Selasa, 26 Desember 2023

BUKU-BUKU YANG SAYA BACA

Adab Al Nufus-nya Syech Muhasibi 

:tentang Makrifat sebagai Awal Mula Adanya Ilmu

M. Taufan Musonip



Nasihat itu mengandung ilmu dan kebijaksanaan. Ilmu mengenal kebijaksanaan karena dimulai dengan Makrifat, seperti itu kira-kira menurut Syech Muhasibi. Tanpa makrifat ilmu fiqih tak akan ada. Jangankan ilmu fiqih, iradat saja tak akan pernah ada.



The Strange Penguin
Piotr Parniak


Bisa dikatakan ilmu makrifat itu ilmu paling dihindari. Entah bagaimana ceritanya orang-orang menjauhi buah dari ilmu tasawuf ini. Orang banyak yang terkecoh, menuntut ilmu ini akan menjadikan si penuntut ilmu menjadi gila. Dan puncaknya tak lagi menjalankan syariat. 

Atau bisa jadi orang ragu akan manfaat ilmu ini, bisa diterapkan di jaman modern.

Memang seharusnya ilmu tentang ini banyak dituliskan, oleh pengamal tasawuf. Sulit menuliskannya secara non-fiksi, ilmu ini titik beratnya pada olah merasakan. Karenanya karya yang banyak dihasilkan oleh bidang ini adalah seni dan sastra. 

Dalil-dalil hadits dan Al Qur'an semata tidak cukup mengokohkan pentingnya di jaman modern ini, kecuali melalui praktik di jalur tarekat. Jalur ini pun terkadang enggan dilalui. Banyak masyarakat takut terjebak kultus individu yang berpusat pada hadirnya Guru Mursyid. Padahal salah satu metode paling mudah mendapatkan ilmu adalah mencontoh terlebih dahulu ahlak orang yang berilmu. Ini juga bagian awal dari makrifat: berupaya 'merendahkan diri' dengan belajar berguru.

Adalah buku Adab Al Nufus yang dialih judulkan dalam bahasa Indonesia menjadi Tulus Tanpa Batas, salah satu buku yang tidak seperti Tanwirul Qulub, tidak banyak memasukkan dalil-dalil Al Qur'an dan Hadits, namun seolah menjadi penerang dari buku-buku tasawuf lainnya.

Agama sebagai Nasihat

Konon guru-guru mursyid memang biasa berbicara tanpa dalil. Cahaya kalbunya selalu mendahului nasihatnya. "Bisa taubat orang yang melihat langsung cahaya wajah Guru Mursyid" sebagaimana dipercaya banyak para aktivis tarekat yang dulunya bukan orang baik. Ini harus eksperimentasi, kalau hanya sekadar baca, sulitlah dipercaya. Dan kadang orang yang pernah  bertemu langsung Guru Mursyid pun sulit melukiskannya dengan kata-kata.

Hal itu juga dipercaya oleh pemikiran filsafat Bahasa. Bisa disebutkan disini tokoh filsufnya seperti Wittgenstein (K Bertens) hingga Matius Ali (Psikologi Film). Bahasa selalu bersifat terbatas bahkan hanya untuk melukiskan realitas.

Adab Al Nufus, adalah buku kumpulan esai yang sangat mengalir. Memangil pembacanya dengan kata ganti kedua, Anda, Kalian, Saudara. Karenanya bersifat nasihat. Menurut Syech Al Harits Muhasibi pengarangnya, Agama itu juga merupakan kumpulan Nasihat. Beliau sendiri yang masyur karena ahli Muhasabah, tak canggung mengutarakan nasihat-nasihat dalam buku ini. Ini adalah contoh, orang tarekat masa sekarang bisa juga mengutarakan nasihat. Tanpa terganggu jargon: 

Dahulu aku cerdas maka aku ingin mengubah dunia, sekarang aku bijaksana maka aku ingin mengubah diriku.

Jargon itu pun indah dan mengandung nasihat juga, yang terpenting dari usaha menyampaikan nasihat adalah caranya yang indah. Nasihat itu seperti cermin, selalu berlangsung dua arah kepada dunia dan akunya nasihat.

Nasihat itu mengandung ilmu dan kebijaksanaan. Ilmu mengenal kebijaksanaan karena dimulai dengan Makrifat, seperti itu kira-kira menurut Syech Muhasibi. Tanpa makrifat ilmu fiqih tak akan ada. Jangankan ilmu fiqih, iradat saja tak akan pernah ada.

Makrifat itu suatu cara mengenal Allah melalui dalil-dalil aqli maupun naqli. Tapi mengenal Allah melalui pengalaman merasakan hadirNya, melahirkan iradat-iradat tanpa syarat. Menyaksikannya dengan diiringi rasa malu karena Ia terus memperhatikan siang malam, sendiri atau banyak orang. Orang-orang yang bermakrifat karena dalil hanya akan merasakan kehadiran Allah dengan rasa takut. Atau mengharapkan imbalan dari setiap amal yang diperbuat.

Sebenarnya mengutarakan hal itu memang tak perlu disertai dalil. Penyaksian manusia bersifat terbatas, Allah pasti tak terbatas. Kalau sama-sama terbatas, berarti belum ada makrifat. 

Sabar dan Tawakal

Bagaimana ilmu makrifat diamalkan dalam kehidupan kini dan sehari-hari?

Ilmu makrifat mendorong orang yang melaksanakannya untuk menuntut ilmu. Tua atau muda. Fiqih atau ushul fiqh, mengamalkan ilmu fiqih adalah memenuhi ekspresi kecintaan hamba kepada Allah sesuai keinginanNya. Dari mulai mengenakan parfum dan bersiwak sebelum solat dan rukun wajibnya. Tanpa ilmu fiqih kita belum mengenal Allah. 

Ilmu makrifat juga menegakkan ilmu sabar dan tawakal. Buku Adab Al Nufus ini memberi pengertian atas Nasihat Abu Yazid Busthami dalam buku Maha Guru Sufi yang dikenal syarat ekstase:

"Jika kelak di padang masyar aku harus memberi nasihat, akan kucari musuh-musuhku,"

Menurut Al Muhasibi, musuh dan keburukannya adalah sahabat terbaik dalam perbaikan diri. Ia merupakan penjaga amal baik. Beda dengan sahabat baik dan kebaikannya, bisa menjadi jebakan untuk melaksanakan amal buruk. Bukan berarti kita menghendaki keburukan, manusia tetap berikhtiar menegakkan kebaikan, dan tidak fokus pada hasilnya. Ikhtiar menegakkan kebaikan melatih jiwa tawakal, menyandarkan segala hasil hanya pada kuasa Allah.

Adab Al Nufus juga melukiskan tentang jiwa Umatan Wasathon, dalam istilah modernnya biasa disebut moderatisme. Orang Islam modern mudah sekali mendaku diri kalangan moderat, menurut Muhasibi sejauh masih ada kesombongan dalam dirinya tetap tak akan terjadi. Orang yang tak mengerti makrifat, mustahil menjadi umat pertengahan, dengan sikap sombongnya ia masih akan menjadi bagian dari fanatisme. Orang moderat itu orang yang tawadhu senantiasa menimba ilmu yang didapat baik dari para guru maupun orang lain.

Sikap-sikap sombong, ujub dan penyakit eksistensi lainnya menurut Syech Muhasibi, hanya dapat dikikis dengan Tadzkiyatun Nafs dan menurut beliau praktik ini lebih utama (beliau bahkan menghukumi wajib) dari pelaksanaan amaliyah ibadah apapun. Saking ahlinya beliau dalam bidang muhasabah karamat yang diraihnya adalah bahamnya tak bisa menerima makanan syubhat. Seperti nasihatnya:

"Orang yang tidak menganggap enteng dosa kecil paling lalai ia hanya akan mencapai makruh hingga dosa syubhat. Beda jika ia menganggap enteng dosa kecil, kemungkinan ia akan sampai perkara-perkara syubhat hingga haram."*




Tidak ada komentar:

Posting Komentar