencana Pasgot. Saya sendiri yang mendesak Pasagon untuk mengikuti saja keinginan lawan politiknya itu, demi siasatnya, dengan begitu saya mendapatkan dengan mudah apa yang sedang dipikirkan Pasgot. Keberhasilan saya merepresentasikan rencana Pasgot di depan Marigot, membuat lelaki bercambang itu tertarik pada saya. Pasagon akhirnya mengalirkan sejumlah uang untuk membiayai pesta award itu.


Keesokan harinya ketika Pasgot memasuki ruang kerja saya, memberi apresiasi terhadap apa yang telah saya kerjakan, tulisan­tulisan para budayawan tentang polemik pembangunan dermaga di sebuah pesisir pantai yang telah mengorbankan tempat tinggal penduduk sekitar banyak ditulis.


Para esais saling bersitantang dengan tulisan­tulisan mereka di surat kabar. Rencana mega proyek pembangunan itu kemudian mengemuka. Di antara mereka yang menciptakan polemik itu, adalah mereka yang hadir dalam pesta award. Pasgot yang masa mudanya terdidik sebagai seorang pengarang karya fiksi, memang telah menciptakan sandiwara.


Para nelayan yang merasa dirugikan melakukan demontrasi. Pemimpinnya Bustan adalah kawan karib Pasgot ketika ia pernah berkarir dalam organisasi kiri. Dalam sebuah pertemuan dengan pihak pemerintah, Bustan dikabarkan menghilang. Saat itu saya ditugaskan kembali membuat draft estimasi biaya pembangunan pemukiman para nelayan, yang akan diajukan pada Marigot sebagai pengganti kekecewaan lahan tempat tinggal mereka karena tergusur. Pasagon kembali menolak manuver Pasgot. Tetapi kehilangan Bustan terus dibicarakan di berbagai media massa. Pasgot menghindari citra buruk organisasi, tapi bukan itu tujuan sebenarnya, ia hanya ingin roda organisasi berputar.


Marigot kembali menyalurkan dananya. Saat mendengar kabar itu, saya melihat seorang lelaki keluar dari ruang kerja Pasgot dengan menenteng sebuah koper, dan saya merasa yakin bahwa lelaki itu adalah Bustan yang telah banyak dikabarkan menghilang.


Tapi semua bagi saya tidak begitu penting. Yang terpenting adalah saat Pasgot mengecup jemari tangan saya, dengan penuh kehangantan. Mungkinkah ia telah jatuh hati?


Langit merah jambu, daun mahoni berguguran di teras ruang kerja saya. Saya menikmati isi pikiran lelaki yang banyak dilolongi kegelisahan itu: tatap matanya selalu mendalam, setiap kata yang dibangunnya ketika berbicara seperti petualangan pikirannya sendiri, sejumlah ingatan tentang buku­buku bacaan beserta sepak terjangnya dalam berbagai organisasi.


“Negara dibangun oleh penyair, dan para politisi mulai menghancurkannya.”


Ucapan itu mungkin akan selalu saya ingat, di antara perbincangan yang telah kita ciptakan sepanjang hari setiap kali ia mengunjungi kamar kerja saya. Saya pikir itu sangat romantis dari pada puisi cinta sekalipun.

Dan di dalam kepalanya ada anjing.   

***


Entah apa yang mendorong saya untuk mengabarkan kepada Pasgot tentang rencana pembunuhan terhadapnya oleh Pasagon. Mungkinkah saya telah jatuh hati pada lelaki yang sudah beristri itu? Tiba­tiba saja kepala saya diracuni semangat pengkhianatan. Dan saya ingin menjalankannya secara tidak tergesa­gesa. Saya mengabarkan warita itu melalui sms. Tak ada jawaban dari Pasgot. Mungkin lelaki itu terlalu biasa dengan intrik dalam organisasi, atau dia terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Entahlah.


Sore itu Pasagon berhasil memengaruhi Marigot, bahwa organisasi tidak sedang berjalan dengan baik jika salah seorang anggota besar mereka terlalu menonjol: para klien tersedot perhatiannya pada anggota yang tengah bersinar, ketimbang organisasi itu sendiri. Kitab Il Principe terlalu menguasai jalan pikiran mereka. Pada sebuah kesempatan ketika para anggota lingkaran dalam duduk dalam sebuah pertemuan rahasia, Pasagon menyebutkan ciri­ciri darurat organisasi, salah satunya adalah kekhawatiran adanya seseorang yang dalam waktu cepat dapat menggulirkan roda organisasi. Pasgot memang berhasil membeli seperempat saham organisasi. Tapi dalam jalannya organisasi hal itu bisa membahayakan.


Marigot yang ruang pikirannya dilubangi banyak jendela, kemudian menganggap prestasi Pasgot membahayakan, dan memerintahkan saya membuat estimasi biaya pemulihan organisasi, di dalamnya termasuk biaya rencana pembunuhan Pasgot.


Dalam ruang kerja ketika saya harus menyelesaikan tugas, Marigot menyambangi saya. Dia tak pernah memperlihatkan rasa galaunya, tapi apabila dia memasuki ruang kerja saya, seperti  hari­hari yang telah berlalu , saya paham benar Marigot, sedang mengalami guncangan.


“Apa benar yang dikatakan Pasagon, Resty?” saya tak mau menjawabnya, saya hanya ingin menawarkannya secangkir kopi, tapi dia menolak. Dan saya tak akan menjawab pertanyaan itu.


“Mungkin bapak harus istirah barang sejenak, cuti beberapa hari,” saya ingin menghindari memberinya masukan apapun tentang apa yang sudah diputuskan, sebagai seorang pemimpin dia seringkali ragu bahkan pada beberapa keputusan yang telah ia ucapkan di berbagai rapat orang­orang lingkaran dalamnya. Tapi keraguannya seringkali menjadi manuver mengejutkan, dalam semalam bisa saja dia membelokkan apa yang harus terjadi kemudian pada keesokan harinya.


“Apa, menurutmu rencana pembunuhan itu mesti harus berjalan?”


Marigot memang lelaki yang ruang pikirnya dilubangi banyak sekali lorong­lorong cahaya, membuatnya selalu penuh pertimbangan. Tapi saya tetap tak bisa memberinya masukan. Ditatapnya langit senja di depan jendela ruang kerja saya.


Sekali lagi saya tawarkan secangkir kopi untuknya. Lagi­lagi menolak. Saya meneruskan pekerjaan, tiba­tiba kerinduan muncul dalam dada, kerinduan pada Pasgot, berhari­hari dia tak hadir di antara kami, karena tengah mengawasi proyek dermaga yang sudah selangkah berjalan.


Marigot masih mencangkung di depan jendela, lintas peristiwa dalam sebuah acara televisi terus bergaung di ruang tengah. Saya berharap dia membatalkan rencana pembunuhan terhadap Pasgot. Saya mencintainya. Tapi Marigot tak kunjung merubah keputusannya. Dan terus menatap senja dengan helaan nafas yang dalam berkali­kali.

***
Cikarang, 16 April 2012

Dimuat di HU Pikiran Rakyat  20 Mei 2012

  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar