Rabu, 09 Desember 2015

ESAI

Rumah Idaman
M Taufan Musonip

Hidup itu harus memiliki tempat pergi dan kembali. Kita mengatakannya keluarga. Keluarga adalah substansi sebuah negara. Kalau rata-rata keluarga sebuah negara hidup secara layak, maka kemiskinan sebuah negara tentu berkurang. Keluarga adalah patokan kita untuk bekerja sungguh-sungguh agar mereka mendapatkan kehidupan yang layak.

Kalau mau mendapatkan itu, jadilah seorang marketer, setidaknya itu batu loncatan untuk menjadi seorang wirausaha. Di kantor saya, orang-orang yang berhasil dalam target penjualan yang ditentukan manajemen selalu ramai berbicara soal rumah, mereka membicarakan soal kemewahannya: atap rangka baja, luas tanah, partisi bata merah dan lain sebagainya. Bagi orang-orang yang penjualannya jarang mencapai target, obrolan itu selalu menjadi biang masalah. Atau bagi para staf di luar marketing, mendapatkan rumah sederhana saja sudah beruntung.


Tank Sherman
Menjadi penulis, jangan harap dapat cepat memiliki rumah. Kecuali bekerja merangkap, menjadi penulis sekaligus menjadi seorang marketer setidaknya harapan itu ada. Tetapi bagi saya yang penting saya punya patokan, tempat kita harus pergi dan pulang. Tak peduli rumah saya itu mengontrak atau ngekos. Asal keluarga mau terima dan mengerti bahwa saya sedang berproses menuju apa yang mereka mimpikan.

Soal rumah saya jadi ingat film yang dibintangi oleh Brad Pitt (Sersan Wardaddy) berjudul Fury, sebuah film tentang perang dunia kedua melawan Nazi. Dia selalu menganggap rumahnya itu Tank Sherman, karena di sanalah selama berperang dia menikmati pekerjaannya. Di sebuah perbatasan setelah dia dan para krunya memenangkan pertarungan, mereka menginjak sebuah ranjau dan membuat Tank mereka rusak parah. Seorang tentara muda yang baru bergabung, diperintahkan untuk berjaga melihat pergerakan musuh dari arah yang dimungkinkan tentara Nazi akan datang menyerbu. Anak muda itu mendapati sekitar 300 prajurit Nazi menuju tank mereka. Dan melaporkan hal itu pada Wardaddy, tentu membuat semua kru ketar-ketir. Mereka ingin meninggalkan medan perang. Tapi Wardaddy memilih bertahan, dan membebaskan bawahannya untuk pergi, sersan itu berkata: “Ini rumahku, aku tak pernah mau meninggalkannya, dan dalam keadaan apapun aku tak pernah berniat mundur.” Mendengar pidato itu anak buahnya merasa terbakar semangatnya, mereka kembali ke dalam Thank dan bersiap menghadapi satu batalyon tentara Nazi.

Rumah bagi para pejuang adalah markas untuk bekerja. Ada orang yang karena impiannya menjadi pengusaha, dia bertahan hidup di bawah tanah. Dia tak mau segera membeli rumah, dia hanya ingin membeli aset-aset agar dapat diraihnya kekayaan melalui caranya. Banyak orang sukses awalnya hidup dari gerobak dorong. Pada tahun 80-an, bahkan paman saya adalah seorang tukang becak, tidur dan bekerja di sana, pada masa sekarang dia menjadi saudagar tanah dan transportasi. Menjadi kaya juga soal nasib dan peruntungan. Tidak semua yang memiliki kehidupan awal yang darurat menjadi orang kaya.

Patokan
Yang penting hidup itu punya patokan untuk dipertahankan dan dijalani. Bagi saya tempat kembali itu menulis, rumah saya itu kesunyian, kadangkala saya harus pertahankan sekuat tenaga dari gaduhnya dunia luar. Pada saat sedang kesal saya pernah bilang, apa salahnya saya punya sifat introvert? Saya bukan anti-sosial, tapi saya punya tanggung jawab untuk mengubah dunia sebagai manusia. Itu terdengar seperti lelucon, tapi saya tidak dapat berbohong prinsip itulah justru yang membuat saya punya arti di dunia ini.

Tapi sampai seberapa tahan kita berdebat? Sampai seberapa tahan kita tergantung pada penilaian orang. Akhirnya memilih bersikap realistis, saya jalani kehidupan seperti tuntutan mereka sebagai perjalanan dunia luar, agar mereka tak semena-mena merusak rumah kesunyian saya. Keadaan seperti ini merepotkan, tapi tidak ada perjuangan yang tidak melelahkan.

Itu juga terdengar sangat menyedihkan, saya tidak ingin mengakhiri tulisan ini dengan itu. Tulisan saya harus mengandung semangat. Bahwa keluarga adalah partisi rumah kesunyian kita, mereka yang mendorong saya untuk pergi dan kembali layaknya manusia pada umumnya. Dari dorongan itu selalu diharapkan dapat dituliskan tulisan-tulisan yang membumi yang dapat dimengerti siapapun. Hidup di dunia ini adalah berperang melawan diri sendiri.

Cikarang, 28 September 2015


Tidak ada komentar:

Posting Komentar