Minggu, 31 Desember 2023

ESAI

Milad Abah Anom sebagai Pembelajaran Jiwa Moderat Islam

M. Taufan Musonip


"Jika Abah Anom mau bisalah dia berkata: Aku menjadi Mursyid bahkan sebelum dilahirkan. Tapi Guru Agung jauh dari perkataan seperti itu. Ia dibimbing Allah, melalui berkah karomah Guru Sebelumnya, juga melalui syafaat Nabi Saw, perkataannya penuh dengan cerminan kerendahan hati. 

 

Gus Dur (kiri) dan
Abah Anom Ra. (kanan)


1 Januari adalah kelahiran Guru Agung Syech Ahmad Sohibul Wafa' Tajul Arifin. Kehadirannya, berkah dan karomah yang besar bagi murid-muridnya yang diperkirakan jumlahnya mencapai puluhan juta. 

Konon Abah Anom Ra. Ditunjuk melanjutkan kemursyidan ayahandanya (Syech Abdullah Mubarak bin Nur Muhammad) sejak beliau dalam kandungan. Tapi beliau tidak pernah mengikrarkan diri sebagai Mursyid setelah ayahandanya meninggal. 

Kalau mau Abah Anom Ra. bisa saja mengklaim kemursyidan, sesaat setelah ayahandanya meninggal berdasar pada kabar di atas. Tapi beliau memilih menyembunyikan kemursyidannya selama beberapa waktu. Sebelum para Wakil Talqin kala itu bertawajuh dan mukasyafah siapa penerus Abah Sepuh Ra. 

Moderat Menurut Muhasibi

Setelah diketahui bahwa Abah Anom menjadi penerus kemursyidan Tarekat Qodiriyah Wan Naqsbandiyah, beliau baru mengeluarkan bukti tertulis kemursyidannya yang ditandatangani langsung Abah Sepuh Ra.

Sifat rendah hati Abah Anom ini adalah ciri-ciri sikap moderat beliau. Moderat itu tidak harus diartikan melulu sebagai pengayom keberagaman. Yang bisa mengarah pada fanatisme juga. Moderatisme itu sifat rendah hati dalam bingkai Umattan Wasathon, bukan saja kepada lintas mahzab dan agama. Tetapi kepada fakir miskin dan orang terlantar.

Moderatisme menurut Syech Al Harits Muhasibi, merupakan sifat khas kaum sufi. Moderatisme itu nama lain dari sikap tawadhu yang bertentangan dengan sikap fanatik.

Dalam 'Adab Al Nufus:

Bagaimana bisa engkau mengaku moderat, kalau kau masih sombong dengan pencapaianmu. Sikap moderat itu hatimu yang terbuka terhadap segala nasihat. Hatimu yang sadar pencapaianmu bukan semata-mata kehebatanmu, semua semata-mata pertolongan Allah. Bagaimana bisa engkau mengaku moderat jika tak mau menerima kehadiran orang lain, karena pencapaian ilmu dan amalmu. Allah melihat keadaan hatimu, bukan pencapaianmu.

Menurut Muhasibi, sifat moderatisme itu hasil dari latihan Tadzkiyatun Nafs. Karenanya wajib hukumnya. Amal tanpa hati yang bersih, ya, tak akan melahirkan moderatisme, amal dan ilmu itu bukan tujuan moderatisme, tujuan moderatisme itu makrifat kepada Allah. Sehingga hati sadar, banyaknya keterbatasan, baik mengingat atau mengamalkan ilmu. 


Buya Hamka (kiri) dan
Abah Anom Ra. (Kanan).


Jika Abah Anom mau bisalah beliau berkata: Aku menjadi Mursyid bahkan sebelum dilahirkan. Tapi Guru Agung jauh dari perkataan seperti itu. Ia dibimbing Allah, melalui berkah karomah Guru Sebelumnya, juga melalui syafaat Nabi Saw, perkataannya penuh dengan cerminan kebeningan hati. 

Saat Gus Dur datang pada masa Muktamar NU di Cipasung, meminta restu menjadi Ketua Umum NU kedua kalinya, Gus Dur yang ingin ditalqin dzikir, tidak ia berikan, karena menurut Beliau, Gus Dur sudah ditalqin langsung oleh Syech Abdul Qodir Jaelani langsung dalam mimpi Presiden Indonesia ke 4 itu. Jika beliau mau, demi pengakuan ketokohannya, bisa saja permintaan Gus Dur dipenuhi. Foto sungkemnya Gus Dur kepada Abah Anom tentu simbol moderatisme kedua tokoh ini.

Begitu pula dengan Buya Hamka, yang kalau tidak salah kedatangannya ke Suryalaya karena bermimpi bertemu Rasulullah Saw di Makkah agar bertemu sosok paling ikhlas di Indonesia, Buya Hamka melangkahkan kakinya ke Suryalaya. 

Kasih Sayang

Saat berpisah Abah Anom berkata pada Buya Hamka yang konon diberikan waktu berdakwah selama beberapa hari di Suryalaya:

"Ucapan jutaan terima kasih atas banyak ilmu yang telah dicurahkan, tetapi Abah mohon agar Buya mau mengatakan kepada Abah, bagaimana mengamalkan semuanya itu. Abah sendiri juga tidak mampu, apatah lagi para santri. Mohon ditunjuki ya Buya“, demikian kurang lebih Pangersa Abah.

Buya Hamka juga berkata saat meninggalkan Suryalaya: "aku bukan Hamka tapi Hampa."

Potret pertemuan Abah Anom Ra. dan Buya Hamka juga cerminan pribadi orang-orang moderat.

Abah Anom jangankan menghadapi tokoh nasional seperti Gus Dur dan Buya Hamka kepada muridnya pun beliau kerap menghadirkan dirinya yang rendah hati, seperti ucapan yang sering didengar ini:

"Sami-sami kasep, hayu urang diajar dzikir sareng Abah."

Indonesia sedang membutuhkan pelajaran mengenai moderatisme secara ruh dan praktik. Dan jauh dari sekadar lip servis. Tanda moderatisme itu kasih sayang terhadap siapapun tanpa melihat latar belakang, juga merasa diri tidak lebih baik dari orang lain.*



Tidak ada komentar:

Posting Komentar