Bekerja Mengikuti Gairah
Oleh: M Taufan Musonip
Di dinding ruang
tamu rumah ibu saya selalu terpacak potret sebuah sosok lelaki yang memakai
seragam tentara, di pundaknya ada tanda bintang satu. Itu adalah kakek saya. Orang-orang
yang bertandang ke rumah ibu saya selalu menanyakan sosok lelaki itu. Ibu saya
tentu dengan bangga menyatakan bahwa itu ayahnya, kami begini-begini, ternyata
merupakan turunan keluarga pejuang.
Ketika nenek
saya masih hidup, saya menanyakan kapan tepatnya kakek meninggal. Saya adalah
seorang cucu yang dari pihak ibu maupun ayah tidak pernah mengingat merasakan
dalam pembuaian mereka, kakek dari ayah meninggal ketika saya masih balita. Sementara
kakek dari ibu meninggal bahkan ketika saya belum lahir. Kakek meninggal ketika
masa Soekarno, begitu penjelasan nenek kepada saya.
Kedua Kakek Pejuang
Bintang satu di
bahunya bukan menandakan kakek berpangkat Brigadir Jenderal seperti kata beberapa
saudara ibu, tapi seorang Kapten. Saya juga belum sempat mempelajari
pangkat-pangkat tentara di masa lalu, tidak begitu penting, yang penting dari
potret kakek itu, keluarga kami memiliki kehormatan, meski di antara keluarga
ibu tidak ada yang terinspirasi untuk mengikuti kakek menjadi tentara. Nenek
pernah menceritakan masa-masa perjuangan kakek dalam perang kemerdekaan, juga
dalam penumpasan pemberontakan DI/TII di Kalimantan.
Kenapa memiliki
anggota keluarga yang tentara memiliki kehormatan? Karena pada masa orde baru,
menjadi tentara adalah kebanggaan. Pada masa orde baru pemerintah yang berkuasa
cenderung militeristik, seperti banyak diketahui orang. Sedangkan menurut
nenek, menjadi tentara di masa Soekarno juga cukup sejahtera, saya tidak bisa
menarik riwayat kakek kepada kondisi tentara pada masa Soekarno yang perwira
menengah ke bawahnya hidup sulit di dalam buku-buku sejarah sebelum meletusnya
G30S-PKI, andai kakek masih hidup semasa saya remaja, pasti akan saya tanyakan
keadaan tentara ketika masa itu juga bagaimana sebenarnya peristiwa tragis itu
terjadi.
Baru diketahui
bahwa kakek memiliki banyak istri ketika saudara ibu dari istri kakek yang lain datang menemui nenek, apakah ini parameter seorang tentara sejahtera di
masa Soekarno? Atau memang kakek seorang Soekarnoisme? Yang paling mengharukan
ketika mendengar kakak tertua dari ibu, katanya seandainya kakek masih hidup
pasti keluarga kami akan hidup sejahtera, karena dipastikan akan menjadi
jenderal. Uaku itu pun menyukai menenggak bir seperti kakek, seperti pernah
diutarakan ibu, dan juga memiliki istri lebih dari satu. Kakek bahkan meninggal
karena terlalu banyak minum-minuman keras, nenek menceritakan itu dengan penuh
kepedihan sebagai seorang istri yang tersakiti karena sikap kakekku itu.
Kakek dari bapak
juga seorang pejuang, pejuang mujahidin tepatnya, kakak bapak yang kedua bahkan
pernah akan dinamai Muhamad Granat –seperti diceritakan bapak- karena lahir
pada saat agresi militer Belanda ke dua, granat tangan itu meleset, karena
kakek bapak menyulap persembunyiannya menjadi hutan belantara, melalui dzikir. Cerita
kakek melalui bapak lebih mudah dikaitkan dengan sejarah, mungkin karena yang
bersaksi seorang anak laki-laki, ingatannya lebih kuat. Ibu dan nenek
menceritakan bukan berdasarkan ingatan sejarah tetapi berdasarkan perasaan
pernah disakiti, nenek diduakan, sementara ibu sering menderita kelaparan,
karena ditinggalkan kakek, dan hanya sekolah sampai SMP.
Pejuang Mujahidin
banyak yang kecewa karena yang dipilih jadi tentara nasional adalah pasukan
terlatih dari KNIL dan PETA, olehnya ketika ada proklamasi Daulah Islamiyah di
Garut, yang diikrarkan oleh SM Kartosuwiryo, banyak juga pejuang Mujahidin
masuk menjadi Tentara Islam Indonesia, kakek tidak ikut ke jalan yang sesat,
dia memilih menjadi penjahit yang juga pernah cukup sukses. Seperti kakek dari
pihak ibu, kakek juga memiliki dua istri. Bapak pernah juga mengutarakan
masa-masa pahit ketika kakek memutuskan menikah lagi, yang akhirnya membuat
bapak hanya selesai sekolah sampai SMP. Ketika masa itu, bisnis menjahit kakek
pun perlahan-lahan mulai runtuh.
Dari Nol
Bapak pernah
bekerja sebagai sopir seorang pengusaha yang memiliki yayasan pendidikan, bapak
pernah ditawari sekolah lagi, karena mampu menggantikannya mengajar di kelas
mahasiswa kalau majikannya berhalangan datang. Bahkan katanya ia pun pernah
ditawari dijodohkan dengan anak perempuannya. Kalau saja saya, kata bapak,
menerima tawaran itu, tentu hidup tak sesulit ini, katanya sambil berkelakar,
kalau kami sedang bersama dalam meja makan. Saya tidak tahu kenapa bapak
menolak tawaran itu. Saya menanggapi kelakar penyesalan bapak dengan
mengatakan, bahwa kalau bapak menerima tawaran itu, tentu kami tak akan
dilahirkan, karena pasti bapak tidak menikah dengan ibu.
Itulah sejarah
hidup keluarga saya, menjawab tantangan seorang teman yang mengatakan, bahwa
orang sukses bagaimana sejarah keluarga dan keturunannya, saya sering mengaku
sebagai seorang seniman, yang menulis karya sastra, memang tidak ada dari
riwayatnya kakek kami seorang pengarang, yang ada adalah seorang seniman lukis
dari adik pihak kakek ibu. Lagi pula apa artinya keturunan yang baik tanpa bisa
menyerap nilai-nilai perjuangannya?
Saya memang
belum sukses menjadi seniman, tapi yang penting saya sedang berjuang
menciptakan keturunan yang baik. Semua saya mulai dari nol. Itu tidak
membanggakan, seperti halnya orang-orang yang sudah memiliki modal keluarga
yang mendukung. Yang bernilai adalah nilai perjuangannya, sebab kesuksesan
nyatanya memiliki banyak godaan, godaan untuk berpoligami, godaan untuk
menindas manusia lainnya, termasuk godaan untuk melupakan Tuhan.
Saya mendengar
ini dalam sebuah Novel karya Coelho, “aku tidak menghendaki kebahagiaan, yang
kuperlukan adalah gairah menghadapi hidup dalam dunia kerja, dan itu bahaya,
karena kita tahu semua akan datang dengan keadaan tak terduga.” Tentu itu
ditulis berdasarkan ingatan saya, saya rasa Coelho tengah menulis kata-kata yang
tak terduga, kalimat yang mengusik kedamaian dan kemapanan pikiran kita
terhadap hidup. Tetapi bisa benar adanya bagi saya, bahwa ketika saya mengejar
sesuatu, saya lupa kebahagiaan apa yang akan didapat, saya hanya bekerja
mengikuti gairah.(*)
Cikarang, 9
Desember 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar