Rabu, 09 Desember 2015

ESAI

Bekerja Mengikuti Gairah
Oleh: M Taufan Musonip

Di dinding ruang tamu rumah ibu saya selalu terpacak potret sebuah sosok lelaki yang memakai seragam tentara, di pundaknya ada tanda bintang satu. Itu adalah kakek saya. Orang-orang yang bertandang ke rumah ibu saya selalu menanyakan sosok lelaki itu. Ibu saya tentu dengan bangga menyatakan bahwa itu ayahnya, kami begini-begini, ternyata merupakan turunan keluarga pejuang.

Ketika nenek saya masih hidup, saya menanyakan kapan tepatnya kakek meninggal. Saya adalah seorang cucu yang dari pihak ibu maupun ayah tidak pernah mengingat merasakan dalam pembuaian mereka, kakek dari ayah meninggal ketika saya masih balita. Sementara kakek dari ibu meninggal bahkan ketika saya belum lahir. Kakek meninggal ketika masa Soekarno, begitu penjelasan nenek kepada saya.

Kedua Kakek Pejuang
Bintang satu di bahunya bukan menandakan kakek berpangkat Brigadir Jenderal seperti kata beberapa saudara ibu, tapi seorang Kapten. Saya juga belum sempat mempelajari pangkat-pangkat tentara di masa lalu, tidak begitu penting, yang penting dari potret kakek itu, keluarga kami memiliki kehormatan, meski di antara keluarga ibu tidak ada yang terinspirasi untuk mengikuti kakek menjadi tentara. Nenek pernah menceritakan masa-masa perjuangan kakek dalam perang kemerdekaan, juga dalam penumpasan pemberontakan DI/TII di Kalimantan.


Kenapa memiliki anggota keluarga yang tentara memiliki kehormatan? Karena pada masa orde baru, menjadi tentara adalah kebanggaan. Pada masa orde baru pemerintah yang berkuasa cenderung militeristik, seperti banyak diketahui orang. Sedangkan menurut nenek, menjadi tentara di masa Soekarno juga cukup sejahtera, saya tidak bisa menarik riwayat kakek kepada kondisi tentara pada masa Soekarno yang perwira menengah ke bawahnya hidup sulit di dalam buku-buku sejarah sebelum meletusnya G30S-PKI, andai kakek masih hidup semasa saya remaja, pasti akan saya tanyakan keadaan tentara ketika masa itu juga bagaimana sebenarnya peristiwa tragis itu terjadi.

Baru diketahui bahwa kakek memiliki banyak istri ketika saudara ibu dari istri kakek yang lain datang menemui nenek, apakah ini parameter seorang tentara sejahtera di masa Soekarno? Atau memang kakek seorang Soekarnoisme? Yang paling mengharukan ketika mendengar kakak tertua dari ibu, katanya seandainya kakek masih hidup pasti keluarga kami akan hidup sejahtera, karena dipastikan akan menjadi jenderal. Uaku itu pun menyukai menenggak bir seperti kakek, seperti pernah diutarakan ibu, dan juga memiliki istri lebih dari satu. Kakek bahkan meninggal karena terlalu banyak minum-minuman keras, nenek menceritakan itu dengan penuh kepedihan sebagai seorang istri yang tersakiti karena sikap kakekku itu.

Kakek dari bapak juga seorang pejuang, pejuang mujahidin tepatnya, kakak bapak yang kedua bahkan pernah akan dinamai Muhamad Granat –seperti diceritakan bapak- karena lahir pada saat agresi militer Belanda ke dua, granat tangan itu meleset, karena kakek bapak menyulap persembunyiannya menjadi hutan belantara, melalui dzikir. Cerita kakek melalui bapak lebih mudah dikaitkan dengan sejarah, mungkin karena yang bersaksi seorang anak laki-laki, ingatannya lebih kuat. Ibu dan nenek menceritakan bukan berdasarkan ingatan sejarah tetapi berdasarkan perasaan pernah disakiti, nenek diduakan, sementara ibu sering menderita kelaparan, karena ditinggalkan kakek, dan hanya sekolah sampai SMP.

Pejuang Mujahidin banyak yang kecewa karena yang dipilih jadi tentara nasional adalah pasukan terlatih dari KNIL dan PETA, olehnya ketika ada proklamasi Daulah Islamiyah di Garut, yang diikrarkan oleh SM Kartosuwiryo, banyak juga pejuang Mujahidin masuk menjadi Tentara Islam Indonesia, kakek tidak ikut ke jalan yang sesat, dia memilih menjadi penjahit yang juga pernah cukup sukses. Seperti kakek dari pihak ibu, kakek juga memiliki dua istri. Bapak pernah juga mengutarakan masa-masa pahit ketika kakek memutuskan menikah lagi, yang akhirnya membuat bapak hanya selesai sekolah sampai SMP. Ketika masa itu, bisnis menjahit kakek pun perlahan-lahan mulai runtuh.

Dari Nol
Bapak pernah bekerja sebagai sopir seorang pengusaha yang memiliki yayasan pendidikan, bapak pernah ditawari sekolah lagi, karena mampu menggantikannya mengajar di kelas mahasiswa kalau majikannya berhalangan datang. Bahkan katanya ia pun pernah ditawari dijodohkan dengan anak perempuannya. Kalau saja saya, kata bapak, menerima tawaran itu, tentu hidup tak sesulit ini, katanya sambil berkelakar, kalau kami sedang bersama dalam meja makan. Saya tidak tahu kenapa bapak menolak tawaran itu. Saya menanggapi kelakar penyesalan bapak dengan mengatakan, bahwa kalau bapak menerima tawaran itu, tentu kami tak akan dilahirkan, karena pasti bapak tidak menikah dengan ibu.

Itulah sejarah hidup keluarga saya, menjawab tantangan seorang teman yang mengatakan, bahwa orang sukses bagaimana sejarah keluarga dan keturunannya, saya sering mengaku sebagai seorang seniman, yang menulis karya sastra, memang tidak ada dari riwayatnya kakek kami seorang pengarang, yang ada adalah seorang seniman lukis dari adik pihak kakek ibu. Lagi pula apa artinya keturunan yang baik tanpa bisa menyerap nilai-nilai perjuangannya?

Saya memang belum sukses menjadi seniman, tapi yang penting saya sedang berjuang menciptakan keturunan yang baik. Semua saya mulai dari nol. Itu tidak membanggakan, seperti halnya orang-orang yang sudah memiliki modal keluarga yang mendukung. Yang bernilai adalah nilai perjuangannya, sebab kesuksesan nyatanya memiliki banyak godaan, godaan untuk berpoligami, godaan untuk menindas manusia lainnya, termasuk godaan untuk melupakan Tuhan.

Saya mendengar ini dalam sebuah Novel karya Coelho, “aku tidak menghendaki kebahagiaan, yang kuperlukan adalah gairah menghadapi hidup dalam dunia kerja, dan itu bahaya, karena kita tahu semua akan datang dengan keadaan tak terduga.” Tentu itu ditulis berdasarkan ingatan saya, saya rasa Coelho tengah menulis kata-kata yang tak terduga, kalimat yang mengusik kedamaian dan kemapanan pikiran kita terhadap hidup. Tetapi bisa benar adanya bagi saya, bahwa ketika saya mengejar sesuatu, saya lupa kebahagiaan apa yang akan didapat, saya hanya bekerja mengikuti gairah.(*)

Cikarang, 9 Desember 2015




    





Tidak ada komentar:

Posting Komentar