Rabu, 09 Desember 2015

ESAI



Persaudaraan dalam Bisnis
Oleh M Taufan Musonip

Hasil gambar untuk konspirasiBetapa kerasnya orang itu kalau sedang memperjuangkan kepentingan perusahaannya. Tak ada yang namanya solusi untuk sama-sama menang. Baginya itu profesionalitas. Dia akan dibayar mahal kalau menjalankannya dan berhasil memenuhi ambisi perusahaan. Padahal bukankah dalam hukum negoisasi kedua pihak yang berkepentingan sama-sama duduk sejajar dan saling membutuhkan?


Saya  sudah lama ingin menghindari orang-orang seperti ini. Orang-orang yang cepat sekali belajar bekerja dengan kelicikan. Tapi tentu atasan saya tak menghendakinya. Perusahaan itu menyumbang kontribusi yang besar bagi penjualan. Di akhir bulan setiap marketer memerlukan transaksi untuk pencapaian target. Saya mendapati seorang user sedang mengerjakan proyek yang membutuhkan barang-barang yang saya miliki. Poinnya sama-sama bernilai satu, bukan?


Pertumbuhan Ekonomi
Dia menghendaki saya agar barang-barang yang ia butuhkan dibooking. Itu pertanda baik. Tetapi belakangan ia menelpon agar tak perlu berharap akan terjadi transaksi, sebab ia perlu membandingkan dahulu dengan produk lain. Kalau begitu menurut saya, saya harus membatalkan booking, selesaikan saja dulu komparasinya, tentu resikonya kegagalan pencapaian target. Tapi jika memang belum rejeki mau apa lagi? Tapi dia tak mau saya melakukan itu, dia mengancam bahwa dengan begitu imejku akan dinilai tidak baik oleh para user. Dia tak pernah melihat saya dari sisi manusia, kecuali bagian dari sebuah sistem. Yang dapat diatur seenak perutnya agar mesin berjalan seperti apa yang dia inginkan.

Dalam bisnis memang melihat kemanusiaan samar-samar adanya, yang jelas ada justru persaudaraan, dalam bisnis level tinggi itu disebut arbitrase, dalam keadaan gawat, seorang marketer bisa melakukan komunikasi ke jaringan, untuk menyelamatkan urusannya dengan cara win-win solution. Kemenangan terjadi ketika kita justru mengalah dalam beberapa hal, prinsip ini selalu menciptakan jaringan yang kuat.

Pertumbuhan ekonomi yang pesat di Cina, karena para pebisnis Cina menjalankan prinsip persaudaraan, orang-orang Cina ada di berbagai negara di dunia, mereka selalu siap menjadi penghubung dari produk-produk yang mereka sebarkan, meski kualitas produknya berkelas imitasi, tapi dengan persaudaraan dan jaringan yang kuat dan terus melakukan percobaan manufaktur, kualitas produk mereka justru semakin meningkat. Begitupun dengan Korea, Jepang dan India, kemana mereka pergi, selain mengunjungi kerabat mereka, juga memilih alat kerja serta apapun kebutuhan hidupnya selalu mencari barang-barang yang bersumber dari negaranya. Mereka yakin bahwa kualitas bangsa sendiri selalu lebih baik, untuk mencapai itu Jepang pernah menjalankan apa yang dilakukan Cina sekarang.

Persaudaraan dalam bisnis, tidak hanya menjadi jembatan transaksi secara ekonomi, akan tetapi juga kultur yang kuat, mereka saat bertemu dengan sesama etnis selalu diawali membicarakan tempat kelahiran, membicarakan tentang keadaan negara sekarang, dari marga mana mereka berasal, mengutip kata-kata bijaksana dalam novel penulis besar bangsa mereka, dan juga setia memakai bahasa ibu mereka. Setelah itu baru mereka mengenalkan produk mereka, biasanya harganya cukup rendah, dan mendukung biaya produksi. Komunikasi mereka menjadi cukup baik, selalu terbuka kalau ada masalah internal, dan selalu mencari solusi yang baik bagi kepentingan dua belah pihak.

Persaudaraan dalam bisnis juga bukan berarti tanpa ekses negatif. Kejahatan dalam organisasi persaudaraan yang kuat yang juga kerap ikut ambil bagian dalam praktik politik sering berperan sebagai kebenaran.

Persaudaraan adalah tempat persembunyian paling tepat untuk berbagai tindakan yang keliru. Itu benar, tapi itulah bisnis, secara nyata ia menggelontor dari pipa-pipa kebenaran. Jika sebuah negara yang sukses melahirkan banyak para pebisnis dan olehnya menjadi negara maju maka lembaga-lembaga kemanusiaan pun berdiri dengan kokoh, sarikat buruh pun semakin maju, toh dalam ideologi komunis yang pernah berjaya pun, ketika urusan bisnis dikuasai negara, juga melahirkan para kapitalis-birokrat.

Materil
Dunia tentu bersifat materil, yang menjelma menjadi wilayah negara, kekayaan sumber daya alam dan pasar. Penguasaan sebuah potensi-potensi bumi secara serakah, tidak bisa dikalahkah hanya dengan kebenaran semata, menguasai dunia perlu menjalankan siasat yang ampuh. Terkadang perlu ambil bagian dalam proyek-proyek yang dilangsungkan oleh pihak-pihak serakah. Seperti peran Muhammadiyah yang kooperatif di masa penjajahan, ketika dipimpin KH Hasjim, jika tidak demikian katanya, surplus hasil kolonialisme hanya akan bergulir di kalangan penjajah. Dengan siasat itu Muhammadiyah berhasil mengembangkan perguruan Muhammadiyah.

Perebutan potensi-potensi bumi perlu sebuah kesadaran organisatoris, siap menghadapi perkumpulan manusia yang dianggap kotor sekalipun. Siap bersikap kooperatif. Dalam kehidupan dunia, kebenaran bersifat materil, melepaskan potensi-potensi sumber daya alam dari kekuatan jahat, sedang kebenaran yang masih bersifat materil, masih mengandung nafsu duniawi untuk menguasai lebih banyak. Sering berpotensi melenceng dari visi awalnya, kecuali orang-orang yang menanganinya adalah mereka yang tingkat spritualnya seperti KH Hasjim di atas. Jika demikian dunia memerlukan kebenaran yang lebih soliter, kebenaran yang digaungkan melalui gelombang keberangkatan kaum sufi menuju gua-gua khalwah, kaum seniman yang menyendiri menghasilkan karya-karya yang menggugah dunia, seniman yang bebas dari pesanan kekuasaan. Seniman yang berani membenturkan dirinya kepada hidup sulit dan lapar.    

Mereka dapat menangkap sesuatu di balik tanda-tanda dunia, seperti tokoh Santiago dalam novel Sang Alkemis, mereka bahkan dapat menciptakan angin, menjadi suluh masa depan dengan melakukan komunikasi kepada alam semesta, jika menghendaki mereka  bisa menjatuhkan pesawat dengan tenaga dalam, menyakiti seseorang dari jauh dengan mantra, meluluhkan hati banyak manusia dengan puisi.

Para soliter pergi menjauh untuk menciptakan keindahan dari konspirasi kejahatan yang menciptakan kekacauan. Menciptakan ribuan puisi untuk sebuah peradaban baru. Alangkah indahnya mempraktekan hidup demikian, menjauh dari kenyataan untuk menciptakan kenyataan dari jauh. Teman saya yang keras hatinya itu, mengejar apa? Kebenaran? Ya kebenaran yang terorganisir melalui perusahaannya, yang memiliki kepentingan untuk mengalahkan kepentingan orang lain. Lalu ia akan mendapatkan gaji besar untuk tugasnya yang maha agung itu. Kalau saya diminta atasan untuk melepaskan pelanggan yang satu ini karena alasan kecewa oleh penanganan saya, biarlah, paling tidak pekerjaan saya akan berkurang, dan masih ada sisa sepi sebagai tempat merenung sebagaimana dilakukan para soliter di masa lalu. Para penyair yang agung. Ya penyair yang agung. Kenapa orang-orang dibalik meja profesional itu tak pernah membaca buku-buku puisi yang mengajarkan kompleksitas, agar mereka dapat melihat kehidupan dari berbagai cara pandang?

Cikarang, 29 November 2015








Tidak ada komentar:

Posting Komentar