Senin, 20 Februari 2023

BUKU-BUKU YANG SAYA BACA

Cahaya Jiwa sketsa M Taufan Musonip
Cahaya Jiwa
Skesta oleh Taufan

 

 Buku Fikr dan Dzikr Muhammad Isa Waley

---Buku Tipis Non Suryalaya, untuk Tambahan Bekal Ilmiyah

M. Taufan Musonip

 


Pintu zikir adalah pikir,

Pintu pikir adalah hati yang waspada

Pintu hati yang waspada adalah qonaah

dan pintu qonaah adalah zuhud terhadap dunia.

Ratib Al Nablusi, Buku Mengenal Allah.

 



Titik-titik yang harus dilalui untuk makrifat kepada Allah adalah sebagaimana syair Al Nablusi di atas. Syair juga cara berdzikir kepada Allah. Ia menyimpan isyarat dan perjalanan spritual yang ditulis dalam bentuk baris dan bait. Bait syair yang pendek membuat pembaca lebih menikmati suasana spritual dalam syair, dan lebih cepat didekatkan dengan eksistensi ilahiyah sebagai temanya.

Para wali menulis syair. Syair-syair tersebut mewarnai keindahan baik selawat maupun doa dalam kitab-kitab dzikr seperti Barjanzi, Ratib, Uqudul Jumaan. Setiap gang di perkampungan warga di Indonesia cukup mengenal tiga kitab di atas. Kitab-kitab tersebut juga membantu masyarakat mendirikan majelis dzikir. Majelis Dzikir adalah taman surga (Al hadits), setiap ia ada malaikat mengelilinginya hingga ke langit malakut.

Jadi tipisnya sebuah kitab tidak berarti tidak efektif membangun peradaban. Kitab tebal belum tentu mudah dikenali. Tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah Suryalaya kitab-kitab panduan para salikunnya tipis-tipis. Di Suryalaya dikenal nama Banteng Suryalaya, tanduknya yaitu kitab Bayanutasdiq dan Bidayatussalikin, dua kitab itu dan penulisnya bagai kekuatan kokoh yang menjaga TQN dari serangan luar: menjadi penerang jalan para salikun, sekaligus membantah bid’ahnya tarekat. Dengan menjadikan Al Qur'an dan Sunnah sebagai pegangan jalan tangga menuju ke langit.

 Ya ibaratkan, pohon, dzikr hati (khofi) adalah buahnya, dzikr lisan adalah pohonnya, untuk mendapatkannya kita harus berhasil memanjat pohonnya dulu, melewati ranting-rantingnya, semakin baik dzikr lisannya, semakin nikmat buahnya

Salikun Pemula


        Kitab-kitab tasawuf amali memang cenderung tipis. Guru-murid dalam berinteraksi lebih mengandalkan budaya lisan. Dan bukan berarti ahistoris dalam perkembangan sejarah Islam. Karena memang metode pewahyuan Islam dan ilham para wali terjadi secara tatap muka. Malak Jibril As mendiktekan wahyu ke alam ingatan Nabi Saw yang Ummi (selawat dan salam mari kita curahkan kepada Beliau sebagaimana lantunan Selawat Ummiyi dalam tradisi TQN). Dalam proses mentransfer wahyu itu, Jibril tetap hadir hingga Baginda Nabi benar-benar hapal semua ayat yang disampaikan.

Juga sebagaimana disampaikan Ajengan Acep A. Rijalulloh dalam MKTM seri ke-8 Al Ihsan, Mengenai hubungan antara kalimat Laa ilaha Ilallah dengan sifat 20 ---Unik sekali koneksi keduanya disampaikan, setiap suku kata dalam Laa Ilaha Ilalloh untuk sifat 20 yang acak tapi meneguhkan kalimat tauhid itu sendiri. Dikatakan, ia mendapat ilmu ini dari bapaknya dan bapaknya dari gurunya. Ilmu seperti ini pada akhirnya memiliki pola sanad dan musalsal, pola sanad ini bukan bersifat tekstual, tapi lisani. Murid menulis, guru mendikte, dan memastikan tidak ada salah tulis. Bahkan jika tidak memakai media tulis-menulis, guru akan meyakini muridnya mengingat ilmunya. Ingatan manusia salih jaman dahulu pasti berbeda dengan jaman sekarang. Tapi ingatan itu bisa kuat juga kalau teks berbentuk syair lisani, bisa dinyanyikan, seperti halnya Al Qur’an estetika bahasa dan pola syairnya membuat ia bisa dihapalkan.       

Tulisan ini, dan di antara tulisan lainnya, ingin membantu pembaca. Kira-kira buku apa saja yang musti dicari para salikun baru, untuk mengisi relung pikirnya melengkapi bekal perjalanan ruhani. Karena Fikr dan Dzikr harus seimbang, jargon TQN: amal ilmiyah, ilmu amaliyah. Karena nanti kenikmatan yang diperoleh dalam dzikrullah bisa saja melenakan pikir, sebaliknya terlalu banyak berpikir juga akan menghindarkan amaliyah. Suryalaya menerbitkan buku-buku penunjang amali, tujuannya mengantarkan murid ke hadapan Guru Mursyid secara ruhani dalam dzikrullah. Jasmani ke majelis khotaman dan manakiban karena di sana akan ada mubaligh dan wakil talqin yang mewakili Mursyid.


            Kali ini yang mau disampaikan adalah buku Fikr dan Dzikr karangan Muhammad Isa Waley. Bukan terbitan suryalaya. Tapi buku ini tipis, cocok untuk salikun pemula seperti saya, dan tidak mengganggu amaliyah yang sedang nikmat-nikmatnya di jalankan. Tapi cenderung falsafi, kalau ditimbang tebalnya sama dengan buku Bidayatussalikin. Di jilid buku ada tulisan Seri Pengantar Tasawuf.

            Isinya mirip dengan Bidayatussalikin dalam membahas sesi Dzikr. Al Qur’an dan As-Sunah dikedepankan sebagai dalil penting berdzikir metodis bimbingan Guru Mursyid. Bedanya tentu Bidayatussalikin dalam rel ke-TQN-an karena bersifat amali, sedangkan FdD lebih umum, ya karena falsafi. Meskipun judul menuliskan kata Fikr dan Dzikr, dzikr dibahas di bab awal -dan lebih banyak. Dan Fikr dibahas di bab belakangan.

          Dalam dzikr, Waley menuliskan paparan tentang puncak dzikr yaitu dzikr hati. Dzikr hati itu menunjang kepatuhan atas perintah QS. 33-41 untuk mengingat Allah sebanyak-banyaknya. Seandainya orang tahu dzikr ini sangat mudah dilakukan melalui talqin dari Guru Mursyid, dan dijalankan dengan nikmat maka penentangan terhadap tarekat sebenarnya tidak akan ada. Penentangan tarekat dan stigma yang menempel padanya, menurut mayoritas kelompok sufi karena ada hijab di mata hatinya. Tertutup hijab ilmu yang sejatinya tidak akan pernah selesai jika hanya sampai pada ilmu-ilmu lahir.        

             Menurut Waley dengan mengutip banyak paparan dari kitab para Awliya, Dzikr hati itu bisa membantu murid sampai pada dzikr dengan cinta, dari lisan ke persaksian atau puncak dzikr yaitu muroqobah. Bang Sanin, mengatakan dalam perjalan ke Manakib di Toyogiri -yang ternyata zonk, karena si bodoh ini salah lihat jadwal- bahwa dzikr hati adalah buah dari dzikr lisan. Saya mengerutkan dahi, meminta penjelasan. Ya ibaratkan, pohon, dzikr hati (khofi) adalah buahnya, dzikr lisan adalah pohonnya, untuk mendapatkannya kita harus berhasil memanjat pohonnya dulu, melewati ranting-rantingnya, semakin baik dzikr lisannya, semakin nikmat buahnya. Dzikr lisannya itu, proses pembersihan hati. Buahnya adalah muroqobah saat murid terpaut alam pikir dengan Guru Mursyid dan hati menyaksikan keberhadiran Ilahiyah, sehingga malu melakukan maksiat. Dalam tulisan Waley paparan ini, cukup kompleks. Anehnya saya dipertemukan dengan Bang Sanin, setelah membaca bab dzikr hati ini.

Dzikr dalam wilayah materil, Fikr dalam wilayah imateril keduanya saling menerangi jalan

Aspek-Aspek Dzikr

     Dalam bab Dzikr Waley juga menyampaikan aspek-aspek dzikr, di antaranya Al Qur’an,Wirid, Solat, Doa, Syair, Khalwah, dan sama’. Ini adalah penerang bagi kaum awam, sejatinya membaca Al-Qur’an dan taklim adalah berdzikr pula, tapi bukan untuk mengingat, membaca Al Qur’an dan taklim adalah berdzikr dalam rangka melestarikan Ilmu Allah, Berdzikr dalam pengertian mengingat ada dalam solat, doa dan wirid. Lebih intim ada dalam wirid, karena dilakukan berulang-ulang, dalam solat-solat sunah selain solat wajib, juga dalam Dzikr. Dzikr adalah roh, gerakan solat adalah syariat, “Dzikr lebih dulu ada ketimbang solat, walaupun pada akhirnya keduanya di lakukan bersamaan,” Ucap Ajengan Acep suatu kali saat MKTM. Syair sudah dibahas tadi di depan, sedangkan Sama’ dalam esai Waley, harus dilakukan lebih hati-hati, dipandu oleh ahlinya. Jadi musik dalam sufi itu tidak bebas, harus syahdu dan beradab, dan dipandu Guru Mursyid. Dalam tradisi TQN nyanyian membantu hapalan seperti hapalan sifat 20, manqobah guru mursyid, dan tentu selawat.

            Yang paling unik adalah ketika Waley menyampaikan tentang tafakkur dalam bab Fikr -Nah ini, membaca buku Waley dibanding Bidayatussalikin selain soal perbedaan amali dan falsafi juga membahas komponen Bab Fikr- mana yang lebih utama fikr atau dzikr, Al Ghazali menjawab Fikr, Fikr yang dilandasi penyaksian hati yang memunculkan gairah beribadah. Sedang Syech Ahmad I-Jam Al Khurasani dalam Hadiqah al Haqiqah mengatakan: Zikr lebih utama dari Fikr ketika seorang murid ada dalam lingkungan material sedangkan fikr bisa lebih utama dari fikr ketika Murid berada di wilayah imaterial. Sederhananya, Dzikr dan Fikr adalah alat penyelamat salikun untuk tidak lengah baik saat berdzikir maupun saat bertafakur, Sebab syetan pun tak pernah lengah, seperti dalam Bidayatussalikin, saat murid ingin membuka hijab alam ghaib malaikat dan syetan sukar dibedakan. Dzikr dan Fikr ada dalam ahlak Guru Mursyid.       

Itulah makanya dalam tulisan sebelumnya mungkin saya pernah keliru menyebut Dzikr adalah pintu ilmu, sejatinya menurut Al Nablusi tadi pintu Dzikr itu Fikr. Tapi Fikr sendiri dari hati yang waspada, dan hati yang waspada itu adalah Dzikr Khofi (hati). Jadi Dzikr dan Fikr tetap dua pintu ilmu platonis. Dzikr dalam wilayah materil, Fikr dalam wilayah imateril keduanya saling menerangi jalan.(*)

 






Tidak ada komentar:

Posting Komentar