Rabu, 21 Februari 2024

BUKU-BUKU YANG SAYA BACA

Novel Pasar: Sufisme sebagai Realitas Masyarakat

M. Taufan Musonip


"Rasa-intuisi diaktifkan dalam dunia sadar oleh Mantri Pasar, lelakon dalam Novel ini. Menurutnya rasa ini dihasilkan melalui fase Tadzkiyatun Nafs, menjadikan Nafsu yang terdidik untuk selalu melakukan kebaikan. Fase itu adalah Nafs Amarah ini dilalui dangan jiwa struktural-politis melawan Swastanisasi Kasan Ngali. Lalu Nafs Lawammah dilalui dengan perjalanan ke dalam diri mendapatkan uraian-uraian filsafat mistik Islam seperti istilah rasa-intuisi yaitu merasakan diri selalu bersama Allah dan Nafs Muthmainah dilalui dengan perbaikan diri karena Allah yang berakibat pada perbaikan hubungan dengan sesama.


Lukisan Andre Breton
Landscape (1933)



Istilah Sastra Profetik merupakan nama lain dari sastra Islam yang memiliki rangka gagasan struktur-transenden. Jika pengertiannya seperti itu semua pengarang seperti Buya Hamka, Achdiat K. Mihardja, termasuk pengarang Islam modern misalnya Abidah El Khalieqy, Habiburahman Shirazy, juga A Fuadi bisa digolongkan sebagai kelompok Sastrawan Profetik. Tapi rasa-rasanya kelompok ini tak memiliki nuansa gubahan yang sama dengan Kuntowijoyo, Danarto atau Mustofa Bisri. Yang disebutkan terakhir lebih memiliki ide-ide sufistik. 

Namun seperti dalam Kembali ke Akar kembali ke Sumber-nya Abdul Hadi WM, Istilah strukturalisme-transenden sudah pakem adanya bagi Sastra Profetik kerap juga disebut-sebut oleh Kuntowijoyo misalnya dalam Muslim Tanpa Masjid -sebagaimana diketahui Kuntowijoyo merupakan salah satu pencetus kesustraan genre ini. Meskipun kedua tokoh di atas lebih tertarik menulis tentang sastra sufistik. Keduanya pula lahir dari akar keluarga Muhammadiyah. 

Dalam buku The Tao of Islam istilah transendensi diibaratkan sebagai Yin yaitu sesuatu yang mengatur. Atau Dia yang jauh. dalam penjabaran yang lain oleh Tafsir Al Mishbah mengenai lafadz Allah, saat dua huruf alif dan lam dipisahkan menjadi lahu, maka ia bermakna pada-Nya, sedangkan jika semua dihilangkan dan tinggal huruf ha maka ia menjadi Hu, artinya Dia dan mengandung kata Ah sebagai harapan. Allah bersifat transenden sekaligus imanen bagi hambanya.

Allah bersifat transenden sejak huruf alif dihilangkan yang berarti Lillah yaitu tentang semua hal sebagai manifestasinya. Allah bersifat imanen saat huruf alif tak nampak dalam kalimat bismillah. Bismillah adalah manifestasi keberadaan Allah yang ghaib yang ingin dikenal melalui Rahman dan Rahimnya. Karenanya istilah strukturalisme-transenden bersifat legalis, mencakup semua karya-karya bernuansa Islam yang berkecenderungan fundamentalisme. 

Sedangkan sufisme lebih bernuansa imanen. Sufisme dalam Kuntowijoyo bisa dikatakan realisme, sesuatu yang tersedia di masyarakat. Imanen itu sejajar dengan istilah Tajjali: Ia dikenal dan paling mudah bisa dirasakan, bahkan bisa dicintai. oleh Sachiko Murata dipadankan dengan istilah Yang. Yin, bermakna Taois, feminis. Sedangkan Yang bermakna Konfisius, maskulin.  Keduanya dalam Islam oleh Sachiko di tafsirkan sebagai Jamaliyah dan Jallaliyah dalam bingkai Dia sebagai Al Kamal.


Sufisme sebagai Realitas

Kajian Profetik lebih umum dari kajian sufistik, atau dalam tulisan saya yang lain profetik itu istilah Barat untuk menghindari proses karya cipta yang dilakoni oleh kelompok sufi, karenanya sastra profetik kerap menggeser karya sastra sufi sebagai karya klasik. Dalam proses karya cipta kaum sufi, jiwa kreatif merupakan hasil tempaan tadzkiyatun nafs sebagai buah kesadaran estetik yang timbul dari kebeningan kalbu. Pencapaian ini bisa sulit dilakoni, dan tak bisa menjadi ukuran yang digantungkan pada nilai-nilai estetika modern. Dan bisa jadi bukan lagi menjadi jembatan antara karya dan pembentukan ahlak penulisnya yang katakanlah menghasilkan kepribadian zuhud. 

Karya-karya sufi klasik selalu bertaut dengan ahlak pengarangnya. Meski begitu bukan berarti pengarang profetik yang menulis tentang sufisme, tidak memiliki ahlak dan menjalankan proses kreatif kaum sufi, kita tidak tahu. Yang pada dasarnya, sastra profetik juga merupakan bentuk kesalehan dalam bidang ilmu pengetahuan estetik Islam sesuai kebutuhan masyarakat Islam modern atau kontemporer. Kajian Tasawuf falsafi misalnya, tetap bisa menjadi kerangka proses kreatif suatu karya bernuansa Islam tanpa harus melewati proses Tadzkiyatun Nafs sebagai mana biasa dilakukan pada pengarang sufi.

Filsafat estetika Barat tentu menjadi rujukan tumpuan dalam genre ini. Karya merupakan titik tumpu totalitas suatu nilai estetika. Dimulai dari wacana Filsafat Hegelian abad XX di Inggris hingga Dekonstruksi Deridda memengaruhi budaya pembacaan. Di Indonesia pernah mencuat perdebatan yang ditukangi kritikus-kritikus aliran sosiolinguistik dan akademikus. Kedua aliran itu dikenal sebagai Rawamangun vs Ganzheit. Tetapi modernitas sastra Indonesia mengacu pada Dekonstruksi: yang populer biasa didengar, Pengarang telah mati, saat karyanya terpublikasi. Istilah Dekonstruksi ini memutus hubungan antara sosiolingustik dan karya sastra. Dalam tradisi Aswaja di mana sufisme dilestarikan ajaran dekonstruksi seperti itu masuk ke dalam kategori bid'ah, kitab yang membicarakan hal itu adalah Syekh Ibnul Jauzi yaitu Talbis Iblis.

Kita tak dapat memahami seorang Kuntowijoyo sebagai pengamal tasawuf jika karyanya merupakan representasi dari kajian profetik. Karyanya adalah totalitas nilai tentang Islam dan estetika. Yang sudah melewati pengujian dalam realitas. Ia seorang akademikus tulen itu sudah pasti. Mengamati ketahanan masyarakat Islam dalam berbagai peristiwa sejarah Indonesia. Sebuah novel atau cerita pendeknya tak pernah jauh dari realitas zamannya. Jika kita harus membandingkan karya-karyanya dengan Kumpulan Cerpen Lukisan Kaligrafi Ahmad Mustofa Bisri atau Kumpulan Cerpen Danarto berjudul Setangkai Melati di Sayap Jibril, pembaca bisa merasakan tokoh imajinatif dalam Cerpen-cerpen Danarto sedangkan Bisri memainkan penokohan kalangan ulama dengan nuansa karomahnya, Kuntowijoyo justru lebih bermain di wilayah perifer. Wilayah di mana masyarakat kecil Islam berhadapan dengan masalah-masalah sosial. Yang didalamnya ada mistisisme. 

Pasar

Hal itu lagi-lagi dirasakan dalam Novel Pasar yang sama halnya dengan novel Kuntowijoyo yang lain seperti Wasripin dan Satinah juga Kumcer Persekongkolan Ahli Makrifat, penokohannya diambil dari potret orang-orang biasa bahkan cenderung tertindas. Kunto menemukan sufisme sebagai benteng religiositas masyarakat rekaannya menghadapi segala permasalahan hidup.

Diceritakan seorang Mantri Pasar pecinta burung dara dihadang oleh swastanisasi. Unit-unit usaha Pemerintah- atau katakanlah Badan Usaha Milik Negara itu- keuntungannya digunakan untuk kemaslahatan masyarakat. Karena berbasis kerakyatan seperti itu, keuntungan dalam usaha yang dimiliki pemerintah menjadi bias. Yang membuat pelayanannya kalah saing dengan pelayanan milik swasta. 

Pasar Negara dalam novel Pasar diganggu oleh burung-burung dara peliharaan Sang Mantri Pasar yang mengganggu penghuni los-los pasar. Dan menggeser para pedagang ke luar pagar, menjadi peluang bisnis oleh Pengusaha Gaplek bernama Kasan Ngali. Tokoh yang satu ini, digambarkan sebagai si tajir yang justru karena ketajirannya ia menjadi sewenang-sewenang dan cenderung amoral. Sebenarnya lakon yang biasa didapatkan dalam masyarakat negara kapitalis. 

Ekspansi pasar swasta ini membangun sistem ekonomi kredit yang memudahkan permodalan bagi para pedagang los, dan menjadi pesaing Bank Pasar yang dibangun oleh Negara yang berbasis ekonomi tabungan. Sosok Kasan Ngali segera diperhitungkan sebagai tokoh kaya yang banyak memengaruhi kebijakan pemerintah lokal. Camat, kepala polisi dan pejabat negara lain dibuat canggung karena uang Kasan Ngali memengaruhi tabiat mereka. Aduan Mantri Pasar tentang ancaman Pasar Swasta dianggap angin.

Usaha melawan nasib sebagai pasar yang ditinggalkan pedagangnya secara struktural tidak berbuah hasil. Mantri Pasar dan bawahannya Paijo memerlukan strategi lain. Pak Mantri segera sadar bahwa strategi barunya harus keluar dari jiwa spritual. Jika tidak, apa bedanya dengan cara kerja pasar swasta.

Jiwa spiritual itu adalah sufisme. Yang menyatu dalam tembang-tembang jawa yang ia sukai, menyatu dalam kesukaan memelihara burung dara -menurutnya hak hidup burung mesti dijaga sama seperti hak hidup manusia-, yang menyukai keindahan wanita yang pernah ia idamkan yaitu janda satu anak yang malah dikawini gerotnya sendiri Kasan Ngali dan Siti Zaitun penjaga Bank Pasar yang menjaga betul harga dirinya sebagai perawan. 


"Mantri Pasar harus membuat pasarnya untung, agar menjadi pendapatan Negara, tapi dia dan pasarnya harus melakukan perbaikan ke dalam bukan dengan perbaikan struktur yang sudah tercemar materialisme itu. Jika bisnis usaha milik pemerintah maju dalam pelayanan dan untung, maka akan mudah bersaing dengan swasta. 

 

Kasan Ngali Sang Kapitalis telah berhasil merebut janda idaman Mantri Pasar, tapi gagal mendapatkan Perawan Siti Zaitun. Perempuan dalam Kapitalisme kerap dijadikan sumber eksploitasi. Mereka dianggap perhiasan semata. Tidak dianggap manusia seutuhnya. Siti Zaitun melawan, perempuan ini menggerakkan semua perangkat Pemerintahan untuk mengawasi Kasan Ngali yang serakah dan kurang akhlak itu. Ditengah Amuk Zaitun dalam mempertahankan harga dirinya itu, Mantri Pasar pergi ke dalam dirinya sendiri.

Awalnya Sang Ambtenaar Jawa ini berkata kepada Paijo si Tukang Karcis bawahannya: 

"Kau tahu, rasa itu tak pernah mati. Sekalipun engkau tidur. Berbeda dengan pikiranmu."

Rasa adalah sumber imajinasi sufisme. Rasa-intuitif (perangkat epistemologik yang dominan dimiliki perempuan seperti sayap Jamaliyah dalam diskursus Sachiko di atas). Dalam itu istilah tasawuf disebut sebagai Al Dzauq. Rasa bersifat abadi, dengan tolok ukur ia masih aktif saat pemiliknya tidur, meskipun pemiliknya seorang ateis. Jika dalam mimpi si ateis bersedih karena kehilangan orang yang dikasihinya ia merasakan hal sedih seperti saat ia sadar. Berbeda halnya dengan akal-rasio, ia non aktif, karena alur mimpi selain bersifat simbolik juga tak memiliki alur cerita yang pasti dan tak bisa dikendalikan rasio-akal meski si tidur adalah orang paling cerdas di dunia.

Harus Untung

Rasa-intuisi diaktifkan dalam dunia sadar oleh Mantri Pasar, lelakon dalam Novel ini. Menurutnya rasa ini dihasilkan melalui fase Tadzkiyatun Nafs, menjadikan Nafsu yang terdidik untuk selalu melakukan kebaikan. Fase itu adalah Nafs Amarah ini dilalui dangan jiwa struktural-politis melawan Swastanisasi Kasan Ngali. Lalu Nafs Lawammah dilalui dengan perjalanan ke dalam diri mendapatkan uraian-uraian filsafat mistik Islam seperti istilah rasa-intuisi yaitu merasakan diri selalu bersama Allah dan Nafs Muthmainah dilalui dengan perbaikan diri karena Allah yang berakibat pada perbaikan hubungan dengan sesama.

Dalam sufisme perbaikan sosial bersifat perennial, dalam arti siapapun berpeluang menjadi manusia bertakwa. Karenanya rasa bersama mahluk bersifat inklusif. Dalam pengajian Tanbihul Ghofilin dikatakan ada orang kafir masuk Surga, karena kerap menghargai orang yang berpuasa di bulan Ramadhan. Ketika ditanya oleh sahabatnya yang muslim, dia berkata karena kebaikannya itu saat sakratul maut ia didatangi Malak Jibril dan membacakan dua kalimat syahadat.

Begitu pun dengan Mantri Pasar akhirnya ia tak mau lagi pusing dengan kejahatan sistemik, terstruktur dan masif ala Kasan Ngali. Ia tetap berbuat baik di dalam masyarakat, mulai dengan memperbaiki los-los pasar. Dan menyerahkan kepemilikan Burung Dara kepada masyarakat sekitar Pasar. Memperbaiki hubungan dengan bawahannya Paijo dan Siti Zaitun sendiri. Saat itu para pedagang mulai kembali ke los-los Pasar Pemerintah, meski Bank Pasar gagal diselamatkan. 

Berbeda dengan fase Mantri Pasar, Kasan Ngali kalah dengan hawa nafsu kepemilikannya sendiri, pendirian Bank Kredit, mobil barunya, syahwat kawinnya, menjadi awal bencana. Ia merasakan semua kepemilikannya adalah kepemilikan semu bahkan secara ekonomi. "Untuk apa mendirikan Bank Kredit, selain hanya ingin menunjukan daya saing kepada bank pendahulunya yaitu Bank Pasar, keuntungannya pun tak segera bisa dilihat. Untuk apa memiliki mobil baru selain hanya untuk ditunjukan kepada Siti Zaitun. Dan untuk apa menikahi janda cantik -sebagai opsi lain jika Siti Zaitun tak bisa dimiliki- pemain ketoprak, kalau nanti tetap dimiliki semua penontonnya.

Mantri Pasar harus membuat pasarnya untung, agar menjadi pendapatan Negara, tapi dia dan pasarnya harus melakukan perbaikan ke dalam bukan dengan perbaikan struktur yang sudah tercemar materialisme itu. Jika bisnis usaha milik pemerintah maju dalam pelayanan dan untung, maka akan mudah bersaing dengan swasta. 

Humor

Keberhasilan Kuntowijoyo dalam menulis cerita adalah pendalaman humornya. Sebagaimana dirasakan pula dalam Wasripin dan Satinah dan Persekongkolan Ahli Makrifat. Humor bisa jadi merupakan maqom cerita yang lebih realistis dan membuat idealisme sebagai isi dari cerita mengalami sublimasi. Bisa jadi kepiawaian Kuntowijoyo dalam menulis humor dalam cerita karena ia ada ditengah-tengah masyarakatnya.

Paijo si Tukang Karcis, Mantri Pasar dan Kasan Ngali adalah mahluk-mahluk lugu. Keluguan adalah humor. Humor itu pembebasan dari diri yang terjajah oleh formalitas. Meskipun Mantri Pasar seorang pegawai pemerintahan dia bebas melukiskan jiwanya sebagai pecinta Burung Dara. Ia seorang pecinta keindahan yang gabut dalam pekerjaannya sebelum menemukan hakikat merasakan. Protesnya kepada para stakeholder desa betul-betul sangat lugu, yang dikeluhkan bukan pergerakan pasar swastanya, tapi sosok dibalik pergerakan itu yang bertolak belakang dari dirinya, yang moralis, tahu keindahan dan budaya jawa. 

Mantri Pasar melepas semua burung daranya dan menghibahkan kepada orang-orang di pasar sejak menemukan filsafat rasa sejatining rasa. Tak peduli pedagang-pedagang itu tinggal di losnya atau los Kasan Ngali. Tapi orang-orang menangkap burung dara, Kasan Ngali membelinya! Jadi jumlah burung dara tak pernah jauh berkurang. Bagi Kasan Ngali keluguannya adalah menambah hak milik sebanyak mungkin. Ia ingin dikenal sebagai orang kaya dan terpandang. Sedangkan Paijo lugu dalam hal bersetia kepada atasannya Mantri Pasar: marah dan ramahnya, perintah dan keinginannya, dibayar atau tidak, adalah rasa nikmatnya menjadi bawahan. Yang penting baginya ia memiliki pekerjaan, pekerjaan bagi laki-laki adalah harga diri meski bayarannya hanya cukup buat tambah-tambah uang rokok. 

Keluguan Paijo juga tidak partisan. Meski ia pengikut Mantri Pasar, yang nuansanya seperti hierarki Mursyid-Murid tarekat ini, tetap yang ia bela adalah kebenaran secara syariat. Kalau yang benar itu datang dari musuh gurunya ia akan katakan itu benar. Seperti saat ia membela Khasan Ngali tentang masalah pungutan di pasar, Paijo mengatakan sejujurnya, bahwa tidak ada pungutan seperti di Pasar Pemerintah yang tentu saja itu merugikan atasannya.

Keluguan-keluguan dalam penokohan yang diciptakan Kuntowijoyo dalam Pasar membuat perjalanan cerita menjadi sangat cair, membacanya pun tak membutuhkan waktu yang lama. Padahal karangan-karangannya sudah pasti berbobot keilmuan. Bagi pengarang berlatar belakang akademik mengarang sudah pasti merupakan cara menyampaikan gagasan esainya agar medan pembacanya meluas. Meskipun pengarang umum juga mungkin melakukannya, yang dilakukan Kuntowijoyo lebih terstruktur dan tahu bagaimana gagasan dalam cerita tidak tanggal menjadi Kitsch.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar