Sabtu, 24 Oktober 2015

ESAI

Merokok sebagai Pelengkap Ibadah Ritual bagi Kaum Seniman
M Taufan Musonip


Gambar: Bob Marley sedang Merokok



Belakangan saya berniat menghentikan kebiasaan merokok. Itu tentu akibat dari membaca beberapa artikel bahaya merokok. Tapi kemudian saya menyeimbangkan diri membaca artikel komunitas pendukung petani tembakau. Saya merasakan justru artikel-artikel di dalamnya lebih luwes, tidak hanya menuliskan persoalan klinis belaka seperti saya dapatkan dalam kampanye anti rokok. Selain membalikan cara pandang saya soal dampak merokok melalui berbagai kajian statistik, bahwa negara yang konsumsi rokoknya lebih tinggi tidak berbanding lurus dengan penyakit sebagai dampak merokok, mereka juga menuliskan tentang sejarah tembakau di Indonesia.

Sebut saja misalnya kiprah Nitisemito yang merintis usaha kretek Tjap Bal Tiga di masa sebelum kemerdekaan, membuka jalan bagi sejarah perkretekan di Indonesia yang mengambil diferensiasi dari budaya rokok putih sebagai ciri budaya barat. Menurut artikel itu, kretek justru menyehatkan karena kekhasannya mencampurkan irisan tembakau dengan gugusan cengkih.

Identik
Seniman identik dengan rokok. Meski tentu tidak semua seniman perokok. Ajip Rosidi bukan perokok, dan cukup keras pada seniman perokok, itu pernah saya dapatkan dalam esai berbahasa Sunda yang ditulis dramawan dan penyair Godi Suwarna. Menurutnya Ajip pernah menegur seorang pengarang Sunda yang merokok. Meskipun sastrawan 5 zaman ini sangat dekat dengan pelukis Affandi yang sering menghisap cerutu. Kepada Chairil Anwar, dia menyukai semangat muda yang menggebu, di sisi lain Ajip mengkritik Chairil, katanya umur yang panjang menambah warna kebijaksanaan dalam sajak seorang penyair. Chairil tentu perokok, dan mati dalam usia muda karena TBC.

Rokok membantu hormon serotonin dan dopamin, untuk menghilangkan kepenatan. Di sisi yang lain menjadi gaya hidup. Menghilangkan kebiasaan merokok dari sisi klinis lebih mudah daripada sisi gaya hidupnya. Seniman merokok bukan semata-mata gaya hidup, merokok bagi seniman seperti mendamaikan antara kegelisahan dan gagasan. Setiap hisapan rokok, menarik dalam-dalam gagasannya menjadi sebuah karya.

Anak-anak muda sering salah menafsirkan tentang rokok sebagai gaya hidup seniman. Ada foto Bob Marley misalnya sedang merokok, hanya ditafsirkan sebagai gaya hidup. Kemudian ditirunya, tanpa mendalami karyanya, Bob Marley yang perokok, telah menghasilkan karya besar, musik reggae yang awalnya adalah ritual musik afrika, telah dipopulerkan sebagai musik yang mempengaruhi banyak genre-genre musik baru. Dreadlock Rasta dalam kehidupan Bob Marley sangat spiritual, rambut gimbal adalah jalan perjuangan kaum rasta menuju Tuhan, seperti nafas spiritual kaum sufi.

Jadi yang penting bukan rokoknya. Sebenarnya apa yang dihasilkannya, sebagian merasa rokok membantu mereka menciptakan kreatifitas. Hasil karya fotografi Henri Cartier Bresson, lebih keren lagi, dosky seorang fotografer candid, sebuah genre fotografi yang memotret objeknya tidak dalam keadaan sadar kamera untuk menghasilkan ekspresi yang natural, mengambil objek tujuh seniman besar dan rokoknya, salah satunya Jean Paulhan seorang kritikus sastra yang karyanya sangat terkenal: Flowers of Tarbes, or Terror in Literature. Studi tentang bahasa alami dalam karangan fiksi. Bresson mengambil foto itu sebagai simbol gaya hidup masyarakat elit yang apabila dibaca oleh penikmat karyanya merupakan tanda yang menghubungkan penikmat rokok dengan kreatifitas.

Kepasrahan
Rokok mendamaikan kegelisahan dari serbuan gagasan, sedangkan gagasan biasanya selalu hendak melampaui kemampuan tubuh untuk menyelesaikannya, atau gagasan selalu hendak melebihi daya tampung sebuah benda sebagai objek yang membungkusnya, seakan semuanya tak akan pernah terselesaikan. Lebih ekstrem lagi, menurut salah satu kawan aktifis, yang mungkin sekarang sudah insyaf merokok, karena seorang Muhammadiyah, yang lebih dulu mengeluarkan fatwa haram merokok sebelum MUI, pernah mengatakan, bahwa rokok adalah pelengkap dari ibadah ritual, memberi ketenangan saat semua harapan tentang kebenaran tidak dapat tersampaikan secara sekaligus, memerlukan proses, dan saat itulah dia dapat melihat asap rokok mengalun ke atas kepalanya, ke langit, sebagai simbol kepasrahan diri manusia kepada Tuhan.

Yang penting bukan rokoknya, yang penting adalah kreatifitasnya, bukan umurnya yang panjang, tetapi sejauhmana seseorang mengabdi dan dapat dikenang jaman-jaman mendatang. Berpikir keras mencari alasan terus merokok untuk mensejahterakan petani tembakau adalah kreatifitas apalagi ditambah dengan tulisan-tulisan berbobot tentang sejarah tembakau itu lebih keren. Soal polemik adalah resiko lain pula dari sebuah kerja kreatif.

MUI mengeluarkan fatwa dengan konsensus, melalui kesepakatan para ulama, selain literasi keagamaan dan sandaran logis, pendalaman literasi mengenai tembakau tentu memberi warna dari sisi intelektual, sosiologi dan semangat kreatif. Rokok juga menjadi asupan penunda lapar dalam Film Being Flynn yang  dibintangi Robert de Niro, berkisah tentang seorang penyair yang bergelut dalam kemiskinan tapi terus konsisten menggarap bidangnya dengan penuh gairah. (*)
Cikarang, 24 Oktober 2015  


Tidak ada komentar:

Posting Komentar