Selasa, 02 Januari 2024

ESAI

Memahami Tarekat sebagai Alternatif untuk Meraih Ketakwaan

M. Taufan Musonip



"Sebenarnya jika dimaknai, tarekat itu jalur alternatif meraih ketakwaan dibanding keilmuan di masyarakat. Tidak semua orang lahir dalam keluarga yang punya kesadaran menyekolahkan anak-anaknya di pesantren. Tarekat adalah komunitas masyarakat inklusif, yang menyublimasi ilmu tasawuf dalam praktik dzikir mu'tabar (terbimbing oleh Guru Mursyid yang bersanad). 

 


Agricultural Development on Acrylic
Oleh Pelukis Gulam Robbani

 

 

Sesungguhnya hadirnya Guru Mursyid dalam tarekat itu menjadikan tasawuf sesuai jamannya. Ilmu tasawuf harus "miindung ka waktu, mibapa ka jaman" sebagaimana semboyan wayang golek asuhan Asep Sunandar Sunarya, yang kebetulan juga seorang murid tarekat. Seperti istilah qiyas dalam ilmu syariat.

Tasawuf harus bermakna bagi kehidupan para muridnya di jaman modern dengan pengamalan di bawah bimbingan Guru Mursyid.

Ilmu hakikat harus terus dibunyikan makna dan pelaksanaannya sesuai jamannya. Supaya tidak seseram yang dipahami sebagian masyarakat jika mendengar nama Syech Siti Jenar atau Al Hallaj.

Ilmu hakikat dan makrifat harus memiliki manfaat bagi jaman modern. Agar orang-orang tidak antipati terhadap ilmu tasawuf. Berbagai disiplin ilmu harus menyertai, langkah pemaknaannya dalam setiap gerak atas buah manis amaliyah tasawuf ini.

Proses

Upgrading II Suryalaya, sebenarnya mencoba pendekatan ini. Tapi belum diselenggarakan lagi. Mungkin, kebutuhannya dianggap tidak urgent, mengingat, mayoritas masyarakat yang tergabung dalam tarekat Abah Anom Ra. adalah masyarakat Islam yang memerlukan pembuktian kelezatan tarekat dalam amaliyah.

Tapi saya sendiri merasa pendekatan Ilmu penting apabila di masyarakat banyak sekali salah memahami tarekat itu sendiri. Pendekatan ahlak penting, tapi kadang kala ada juga masyarakat yang membutuhkan informasi melalui perspektif keilmuan.

Sebenarnya jika dimaknai, tarekat itu jalur alternatif meraih ketakwaan dibanding keilmuan di masyarakat. Tidak semua orang lahir dalam keluarga yang punya kesadaran menyekolahkan anak-anaknya di pesantren. Tarekat adalah komunitas masyarakat inklusif, yang menyublimasi ilmu tasawuf dalam praktik dzikir mu'tabar (terbimbing oleh Guru Mursyid yang bersanad). 

Jika ilmu tafsir harus menguasai 12 ilmu alat untuk menggali Al Qur'an, maka tasawuf dalam tarekat membantu orang-orang yang tak mampu menyusul untuk menguasai ilmu alat tsb. Antara orang yang mengikuti jalur ilmu maupun tarekat hakikatnya sama-sama ingin menggapai ketakwaan. Antara orang berilmu secara formal dan non formal (dalam istilah Tasawuf disebut ilmu Ladunni), tiada beda dalam pandangan Allah, kecuali kadar ketakwaannya.

Keduanya sebenarnya tidak ada yang dikatakan selesai. Keduanya tengah menjalani proses menuntut ilmu, yang harus terus digapai hingga akhir hayat.

Hal itu bukan berarti tarekat terpisah dari ilmu tasawuf yang biasa mewarnai kajian Ushul Fiqh sebagaimana dipelajari para santri di Pesantren. Terpisahnya tarekat dengan ilmu agama Islam secara menyeluruh perlu didalami, oleh sarjana Islam. Yang menyebabkan masa-masa sekarang pesantren tasawuf hanya bisa dihitung jari jika kita lihat misalnya di Jawa Barat atau pulau Jawa. 

Nyatanya Islam di Indonesia bukan saja kehilangan tradisi filsafatnya, juga tradisi tarekatnya. Rukun Agama Islam, yang terdiri dari Islam, iman dan Ihsan sudah kurang familiar lagi ditelinga masyarakat Islam. Tahunya hanya rukun Islam dan Iman. Mempertajam rasa bersama Allah sudah dianggap tidak relevan. Mempertajam rasa bersama Allah perlu metodologi sebagaimana metodologi menegakkan syariat melalu Rumah Sakit dan Pendidikan. Metodologi mempertajam rasa bersama Allah ada di dalam tarekat.

Karenanya sarjana Islam perlu merekonstruksi tema-tema yang menjadi rancang bangun ilmu tasawuf itu sendiri.

Gila Cinta

Ilmu hakikat dalam pengertian sederhana adalah metode penerapan ilmu syariat, yang lebih inklusif dan bersifat proses. Seperti halnya jika ada orang yang ingin salat ke masjid dia sudah tak perlu lagi memperhatikan musuh politiknya yang juga salat dalam mesjid yang sama, karena dia sadar, bahwa semua orang bergerak atas izin Allah. Sedangkan ilmu makrifat tak ubahnya psikososial, untuk menegakkan ilmu fiqih, dalam format tawakal setelah ikhtiar dalam sabar. Mengenal Allah dalam pengalaman mengamalkan ilmu kepada orang banyak yang tentu memiliki tantangan.

Ilmu tasawuf dalam tarekat tak seseram yang banyak dipahami sebagian orang, jika kita melihatnya dalam berbagai disiplin ilmu. Mengambil cara pandang filsafat Mazhab Baden di Jerman, yang tokoh-tokohnya di antaranya, Windelband, Casirrer, Cohan hingga Ditley, merupakan salah satu disiplin ilmu budaya, bukan ilmu pengetahuan alam, yang bersifat dapat dipahami tidak hanya melalui logika semata tapi juga melalui rasa. Ilmu yang dihasilkan oleh unsur rasa ini menurut mereka terdiri dari ilmu seni dan sastra, sosiologi hingga politik. 

Mereka menyebut unsur logika sebagai unsur nomotetis yaitu bersifat santifik, data, dan harus berulang-ulang. Sedangkan unsur rasa disebutnya ideografik terjadinya hanya sekali, kalau pun berulang pasti ada khazanah berbeda. Seperti pengalaman politik yang selalu memiliki fenomena berbeda meskipun diantisipasi dengan cara yang sama. Bagi orang tarekat, itu hal biasa, karena iradat manusia tak akan pernah sama dengan iradat Allah.

Yang paling dihindari masyarakat menghadapi tarekat masa sekarang adalah gila cinta sebagian pegiatnya yang kebanyakan ada pada masa lalu. Gila cinta itu takdir dan iradatNya. Tidak semua harus mengalami, dari banyak pegiat tarekat berapa persen yang mengalami gila cinta? Justru paling banyak terjadi adalah perubahan prilaku. Dari awalnya takut menjadi malu, dari hanya menjalani ibadah sebagai tuntutan dan kebutuhan menjadi tempat muroqobah (berakrab-akrab), hal ini menjadikan jiwa menjadi tangguh dalam segala keadaan, susah maupun senang. Dari awalnya suka marah-marah jadi lebih sabar. Lebih tenang lagi dalam urusan mencari nafkah, mengetahui takaran rezeki sesuai pembagianNya. Lebih santai menghadapi ketidakpastian masa depan, karena ia merasa selalu bersama Pemilik Masa Depan.

Dalam Tarekat Abah Anom, tidak ada istilah berpisah dari masyarakat. Uzlah muridnya justru dalam pembauran, karena amalan dzikir khofi menyikapi keramaian sebagai tempat uzlah.*






Tidak ada komentar:

Posting Komentar