Sabtu, 24 Oktober 2015

ESAI

Jiwa Dunia
M Taufan Musonip

Meskipun sulit, hidup itu mesti punya harapan. Kesulitan itu sumber kreatifitas, itu saya dapatkan dari tulisan-tulisannya Rhenald Kasali, salah satu guru besar marketing di Indonesia. Karya-karya besar terbit dari keadaan sulit penciptanya. Dalam keadaan sulit kita merasakan menyebut nama Tuhan saja dengan tarikan nafas mendalam, lebih intim. Dan Tuhan membantu bersama seluruh jagat raya mencapai semua harapan itu.

Dua wanita penghibur, lari menyelinap keluar dari gereja Katedral yang dijagai para tentara Jepang yang melakukan agresi pada tahun 1937 di China, untuk mendapatkan senar rebab yang tertinggal di rumah bordir, agar dapat menghibur prajurit kecil yang dititipkan komandannya, sebagai prajurit tersisa dari tentara China dalam pertempuran terakhir mempertahankan kota Nanking. Prajurit kecil itu terluka dan sekarat, salah satu gadis penghibur menganggapnya seperti adiknya sendiri. Malang nasib yang dialami dua gadis itu, salah satunya terbunuh oleh peluru tentara Jepang, yang satu lainnya menjadi budak nafsu. Christian Bale (John) yang berperan pura-pura menjadi Pendeta Katedral, menjemput keduanya dan sudah tak bernyawa. Hanya membawa kembali senar itu ke gereja.

Film itu saya tonton di akhir pekan, memiliki judul Bunga-bunga Perang (The Flowers of War), sengaja saya bahasa indonesiakan, agar lebih puitis. Harapan si gadis penghibur untuk menyenangkan prajurit kecil yang terluka adalah harapan kecil yang agung, harapan besarnya  mereka ingin pergi dari kota yang sudah dibumihanguskan, menghindarkan mereka dijadikan budak seks bagi tentara Jepang.


Harapan

Di waktu yang lain disela-sela waktu kosong saya juga tengah membaca Novel Sang Alkemis, buah karya Paolo Coelho. Novel yang berbicara besar soal harapan manusia. Seorang anak muda inggris yang terobsesi pada ilmu kimia yang membawanya ke mesir bersama tokoh utama, Santiago, sang petualang. Pandangan-pandangan ilmu kimia dalam buku tebal di tangan alkemis muda membantu mereka menempuh kebahagiaan sejati. Santiago, ingin menempuh piramida Mesir, untuk mendapatkan harta karun.

Sebuah karya selain selain harus memiliki keindahan juga harus menciptakan harapan bagi penikmatnya. Karena setiap karya seni adalah potongan kehidupan yang digarap secara artistik, yang merupakan penggabungan secara kimiawi antara tragedi dengan harapan. Soal itu bahkan saya dapatkan dari novel Indonesia karya Pramoedya, dalam Anak Semua Bangsa. Harus ada sisi kebahagiaan yang mungkin dapat diraih,  yang ditransfer kepada penikmatnya sebagai tokoh-tokoh utama dalam kehidupan.



Dalam dunia bisnis dan perpolitikan bangsa belakangan hari, kita sedang dilanda pesimisme ekonomi, karena nilai tukar dolar yang membumbung tinggi. Bagi saya yang berkutat sehari-hari sebagai seorang marketer perdagangan part mesin industrial, hal itu memang berdampak pada kelesuan gairah bisnis. Semua perusahaan mulai mengurangi lembur karyawannya, mulai melakukan cost down yang mendekati pailit. Bukan bangkrut, pailit, melakukan penghematan di berbagai lini kehidupan industri, alasannya karena daya beli menurun.

Bagi saya mungkin ada hikmahnya, pekerjaan saya tak sesibuk sebelum semua ini terjadi. Meski saya terus berbuat yang terbaik, kelelahan saya berkurang dari sisi fisik, dan kembali dapat bergulat menciptakan tulisan, kembali gaya-gayaan menjadi penulis.

Dalam keadaan ini, saya mencoba introspeksi, apakah benar apa yang selama ini saya kerjakan tidak melulu soal materi? Karena transaksi selalu menggiurkan bahkan saya menganggap klien saya tak lebih dari mesin ATM, yang bisa memindahkan uangnya ke saku saya. Apa sih yang mau saya kejar? Sampai-sampai melupakan tugas besar yang dahulu saya rasakan adalah takdir saya sebagai manusia, yaitu menulis. Tugas besar, bukan karena saya merasa paling bisa di bidang ini, tapi karena saya merasa diberikan bakat, yang harus dikembangkan, mungkin bisa dipakai buat melayani manusia lainnya. Saya tidak sabaran menggeluti dunia ini, karena juga mungkin materialistis, saya selalu ingin mendapatkan lebih cepat harapan-harapan.

Saya merasa lebih hina dibanding dua gadis penghibur yang menantang maut mengambil senar rebabnnya demi menghibur prajurit kecil yang tengah sekarat karena lututnya berdarah oleh peluru penjajah. Padahal film itu berdasarkan pada kisah nyata. Harapan saya masih sebatas harapan nafsu dunia, menganggap dunia segala-galanya. Saya tak lebih dari tokoh Jordan Belfort dalam The Wolf of Wall Street, yang memilih menyelamatkan uangnya di swiss daripada berbela sungkawa pada bibi istrinya yang meninggal dunia, meski mencapai Swiss Beltfort dengan kapal pesiarnya harus menghadapi badai.

Dunia itu memiliki jiwa. Memiliki pusat kehidupan yang hanya dapat dicapai dengan intuisi, padahal dunia menjanjikan, siapa akan mencapai harapan kepada dunia, semua jagat raya pun mendukungnya. Man jadda wa jadda. Tapi saya tidak tahu cara mencapai jiwanya. Saya lupa pada prosesnya. Seperti dikatakan oleh Sang Alkemis, Coelho, semua butuh pembakaran untuk mendapatkan jiwa dunia, yang katanya terdiri dari dua komponen, komponen cairan berupa ramuan kehidupan dan komponen padatan berupa batu filsuf. Ramuan kehidupan akan bisa menyembuhkan berbagai penyakit sementara batu pemikiran akan membawa Sang Alkemis pada penguasannya terhadap dunia.

Arang dan batu intan sama sama memiliki unsur karbon murni. Hanya proses pembakaran intan lebih lama, mungkin ribuan tahun sehingga mendapatkan posisi agung sebagai batu mulia. Saya lupa mengenai proses panjang menjadi manusia, mendalami dan memahami dunia sebagai alam raya yang dinamis dan hidup, mengasah dunia berarti mengasah jiwa diri sendiri, sehingga jiwa dalam diri manusia akan mendapatkan senyawa erat dengan jiwa dunia.

Semata-mata bernilai transaksi

Saya sering terburu-buru dan nampak terengah-engah. Padahal bekerja membangun budaya. Menciptakan ritmenya. Setiap tindakan memerlukan pemikiran, ilmu pengetahuan, untuk merekayasa dunia, tapi kadang teramat kejam ketika saya melupakan faktor intuisi dalam tindakan saya.
Hidup memerlukan seni untuk menjalaninya, seni itu harmoni. Seni itu tindakan-tindakan duniawi untuk mengasah jiwa penggubahnya agar dapat bersejiwa dengan kehendak alam. Seperti petikan kecapi gadis penghibur yang disuguhkan pada prajurit kecil, membawa desir-desir kehidupan alam pedesaan, yang dieksploitasi menjadi musik untuk melayani manusia, lebih hebatnya bagi gadis itu, manusia yang sedang terluka.

Saya sering mendengar bahwa berbisnis itu melayani manusia, tapi sering lupa menaikan derajatnya ke tingkat paling manusiawi. Saya baru memahaminya sebagai pelayanan yang semata-mata bernilai transaksi. Betapa rendahnya. Untuk apa seni-seni agung itu hadir di antara saya tanpa mendalaminya dalam praktek kehidupan sehari-hari?

Saya kurang kreatif. Tapi selalu ada harapan lebih baik, dan itu memerlukan proses. Hidup itu dijalani agar kita dapat dikenang. Paling tidak oleh anak-cucu kita. Sementara dua belas wanita penghibur yang tinggal terjebak di Gereja Katedral menggantikan murid-murid perempuan, untuk menjadi paduan suara di sebuah pesta perayaan tentara Jepang, karena berhasil menguasai kota Nanking. Sutradara dan penulis skrip film itu berhasil menghadirkan aksi heroik para wanita penghibur di film itu untuk dikenang umat manusia di dunia.(*)

Cikarang, 5 Oktober 2015


Tidak ada komentar:

Posting Komentar