Persaudaraan dalam Bisnis
Oleh M Taufan Musonip
Betapa kerasnya
orang itu kalau sedang memperjuangkan kepentingan perusahaannya. Tak ada yang
namanya solusi untuk sama-sama menang. Baginya itu profesionalitas. Dia akan
dibayar mahal kalau menjalankannya dan berhasil memenuhi ambisi perusahaan.
Padahal bukankah dalam hukum negoisasi kedua pihak yang berkepentingan
sama-sama duduk sejajar dan saling membutuhkan?
Saya sudah lama ingin menghindari orang-orang
seperti ini. Orang-orang yang cepat sekali belajar bekerja dengan kelicikan.
Tapi tentu atasan saya tak menghendakinya. Perusahaan itu menyumbang kontribusi
yang besar bagi penjualan. Di akhir bulan setiap marketer memerlukan transaksi
untuk pencapaian target. Saya mendapati seorang user sedang mengerjakan proyek
yang membutuhkan barang-barang yang saya miliki. Poinnya sama-sama bernilai
satu, bukan?
Pertumbuhan Ekonomi
Dia menghendaki
saya agar barang-barang yang ia butuhkan dibooking. Itu pertanda baik. Tetapi belakangan
ia menelpon agar tak perlu berharap akan terjadi transaksi, sebab ia perlu
membandingkan dahulu dengan produk lain. Kalau begitu menurut saya, saya harus
membatalkan booking, selesaikan saja dulu komparasinya, tentu resikonya
kegagalan pencapaian target. Tapi jika memang belum rejeki mau apa lagi? Tapi dia
tak mau saya melakukan itu, dia mengancam bahwa dengan begitu imejku akan
dinilai tidak baik oleh para user. Dia tak pernah melihat saya dari sisi
manusia, kecuali bagian dari sebuah sistem. Yang dapat diatur seenak perutnya
agar mesin berjalan seperti apa yang dia inginkan.
Dalam bisnis
memang melihat kemanusiaan samar-samar adanya, yang jelas ada justru
persaudaraan, dalam bisnis level tinggi itu disebut arbitrase, dalam keadaan
gawat, seorang marketer bisa melakukan komunikasi ke jaringan, untuk
menyelamatkan urusannya dengan cara win-win
solution. Kemenangan terjadi ketika
kita justru mengalah dalam beberapa hal, prinsip ini selalu menciptakan
jaringan yang kuat.
Pertumbuhan
ekonomi yang pesat di Cina, karena para pebisnis Cina menjalankan prinsip
persaudaraan, orang-orang Cina ada di berbagai negara di dunia, mereka selalu
siap menjadi penghubung dari produk-produk yang mereka sebarkan, meski kualitas
produknya berkelas imitasi, tapi dengan persaudaraan dan jaringan yang kuat dan
terus melakukan percobaan manufaktur, kualitas produk mereka justru semakin
meningkat. Begitupun dengan Korea, Jepang dan India, kemana mereka pergi,
selain mengunjungi kerabat mereka, juga memilih alat kerja serta apapun
kebutuhan hidupnya selalu mencari barang-barang yang bersumber dari negaranya.
Mereka yakin bahwa kualitas bangsa sendiri selalu lebih baik, untuk mencapai
itu Jepang pernah menjalankan apa yang dilakukan Cina sekarang.
Persaudaraan
dalam bisnis, tidak hanya menjadi jembatan transaksi secara ekonomi, akan
tetapi juga kultur yang kuat, mereka saat bertemu dengan sesama etnis selalu
diawali membicarakan tempat kelahiran, membicarakan tentang keadaan negara
sekarang, dari marga mana mereka berasal, mengutip kata-kata bijaksana dalam
novel penulis besar bangsa mereka, dan juga setia memakai bahasa ibu mereka.
Setelah itu baru mereka mengenalkan produk mereka, biasanya harganya cukup
rendah, dan mendukung biaya produksi. Komunikasi mereka menjadi cukup baik,
selalu terbuka kalau ada masalah internal, dan selalu mencari solusi yang baik
bagi kepentingan dua belah pihak.
Persaudaraan
dalam bisnis juga bukan berarti tanpa ekses negatif. Kejahatan dalam organisasi
persaudaraan yang kuat yang juga kerap ikut ambil bagian dalam praktik politik
sering berperan sebagai kebenaran.
Persaudaraan
adalah tempat persembunyian paling tepat untuk berbagai tindakan yang keliru.
Itu benar, tapi itulah bisnis, secara nyata ia menggelontor dari pipa-pipa
kebenaran. Jika sebuah negara yang sukses melahirkan banyak para pebisnis dan
olehnya menjadi negara maju maka lembaga-lembaga kemanusiaan pun berdiri dengan
kokoh, sarikat buruh pun semakin maju, toh dalam ideologi komunis yang pernah
berjaya pun, ketika urusan bisnis dikuasai negara, juga melahirkan para kapitalis-birokrat.
Materil
Dunia tentu
bersifat materil, yang menjelma menjadi wilayah negara, kekayaan sumber daya
alam dan pasar. Penguasaan sebuah potensi-potensi bumi secara serakah, tidak
bisa dikalahkah hanya dengan kebenaran semata, menguasai dunia perlu
menjalankan siasat yang ampuh. Terkadang perlu ambil bagian dalam proyek-proyek
yang dilangsungkan oleh pihak-pihak serakah. Seperti peran Muhammadiyah yang
kooperatif di masa penjajahan, ketika dipimpin KH Hasjim, jika tidak demikian
katanya, surplus hasil kolonialisme hanya akan bergulir di kalangan penjajah. Dengan
siasat itu Muhammadiyah berhasil mengembangkan perguruan Muhammadiyah.
Perebutan
potensi-potensi bumi perlu sebuah kesadaran organisatoris, siap menghadapi
perkumpulan manusia yang dianggap kotor sekalipun. Siap bersikap kooperatif. Dalam
kehidupan dunia, kebenaran bersifat materil, melepaskan potensi-potensi sumber
daya alam dari kekuatan jahat, sedang kebenaran yang masih bersifat materil,
masih mengandung nafsu duniawi untuk menguasai lebih banyak. Sering berpotensi
melenceng dari visi awalnya, kecuali orang-orang yang menanganinya adalah
mereka yang tingkat spritualnya seperti KH Hasjim di atas. Jika demikian dunia
memerlukan kebenaran yang lebih soliter, kebenaran yang digaungkan melalui
gelombang keberangkatan kaum sufi menuju gua-gua khalwah, kaum seniman yang
menyendiri menghasilkan karya-karya yang menggugah dunia, seniman yang bebas
dari pesanan kekuasaan. Seniman yang berani membenturkan dirinya kepada hidup
sulit dan lapar.
Mereka dapat
menangkap sesuatu di balik tanda-tanda dunia, seperti tokoh Santiago dalam
novel Sang Alkemis, mereka bahkan
dapat menciptakan angin, menjadi suluh masa depan dengan melakukan komunikasi
kepada alam semesta, jika menghendaki mereka
bisa menjatuhkan pesawat dengan tenaga dalam, menyakiti seseorang dari
jauh dengan mantra, meluluhkan hati banyak manusia dengan puisi.
Para soliter
pergi menjauh untuk menciptakan keindahan dari konspirasi kejahatan yang
menciptakan kekacauan. Menciptakan ribuan puisi untuk sebuah peradaban baru.
Alangkah indahnya mempraktekan hidup demikian, menjauh dari kenyataan untuk
menciptakan kenyataan dari jauh. Teman saya yang keras hatinya itu, mengejar
apa? Kebenaran? Ya kebenaran yang terorganisir melalui perusahaannya, yang
memiliki kepentingan untuk mengalahkan kepentingan orang lain. Lalu ia akan
mendapatkan gaji besar untuk tugasnya yang maha agung itu. Kalau saya diminta
atasan untuk melepaskan pelanggan yang satu ini karena alasan kecewa oleh
penanganan saya, biarlah, paling tidak pekerjaan saya akan berkurang, dan masih
ada sisa sepi sebagai tempat merenung sebagaimana dilakukan para soliter di
masa lalu. Para penyair yang agung. Ya penyair yang agung. Kenapa orang-orang
dibalik meja profesional itu tak pernah membaca buku-buku puisi yang
mengajarkan kompleksitas, agar mereka dapat melihat kehidupan dari berbagai cara
pandang?
Cikarang, 29
November 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar