Rumah Idaman
M Taufan Musonip
Hidup itu harus memiliki
tempat pergi dan kembali. Kita mengatakannya keluarga. Keluarga adalah
substansi sebuah negara. Kalau rata-rata keluarga sebuah negara hidup secara
layak, maka kemiskinan sebuah negara tentu berkurang. Keluarga adalah patokan
kita untuk bekerja sungguh-sungguh agar mereka mendapatkan kehidupan yang
layak.
Kalau mau mendapatkan itu,
jadilah seorang marketer, setidaknya itu batu loncatan untuk menjadi seorang
wirausaha. Di kantor saya, orang-orang yang berhasil dalam target penjualan
yang ditentukan manajemen selalu ramai berbicara soal rumah, mereka
membicarakan soal kemewahannya: atap rangka baja, luas tanah, partisi bata
merah dan lain sebagainya. Bagi orang-orang yang penjualannya jarang mencapai
target, obrolan itu selalu menjadi biang masalah. Atau bagi para staf di luar
marketing, mendapatkan rumah sederhana saja sudah beruntung.
Tank Sherman
Menjadi penulis, jangan
harap dapat cepat memiliki rumah. Kecuali bekerja merangkap, menjadi penulis
sekaligus menjadi seorang marketer setidaknya harapan itu ada. Tetapi bagi saya
yang penting saya punya patokan, tempat kita harus pergi dan pulang. Tak peduli
rumah saya itu mengontrak atau ngekos. Asal keluarga mau terima dan mengerti
bahwa saya sedang berproses menuju apa yang mereka mimpikan.
Soal rumah saya jadi ingat
film yang dibintangi oleh Brad Pitt (Sersan Wardaddy) berjudul Fury, sebuah film tentang perang dunia
kedua melawan Nazi. Dia selalu menganggap rumahnya itu Tank Sherman, karena di
sanalah selama berperang dia menikmati pekerjaannya. Di sebuah perbatasan
setelah dia dan para krunya memenangkan pertarungan, mereka menginjak sebuah
ranjau dan membuat Tank mereka rusak parah. Seorang tentara muda yang baru
bergabung, diperintahkan untuk berjaga melihat pergerakan musuh dari arah yang
dimungkinkan tentara Nazi akan datang menyerbu. Anak muda itu mendapati sekitar
300 prajurit Nazi menuju tank mereka. Dan melaporkan hal itu pada Wardaddy,
tentu membuat semua kru ketar-ketir. Mereka ingin meninggalkan medan perang.
Tapi Wardaddy memilih bertahan, dan membebaskan bawahannya untuk pergi, sersan
itu berkata: “Ini rumahku, aku tak pernah mau meninggalkannya, dan dalam
keadaan apapun aku tak pernah berniat mundur.” Mendengar pidato itu anak
buahnya merasa terbakar semangatnya, mereka kembali ke dalam Thank dan bersiap
menghadapi satu batalyon tentara Nazi.
Rumah bagi para pejuang
adalah markas untuk bekerja. Ada orang yang karena impiannya menjadi pengusaha,
dia bertahan hidup di bawah tanah. Dia tak mau segera membeli rumah, dia hanya
ingin membeli aset-aset agar dapat diraihnya kekayaan melalui caranya. Banyak
orang sukses awalnya hidup dari gerobak dorong. Pada tahun 80-an, bahkan paman
saya adalah seorang tukang becak, tidur dan bekerja di sana, pada masa sekarang
dia menjadi saudagar tanah dan transportasi. Menjadi kaya juga soal nasib dan
peruntungan. Tidak semua yang memiliki kehidupan awal yang darurat menjadi
orang kaya.
Patokan
Yang penting hidup itu
punya patokan untuk dipertahankan dan dijalani. Bagi saya tempat kembali itu
menulis, rumah saya itu kesunyian, kadangkala saya harus pertahankan sekuat
tenaga dari gaduhnya dunia luar. Pada saat sedang kesal saya pernah bilang, apa
salahnya saya punya sifat introvert? Saya bukan anti-sosial, tapi saya punya
tanggung jawab untuk mengubah dunia sebagai manusia. Itu terdengar seperti
lelucon, tapi saya tidak dapat berbohong prinsip itulah justru yang membuat
saya punya arti di dunia ini.
Tapi sampai seberapa tahan
kita berdebat? Sampai seberapa tahan kita tergantung pada penilaian orang.
Akhirnya memilih bersikap realistis, saya jalani kehidupan seperti tuntutan
mereka sebagai perjalanan dunia luar, agar mereka tak semena-mena merusak rumah
kesunyian saya. Keadaan seperti ini merepotkan, tapi tidak ada perjuangan yang tidak
melelahkan.
Itu juga terdengar sangat
menyedihkan, saya tidak ingin mengakhiri tulisan ini dengan itu. Tulisan saya
harus mengandung semangat. Bahwa keluarga adalah partisi rumah kesunyian kita,
mereka yang mendorong saya untuk pergi dan kembali layaknya manusia pada
umumnya. Dari dorongan itu selalu diharapkan dapat dituliskan tulisan-tulisan
yang membumi yang dapat dimengerti siapapun. Hidup di dunia ini adalah
berperang melawan diri sendiri.
Cikarang, 28 September
2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar