Merokok sebagai Pelengkap Ibadah Ritual bagi Kaum Seniman
M Taufan Musonip
Gambar: Bob Marley sedang Merokok |
Belakangan saya
berniat menghentikan kebiasaan merokok. Itu tentu akibat dari membaca beberapa
artikel bahaya merokok. Tapi kemudian saya menyeimbangkan diri membaca artikel komunitas
pendukung petani tembakau. Saya merasakan justru artikel-artikel di dalamnya
lebih luwes, tidak hanya menuliskan persoalan klinis belaka seperti saya
dapatkan dalam kampanye anti rokok. Selain membalikan cara pandang saya soal
dampak merokok melalui berbagai kajian statistik, bahwa negara yang konsumsi
rokoknya lebih tinggi tidak berbanding lurus dengan penyakit sebagai dampak
merokok, mereka juga menuliskan tentang sejarah tembakau di Indonesia.
Sebut saja
misalnya kiprah Nitisemito yang merintis usaha kretek Tjap Bal Tiga di masa sebelum kemerdekaan, membuka jalan bagi
sejarah perkretekan di Indonesia yang mengambil diferensiasi dari budaya rokok
putih sebagai ciri budaya barat. Menurut artikel itu, kretek justru menyehatkan
karena kekhasannya mencampurkan irisan tembakau dengan gugusan cengkih.
Identik
Seniman identik
dengan rokok. Meski tentu tidak semua seniman perokok. Ajip Rosidi bukan
perokok, dan cukup keras pada seniman perokok, itu pernah saya dapatkan dalam
esai berbahasa Sunda yang ditulis dramawan dan penyair Godi Suwarna. Menurutnya
Ajip pernah menegur seorang pengarang Sunda yang merokok. Meskipun sastrawan 5
zaman ini sangat dekat dengan pelukis Affandi yang sering menghisap cerutu.
Kepada Chairil Anwar, dia menyukai semangat muda yang menggebu, di sisi lain
Ajip mengkritik Chairil, katanya umur yang panjang menambah warna kebijaksanaan
dalam sajak seorang penyair. Chairil tentu perokok, dan mati dalam usia muda
karena TBC.
Rokok membantu
hormon serotonin dan dopamin, untuk menghilangkan kepenatan. Di sisi yang lain
menjadi gaya hidup. Menghilangkan kebiasaan merokok dari sisi klinis lebih
mudah daripada sisi gaya hidupnya. Seniman merokok bukan semata-mata gaya
hidup, merokok bagi seniman seperti mendamaikan antara kegelisahan dan gagasan.
Setiap hisapan rokok, menarik dalam-dalam gagasannya menjadi sebuah karya.
Anak-anak muda
sering salah menafsirkan tentang rokok sebagai gaya hidup seniman. Ada foto Bob
Marley misalnya sedang merokok, hanya ditafsirkan sebagai gaya hidup. Kemudian
ditirunya, tanpa mendalami karyanya, Bob Marley yang perokok, telah
menghasilkan karya besar, musik reggae yang awalnya adalah ritual musik afrika,
telah dipopulerkan sebagai musik yang mempengaruhi banyak genre-genre musik
baru. Dreadlock Rasta dalam kehidupan Bob Marley sangat spiritual, rambut
gimbal adalah jalan perjuangan kaum rasta menuju Tuhan, seperti nafas spiritual
kaum sufi.
Jadi yang
penting bukan rokoknya. Sebenarnya apa yang dihasilkannya, sebagian merasa
rokok membantu mereka menciptakan kreatifitas. Hasil karya fotografi Henri
Cartier Bresson, lebih keren lagi, dosky seorang fotografer candid, sebuah
genre fotografi yang memotret objeknya tidak dalam keadaan sadar kamera untuk
menghasilkan ekspresi yang natural, mengambil objek tujuh seniman besar dan
rokoknya, salah satunya Jean Paulhan seorang kritikus sastra yang karyanya
sangat terkenal: Flowers of Tarbes, or
Terror in Literature. Studi tentang bahasa alami dalam karangan fiksi.
Bresson mengambil foto itu sebagai simbol gaya hidup masyarakat elit yang
apabila dibaca oleh penikmat karyanya merupakan tanda yang menghubungkan penikmat
rokok dengan kreatifitas.
Kepasrahan
Rokok
mendamaikan kegelisahan dari serbuan gagasan, sedangkan gagasan biasanya selalu
hendak melampaui kemampuan tubuh untuk menyelesaikannya, atau gagasan selalu
hendak melebihi daya tampung sebuah benda sebagai objek yang membungkusnya,
seakan semuanya tak akan pernah terselesaikan. Lebih ekstrem lagi, menurut
salah satu kawan aktifis, yang mungkin sekarang sudah insyaf merokok, karena
seorang Muhammadiyah, yang lebih dulu mengeluarkan fatwa haram merokok sebelum
MUI, pernah mengatakan, bahwa rokok adalah pelengkap dari ibadah ritual,
memberi ketenangan saat semua harapan tentang kebenaran tidak dapat
tersampaikan secara sekaligus, memerlukan proses, dan saat itulah dia dapat
melihat asap rokok mengalun ke atas kepalanya, ke langit, sebagai simbol
kepasrahan diri manusia kepada Tuhan.
Yang penting
bukan rokoknya, yang penting adalah kreatifitasnya, bukan umurnya yang panjang,
tetapi sejauhmana seseorang mengabdi dan dapat dikenang jaman-jaman mendatang.
Berpikir keras mencari alasan terus merokok untuk mensejahterakan petani
tembakau adalah kreatifitas apalagi ditambah dengan tulisan-tulisan berbobot
tentang sejarah tembakau itu lebih keren. Soal polemik adalah resiko lain pula
dari sebuah kerja kreatif.
MUI mengeluarkan
fatwa dengan konsensus, melalui kesepakatan para ulama, selain literasi
keagamaan dan sandaran logis, pendalaman literasi mengenai tembakau tentu
memberi warna dari sisi intelektual, sosiologi dan semangat kreatif. Rokok juga
menjadi asupan penunda lapar dalam Film Being
Flynn yang dibintangi Robert de
Niro, berkisah tentang seorang penyair yang bergelut dalam kemiskinan tapi
terus konsisten menggarap bidangnya dengan penuh gairah. (*)
Cikarang, 24
Oktober 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar