Cahaya Jiwa Skesta oleh Taufan |
---Buku
Tipis Non Suryalaya, untuk Tambahan Bekal Ilmiyah
M.
Taufan Musonip
Pintu
zikir adalah pikir,
Pintu
pikir adalah hati yang waspada
Pintu
hati yang waspada adalah qonaah
dan
pintu qonaah adalah zuhud terhadap dunia.
Ratib
Al Nablusi, Buku Mengenal Allah.
Titik-titik yang harus dilalui untuk makrifat kepada Allah adalah sebagaimana syair Al Nablusi di atas. Syair juga cara berdzikir kepada Allah. Ia menyimpan isyarat dan perjalanan spritual yang ditulis dalam bentuk baris dan bait. Bait syair yang pendek membuat pembaca lebih menikmati suasana spritual dalam syair, dan lebih cepat didekatkan dengan eksistensi ilahiyah sebagai temanya.
Para
wali menulis syair. Syair-syair tersebut mewarnai keindahan baik selawat maupun doa dalam kitab-kitab dzikr seperti Barjanzi, Ratib, Uqudul Jumaan. Setiap gang di perkampungan warga di Indonesia cukup mengenal tiga kitab di atas. Kitab-kitab tersebut
juga membantu masyarakat mendirikan majelis dzikir. Majelis Dzikir adalah taman
surga (Al hadits), setiap ia ada malaikat mengelilinginya hingga ke langit malakut.
Jadi
tipisnya sebuah kitab tidak berarti tidak efektif membangun peradaban. Kitab tebal belum tentu mudah dikenali. Tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah
Suryalaya kitab-kitab panduan para salikunnya tipis-tipis. Di Suryalaya dikenal nama Banteng Suryalaya, tanduknya yaitu kitab Bayanutasdiq dan Bidayatussalikin, dua kitab itu dan penulisnya bagai kekuatan kokoh yang menjaga TQN dari serangan luar: menjadi penerang jalan para salikun,
sekaligus membantah bid’ahnya tarekat. Dengan menjadikan Al Qur'an dan Sunnah sebagai pegangan jalan tangga menuju ke langit.
Ya ibaratkan, pohon, dzikr hati (khofi) adalah buahnya, dzikr lisan adalah pohonnya, untuk mendapatkannya kita harus berhasil memanjat pohonnya dulu, melewati ranting-rantingnya, semakin baik dzikr lisannya, semakin nikmat buahnya
Salikun
Pemula
Juga
sebagaimana disampaikan Ajengan Acep A. Rijalulloh dalam MKTM seri ke-8 Al
Ihsan, Mengenai hubungan antara kalimat Laa ilaha Ilallah dengan sifat
20 ---Unik sekali koneksi keduanya disampaikan, setiap suku kata dalam Laa
Ilaha Ilalloh untuk sifat 20 yang acak tapi meneguhkan kalimat tauhid itu
sendiri. Dikatakan, ia mendapat ilmu ini dari bapaknya dan bapaknya dari
gurunya. Ilmu seperti ini pada akhirnya memiliki pola sanad dan musalsal, pola
sanad ini bukan bersifat tekstual, tapi lisani. Murid menulis, guru mendikte,
dan memastikan tidak ada salah tulis. Bahkan jika tidak memakai media
tulis-menulis, guru akan meyakini muridnya mengingat ilmunya. Ingatan manusia
salih jaman dahulu pasti berbeda dengan jaman sekarang. Tapi ingatan itu bisa
kuat juga kalau teks berbentuk syair lisani, bisa dinyanyikan, seperti halnya
Al Qur’an estetika bahasa dan pola syairnya membuat ia bisa dihapalkan.
Tulisan
ini, dan di antara tulisan lainnya, ingin membantu pembaca. Kira-kira buku apa
saja yang musti dicari para salikun baru, untuk mengisi relung pikirnya
melengkapi bekal perjalanan ruhani. Karena Fikr dan Dzikr harus
seimbang, jargon TQN: amal ilmiyah, ilmu amaliyah. Karena nanti
kenikmatan yang diperoleh dalam dzikrullah bisa saja melenakan pikir,
sebaliknya terlalu banyak berpikir juga akan menghindarkan amaliyah. Suryalaya
menerbitkan buku-buku penunjang amali, tujuannya mengantarkan murid ke hadapan
Guru Mursyid secara ruhani dalam dzikrullah. Jasmani ke majelis khotaman dan
manakiban karena di sana akan ada mubaligh dan wakil talqin yang mewakili
Mursyid.
Isinya mirip dengan Bidayatussalikin
dalam membahas sesi Dzikr. Al Qur’an dan As-Sunah dikedepankan sebagai dalil
penting berdzikir metodis bimbingan Guru Mursyid. Bedanya tentu
Bidayatussalikin dalam rel ke-TQN-an karena bersifat amali, sedangkan FdD lebih
umum, ya karena falsafi. Meskipun judul menuliskan kata Fikr dan Dzikr, dzikr
dibahas di bab awal -dan lebih banyak. Dan Fikr dibahas di bab belakangan.
Dalam dzikr, Waley menuliskan
paparan tentang puncak dzikr yaitu dzikr hati. Dzikr hati itu menunjang
kepatuhan atas perintah QS. 33-41 untuk mengingat Allah sebanyak-banyaknya.
Seandainya orang tahu dzikr ini sangat mudah dilakukan melalui talqin dari Guru
Mursyid, dan dijalankan dengan nikmat maka penentangan terhadap tarekat
sebenarnya tidak akan ada. Penentangan tarekat dan stigma yang menempel
padanya, menurut mayoritas kelompok sufi karena ada hijab di mata hatinya.
Tertutup hijab ilmu yang sejatinya tidak akan pernah selesai jika hanya sampai
pada ilmu-ilmu lahir.
Menurut Waley dengan mengutip banyak
paparan dari kitab para Awliya, Dzikr hati itu bisa membantu murid sampai pada
dzikr dengan cinta, dari lisan ke persaksian atau puncak dzikr yaitu muroqobah.
Bang Sanin, mengatakan dalam perjalan ke Manakib di Toyogiri -yang ternyata
zonk, karena si bodoh ini salah lihat jadwal- bahwa dzikr hati adalah buah dari
dzikr lisan. Saya mengerutkan dahi, meminta penjelasan. Ya ibaratkan, pohon,
dzikr hati (khofi) adalah buahnya, dzikr lisan adalah pohonnya, untuk
mendapatkannya kita harus berhasil memanjat pohonnya dulu, melewati
ranting-rantingnya, semakin baik dzikr lisannya, semakin nikmat buahnya. Dzikr
lisannya itu, proses pembersihan hati. Buahnya adalah muroqobah saat murid
terpaut alam pikir dengan Guru Mursyid dan hati menyaksikan keberhadiran Ilahiyah,
sehingga malu melakukan maksiat. Dalam tulisan Waley paparan ini, cukup
kompleks. Anehnya saya dipertemukan dengan Bang Sanin, setelah membaca bab
dzikr hati ini.
Dzikr dalam wilayah materil, Fikr dalam wilayah imateril keduanya saling menerangi jalan
Aspek-Aspek
Dzikr
Dalam bab Dzikr Waley juga
menyampaikan aspek-aspek dzikr, di antaranya Al Qur’an,Wirid, Solat, Doa,
Syair, Khalwah, dan sama’. Ini adalah penerang bagi kaum awam, sejatinya
membaca Al-Qur’an dan taklim adalah berdzikr pula, tapi bukan untuk mengingat,
membaca Al Qur’an dan taklim adalah berdzikr dalam rangka melestarikan Ilmu
Allah, Berdzikr dalam pengertian mengingat ada dalam solat, doa dan wirid.
Lebih intim ada dalam wirid, karena dilakukan berulang-ulang, dalam solat-solat
sunah selain solat wajib, juga dalam Dzikr. Dzikr adalah roh, gerakan solat
adalah syariat, “Dzikr lebih dulu ada ketimbang solat, walaupun pada akhirnya
keduanya di lakukan bersamaan,” Ucap Ajengan Acep suatu kali saat MKTM. Syair
sudah dibahas tadi di depan, sedangkan Sama’ dalam esai Waley, harus dilakukan
lebih hati-hati, dipandu oleh ahlinya. Jadi musik dalam sufi itu tidak bebas,
harus syahdu dan beradab, dan dipandu Guru Mursyid. Dalam tradisi TQN nyanyian
membantu hapalan seperti hapalan sifat 20, manqobah guru mursyid, dan tentu
selawat.
Yang paling unik adalah ketika Waley
menyampaikan tentang tafakkur dalam bab Fikr -Nah ini, membaca buku
Waley dibanding Bidayatussalikin selain soal perbedaan amali dan falsafi juga
membahas komponen Bab Fikr- mana yang lebih utama fikr atau dzikr, Al Ghazali
menjawab Fikr, Fikr yang dilandasi penyaksian hati yang memunculkan gairah
beribadah. Sedang Syech Ahmad I-Jam Al Khurasani dalam Hadiqah al Haqiqah
mengatakan: Zikr lebih utama dari Fikr ketika seorang murid ada dalam
lingkungan material sedangkan fikr bisa lebih utama dari fikr ketika Murid
berada di wilayah imaterial. Sederhananya, Dzikr dan Fikr adalah alat
penyelamat salikun untuk tidak lengah baik saat berdzikir maupun saat
bertafakur, Sebab syetan pun tak pernah lengah, seperti dalam Bidayatussalikin,
saat murid ingin membuka hijab alam ghaib malaikat dan syetan sukar dibedakan.
Dzikr dan Fikr ada dalam ahlak Guru Mursyid.
Itulah
makanya dalam tulisan sebelumnya mungkin saya pernah keliru menyebut Dzikr
adalah pintu ilmu, sejatinya menurut Al Nablusi tadi pintu Dzikr itu Fikr. Tapi
Fikr sendiri dari hati yang waspada, dan hati yang waspada itu adalah Dzikr
Khofi (hati). Jadi Dzikr dan Fikr tetap dua pintu ilmu platonis. Dzikr dalam
wilayah materil, Fikr dalam wilayah imateril keduanya saling menerangi
jalan.(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar