Jiwa Dunia
M Taufan Musonip
Meskipun sulit, hidup itu
mesti punya harapan. Kesulitan itu sumber kreatifitas, itu saya dapatkan dari
tulisan-tulisannya Rhenald Kasali, salah satu guru besar marketing di
Indonesia. Karya-karya besar terbit dari keadaan sulit penciptanya. Dalam
keadaan sulit kita merasakan menyebut nama Tuhan saja dengan tarikan nafas
mendalam, lebih intim. Dan Tuhan membantu bersama seluruh jagat raya mencapai
semua harapan itu.
Dua wanita penghibur, lari
menyelinap keluar dari gereja Katedral yang dijagai para tentara Jepang yang
melakukan agresi pada tahun 1937 di China, untuk mendapatkan senar rebab yang
tertinggal di rumah bordir, agar dapat menghibur prajurit kecil yang dititipkan
komandannya, sebagai prajurit tersisa dari tentara China dalam pertempuran
terakhir mempertahankan kota Nanking. Prajurit kecil itu terluka dan sekarat,
salah satu gadis penghibur menganggapnya seperti adiknya sendiri. Malang nasib
yang dialami dua gadis itu, salah satunya terbunuh oleh peluru tentara Jepang,
yang satu lainnya menjadi budak nafsu. Christian Bale (John) yang berperan
pura-pura menjadi Pendeta Katedral, menjemput keduanya dan sudah tak bernyawa.
Hanya membawa kembali senar itu ke gereja.
Film itu saya tonton di
akhir pekan, memiliki judul Bunga-bunga Perang (The Flowers of War), sengaja
saya bahasa indonesiakan, agar lebih puitis. Harapan si gadis penghibur untuk
menyenangkan prajurit kecil yang terluka adalah harapan kecil yang agung,
harapan besarnya mereka ingin pergi dari
kota yang sudah dibumihanguskan, menghindarkan mereka dijadikan budak seks bagi
tentara Jepang.
Harapan
Di waktu yang lain disela-sela waktu kosong saya juga tengah membaca Novel Sang Alkemis, buah karya Paolo Coelho. Novel yang berbicara besar soal harapan manusia. Seorang anak muda inggris yang terobsesi pada ilmu kimia yang membawanya ke mesir bersama tokoh utama, Santiago, sang petualang. Pandangan-pandangan ilmu kimia dalam buku tebal di tangan alkemis muda membantu mereka menempuh kebahagiaan sejati. Santiago, ingin menempuh piramida Mesir, untuk mendapatkan harta karun.
Di waktu yang lain disela-sela waktu kosong saya juga tengah membaca Novel Sang Alkemis, buah karya Paolo Coelho. Novel yang berbicara besar soal harapan manusia. Seorang anak muda inggris yang terobsesi pada ilmu kimia yang membawanya ke mesir bersama tokoh utama, Santiago, sang petualang. Pandangan-pandangan ilmu kimia dalam buku tebal di tangan alkemis muda membantu mereka menempuh kebahagiaan sejati. Santiago, ingin menempuh piramida Mesir, untuk mendapatkan harta karun.
Sebuah karya selain selain
harus memiliki keindahan juga harus menciptakan harapan bagi penikmatnya.
Karena setiap karya seni adalah potongan kehidupan yang digarap secara
artistik, yang merupakan penggabungan secara kimiawi antara tragedi dengan
harapan. Soal itu bahkan saya dapatkan dari novel Indonesia karya Pramoedya,
dalam Anak Semua Bangsa. Harus ada
sisi kebahagiaan yang mungkin dapat diraih, yang ditransfer kepada penikmatnya sebagai
tokoh-tokoh utama dalam kehidupan.
Dalam dunia bisnis dan
perpolitikan bangsa belakangan hari, kita sedang dilanda pesimisme ekonomi,
karena nilai tukar dolar yang membumbung tinggi. Bagi saya yang berkutat
sehari-hari sebagai seorang marketer perdagangan part mesin industrial, hal itu
memang berdampak pada kelesuan gairah bisnis. Semua perusahaan mulai mengurangi
lembur karyawannya, mulai melakukan cost
down yang mendekati pailit. Bukan bangkrut, pailit, melakukan penghematan
di berbagai lini kehidupan industri, alasannya karena daya beli menurun.
Bagi saya mungkin ada
hikmahnya, pekerjaan saya tak sesibuk sebelum semua ini terjadi. Meski saya
terus berbuat yang terbaik, kelelahan saya berkurang dari sisi fisik, dan
kembali dapat bergulat menciptakan tulisan, kembali gaya-gayaan menjadi
penulis.
Dalam keadaan ini, saya
mencoba introspeksi, apakah benar apa yang selama ini saya kerjakan tidak
melulu soal materi? Karena transaksi selalu menggiurkan bahkan saya menganggap
klien saya tak lebih dari mesin ATM, yang bisa memindahkan uangnya ke saku
saya. Apa sih yang mau saya kejar? Sampai-sampai melupakan tugas besar yang
dahulu saya rasakan adalah takdir saya sebagai manusia, yaitu menulis. Tugas
besar, bukan karena saya merasa paling bisa di bidang ini, tapi karena saya
merasa diberikan bakat, yang harus dikembangkan, mungkin bisa dipakai buat
melayani manusia lainnya. Saya tidak sabaran menggeluti dunia ini, karena juga
mungkin materialistis, saya selalu ingin mendapatkan lebih cepat
harapan-harapan.
Saya merasa lebih hina
dibanding dua gadis penghibur yang menantang maut mengambil senar rebabnnya
demi menghibur prajurit kecil yang tengah sekarat karena lututnya berdarah oleh
peluru penjajah. Padahal film itu berdasarkan pada kisah nyata. Harapan saya
masih sebatas harapan nafsu dunia, menganggap dunia segala-galanya. Saya tak
lebih dari tokoh Jordan Belfort dalam The
Wolf of Wall Street, yang memilih menyelamatkan uangnya di swiss daripada
berbela sungkawa pada bibi istrinya yang meninggal dunia, meski mencapai Swiss
Beltfort dengan kapal pesiarnya harus menghadapi badai.
Dunia itu memiliki jiwa.
Memiliki pusat kehidupan yang hanya dapat dicapai dengan intuisi, padahal dunia
menjanjikan, siapa akan mencapai harapan kepada dunia, semua jagat raya pun
mendukungnya. Man jadda wa jadda.
Tapi saya tidak tahu cara mencapai jiwanya. Saya lupa pada prosesnya. Seperti
dikatakan oleh Sang Alkemis, Coelho, semua butuh pembakaran untuk mendapatkan
jiwa dunia, yang katanya terdiri dari dua komponen, komponen cairan berupa
ramuan kehidupan dan komponen padatan berupa batu filsuf. Ramuan kehidupan akan
bisa menyembuhkan berbagai penyakit sementara batu pemikiran akan membawa Sang
Alkemis pada penguasannya terhadap dunia.
Arang dan batu intan sama sama memiliki unsur karbon murni. Hanya proses pembakaran intan lebih
lama, mungkin ribuan tahun sehingga mendapatkan posisi agung sebagai batu
mulia. Saya lupa mengenai proses panjang menjadi manusia, mendalami dan
memahami dunia sebagai alam raya yang dinamis dan hidup, mengasah dunia berarti
mengasah jiwa diri sendiri, sehingga jiwa dalam diri manusia akan mendapatkan
senyawa erat dengan jiwa dunia.
Semata-mata bernilai transaksi
Semata-mata bernilai transaksi
Saya sering terburu-buru
dan nampak terengah-engah. Padahal bekerja membangun budaya. Menciptakan
ritmenya. Setiap tindakan memerlukan pemikiran, ilmu pengetahuan, untuk
merekayasa dunia, tapi kadang teramat kejam ketika saya melupakan faktor
intuisi dalam tindakan saya.
Hidup memerlukan seni
untuk menjalaninya, seni itu harmoni. Seni itu tindakan-tindakan duniawi untuk
mengasah jiwa penggubahnya agar dapat bersejiwa dengan kehendak alam. Seperti
petikan kecapi gadis penghibur yang disuguhkan pada prajurit kecil, membawa
desir-desir kehidupan alam pedesaan, yang dieksploitasi menjadi musik untuk
melayani manusia, lebih hebatnya bagi gadis itu, manusia yang sedang terluka.
Saya sering mendengar
bahwa berbisnis itu melayani manusia, tapi sering lupa menaikan derajatnya ke
tingkat paling manusiawi. Saya baru memahaminya sebagai pelayanan yang
semata-mata bernilai transaksi. Betapa rendahnya. Untuk apa seni-seni agung itu
hadir di antara saya tanpa mendalaminya dalam praktek kehidupan sehari-hari?
Saya kurang kreatif. Tapi
selalu ada harapan lebih baik, dan itu memerlukan proses. Hidup itu dijalani
agar kita dapat dikenang. Paling tidak oleh anak-cucu kita. Sementara dua belas
wanita penghibur yang tinggal terjebak di Gereja Katedral menggantikan
murid-murid perempuan, untuk menjadi paduan suara di sebuah pesta perayaan
tentara Jepang, karena berhasil menguasai kota Nanking. Sutradara dan penulis
skrip film itu berhasil menghadirkan aksi heroik para wanita penghibur di film
itu untuk dikenang umat manusia di dunia.(*)
Cikarang, 5 Oktober 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar