Senin, 04 September 2017

ESAI

Menggairahkan Kembali Seni Profetik dalam Sastra
M Taufan Musonip


Ada kabar baik belakangan ini, pemerintah ingin bekerja sama dengan kalangan sastra dalam rangka menangkal radikalisme melalui program tatap muka sastrawan-siswa hingga ke sekolah-sekolah di pelosok daerah. Hal itu disampaikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy dalam acara Musyawarah Nasional Sastrawan 2017 (Kompas, 19/7).

Sastra dan aktivitas sosialnya, seringkali dianggap hanya kehidupan tak tersentuh dapat menyelesaikan masalah kebudayaan. Komunitas-komunitas sastra tak pernah bisa bertahan lama, termasuk medianya. Acara-acara sastra biasanya hanya seremonial saja, keberadaan sastrawan dan karyanya belum banyak dilihat sebagai penjaga semangat nasionalisme, yang kemeriahannya, diambil dari berbagai elemen-elemen yang membentuk kebudayaan nasional. Di dalamnya ada semangat memelihara bahasa daerah, lokalitas, melalui teks sekaligus melalui berbagai pertemuan. Sastra melibatkan banyak hal dalam membentuk karakter manusia. Di antaranya kepedulian sosial, religiusitas, dan intelektual.



Memberi jalan kalangan sastra terhadap masalah radikalisme tentu sebuah kemajuan. Jika radikalisme adalah ancaman yang datang dari kesalah-pahaman terhadap nilai-nilai agama, kesustraan harus kembali mengambil tempat dalam religiuisitas. Jika akhir-akhir ini, radikalisme selalu diarahkan pada umat Islam, sastrawan Islam bisa memulai kembali mencari hubungan pemikiran estetika dengan Islam. Nilai-nilai Islam diaktualkan kembali melalui estetika sastra. Karena nilai-nilai islam meliputi berbagai hal kehidupan manusia individu dan sosial, sastra menjadikan Islam sebagai sumber kreatifitas yang melahirkan kebudayaan nasional.

Dari Arah Langit
Merujuk tulisan Ali Audah dalam buku Dari Khazanah Dunia Islam, kebudayaan adalah hasil karya manusia yang bahan bakunya adalah alam semesta, sebagai ayat-ayat atau tanda-tanda Kemaha-kreatifan Tuhan. Agama memberi petunjuk proses kreatif manusia atas eksploitasi alam semesta melalui kerja estetika membangun manusia yang peduli lingkungan, keadilan sosial, dan berketuhanan. Agama bukan bagian dari kebudayaan. Karena tak bisa didikte oleh unsur-unsur pembangun kebudayaan. Agama datang dari arah langit sementara kebudayaan adalah ladang amaliyah manusia.

Radikalisme adalah upaya eksistensial manusia yang terputus dengan usaha estetika. Alat yang paling sesuai bagi radikalisme adalah politik. Bagaimana akan lahir kebudayaan kalau elemen di dalamnya hanya ada politik. Politik tanpa estetika, hanya melahirkan kekerasan meniadakan kelompok lain.

Sastra membuka kesadaran manusia terhadap estetika. Sastra yang mengambil sumber nilai-nilai agama, mencakup realitas sosial. Ini yang sering disebut kalangan sastra sebagai seni profetik. Berangkatnya sastrawan atas misi menangkal radikalisme, adalah memperluas konten agama, yang dalam Islam justru mengambil banyak peran, terutama masa abad pertengahan, saat itu, sastra Islam adalah pembuka pintu kebudayaan Yunani, yang tengah ditinggalkan dunia Barat. Di Nusantara sendiri, Hamzah Fansuri, adalah pelopor puisi Indonesia, dalam artian modern dari sisi penulisan estetika sastra asli nusantara, sebagaimana pernah ditulis A Teeuw. Puisi-puisi Muhammad Yamin adalah imajinasi berdirinya Indonesia. Hidupnya Sastra dalam kebudayaan Islam, menandakan ada ayat-ayat dalam Al Qur’an mengandung estetika.

Jika kedaerahan dalam gairah aktifitas sastra yang ampuh menangkal radikalisme seperti diungkapkan Radhar Panca Dahana dalam kesempatan acara sastra yang sama di atas. Agama sendiri telah hidup berabad-abad mengaktualkan kedaerahan. Begitu sebaliknya, agama teraktualkan oleh nilai-nilai lokalitas. Persis organisasi modern Islam yang lahir sebelum kemerdekaan (1924), ormas Islam yang dikenal puritan ini, memiliki majalah bulanan Iber, majalah berbahasa Sunda. Juga lihatlah karya-karya sastra Sunda sebelum kemerdekaan, banyak sekali yang mengandung nilai-nilai agama, ambil contoh karya Moh Ambri, yang disebut oleh Ajip Rosidi sebagai penulis sastra Dakwah Islam, menulis Novel Ngawadalkeun Nyawa (Mewadalkan Nyawa, 1933), mampu menyajikan kisah yang menarik, di mana agama, mitos dan filsafat dipertemukan.

Sayangnya karya-karya berbahasa daerah jarang sekali ada yang berminat menerjemaahkan dibanding karya-karya yang datang dari luar. Sastra daerah, masih luput dari panggilan sebagai bagian dari sastra Indonesia. Yang disebut sastra Indonesia masih semata-mata karya yang ditulis dengan bahasa Indonesia.

Pakem
Menangkal radikalisme melalui aktifitas sastra, adalah memperluas konten agama, jika  kesalah pemahaman terhadap agama melahirkan radikalisme, sementara sebagai orang beragama, kita meyakini bahwa agama membawa pesan damai, sudah seharusnya dimulai lagi mencari jejak-jejak estetika dalam agama. Hidupkan kembali gairah sastra profetik.

Sastra profetik menjembatani antara cara pandang sufisme yang kerap liberal dalam pemikiran dengan tradisi hukum Islam yang kaku dalam pandangan kaum fuqaha, padahal dalam Islam dinyatakan Amar Ma’ruf Nahyi Mungkar Tu’minuna billah, manusia boleh liberal berdasarkan potensi akalnya, akan tetapi harus tetap humanis dan berdasarkan keimanan kepada Allah. Pembicaraan estetika dalam Islam sejauh saya baca akhir-akhir ini cukup sulit ditemukan, meski ada karya-karya yang kaya spiritualitasnya, dari sisi nilai-nilai profetik hanya baru dipandang sebagai spritualitas. Spritualitas berbeda dengan nilai profetik, yang satu hanya ekspresi terhadap keberadaan Tuhan, yang lain memiliki kerangka dan berbagai gerakan simbol yang bergerak lues namun tetap sistematis. Sastra profetik adalah sastra yang memiliki pakem keagamaan, yaitu ahlak. Wacana seni profetik pun tak cukup bergema lagi di kalangan sastra baru-baru ini.(*)

Cikarang, 20 Juli 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar