Sabtu, 09 Desember 2023

ESAI

Semua Orang Bisa Berubah Teruslah Bergerak

M. Taufan Musonip



A Clear Day, 1963. Uchima Ansei



"Jika orang Aswaja kalah terus dalam perlombaan datang ke masjid saat subuh dan ghirohnya hanya pada pembangunan masjid, maka bukan tak mungkin orang wahabi akan mendapatkan simpati masyarakat Islam. Verifikasi filsafat mengenai "orang wahabi selalu datang lebih dulu" adalah bahwa pada hakikatnya Allah bisa menggerakkan siapapun.


Sejak masa kolonial dan era modern oleh orientalis umat Islam dibagi ke dalam beberapa kelompok dengan istilah berbeda-berbeda awalnya Snouck Hourgronje, memisahkan umat Islam dalam kegiatan ibadah dan muamalah terutama muamalah politik. Pemerintahan kolonial kala itu didorong agar memfasilitasi ibadah umat Islam tapi mengawasi betul dalam kegiatan politik. Snouck tidak mengamati kelompok modern Islam. Tapi kelompok tarekat. Dalam beberapa literasi, Snouck bahkan menyamar menjadi orang Islam untuk kegiatan mata-mata itu di hadramaut.

Perkembangan selanjutnya kelompok Islam juga dikelompokkan menjadi Abangan, Santri dan Priyai oleh Clifford Geertz, ada juga yang mengelompokkan menjadi fundamental, liberal dan moderat.

Tulisan ini tidak akan membahas golongan-golongan Islam dengan cara pandang politik. Tapi dengan cara pandang kebudayaan. Melalui pengamatan baik Kasbi maupun Wahbi

Fathul Qorib

Pada dasarnya, orang harus tetap bisa beramal salih meskipun lingkungan tidak mendukungnya. Dalam kitab Fathul Qorib ada penjelasan tentang makruh, haram, mubah, wajib, sunahnya berhijrah. jika lingkungan mengganggumu dalam ibadah, hijrah menjadi wajib. Tapi jika lingkungan Anda masih menjadi tempat aman untuk beribadah, bersyukurlah. 

Perbedaan-perbedaan yang dimiliki setiap orang karena lahir atau menjalani proses menjadi pribadi Islam juga pertanda rahmat. Tapi ini jarang disadari juga. Benturan psikis tetap ada. Kita masih kerap menilai orang dari mana mereka berasal dan yang diyakininya sekarang. 

Dalam istilah filsafat Barat disebut stereotype. Istilah ini berkembang dari filsafat tentang prejudice atau prasangka. Alfred Ayer (K. Bertens) pernah berkata, sesuatu yang tidak bernilai verifikasi, tidak pernah mengandung makna, meski yang kita dengar ucapan itu tentang kebenaran. Misalnya tentang orang wahabi yang selalu datang lebih dahulu saat tiba salat subuh. Akan meminggirkan pemahaman bahwa orang wahabi bukan orang Aswaja.

Jika orang Aswaja kalah terus dalam perlombaan datang ke masjid saat subuh dan ghirohnya hanya pada pembangunan masjid, maka bukan tak mungkin orang wahabi akan mendapatkan simpati masyarakat Islam. Verifikasi filsafat mengenai "orang wahabi selalu datang lebih dulu" adalah bahwa pada hakikatnya Allah bisa menggerakkan siapapun. 

Orang Aswaja itu kerap menulis sajak, masjidku ada dalam dadaku, tapi masjid fisik terus yang dibangun, dan ditinggalkan. Padahal dalam kitab Taqrirotusadidah dijelaskan, tak sah solat jumat jika terdengar adzan bersamaan dalam satu wilayah. 

Tapi menjamurnya masjid juga ijinnya Allah. Sejalan dengan berkembangnya kelompok-kelompok Islam. Oleh kelompok orientalis ini dipetakan. Sebenarnya merupakan tantangan ukhuwah Islamiyah.

Seolah keberadaan kelompok-kelompok Islam itu bukan natur, memang sebagiannya nurtur. Tapi Nurtur itu proses, orang wahabi siapa tahu di akhir hayatnya akan menjadi orang Aswaja, orang Aswaja belum tentu akan Aswaja sampai akhir hayat. Orang komunis-ateis yang bertaubat, tidak boleh terus distigma komunis. 

Clean Soul

Menyelami perbedaan sebagai rahmat secara sadar itu lebih sulit. Ketimbang sekadar memahami. Menyelami perbedaan itu kenyataannya siapapun berpeluang akan berubah. Karenanya kaum sufi mendalami ilmu hakikat melalui praktik yang dalam bahasa Inggrisnya bisa saja disebut Clean Soul, sebagaimana Filsuf dari Jogja itu katakan dalam satu kesempatan, tapi kita biasa katakan itu Tadzkiyatun Nafs, selalu berprasangka baik terhadap siapapun adalah hasil dari proses ini.

Secara ekstase Muhasibi dalam Adab Al Nufus pernah berkata:

Manusia itu selamanya terpenjara (oleh kebenaran) dan tak pernah lepas dari kejahatan. Orang jahat mengetahui ilmu tentang kebaikan, sedangkan orang baik hanya mengetahui kebaikan, yang penting dari perjalanan ini adalah senantiasa kembali pada kebaikan. Bukan kebaikannya.

Sufi terhadap orang jahat pun berhusnudzon. Apalagi hanya beda golongan, agama dan pemikiran. Mereka terus menjalankan kebaikan kepada siapapun, dengan mengamalkan ilmu hakikat. Seperti Majnun yang berdiam di bukit di balik kediamannya Laila, harum parfumnya dan masakannya ia terima, termasuk keburukan yang melewati rumah kekasihnya itu, tetap ia nikmati bahkan cintai. Keburukan dan kebaikan hakikatnya atas izin Allah.

Karenanya Guru Mursyid Kamil Mukamil Abah Anom Ra. Didatangi berbagai kalangan, wahabi atau Muhammadiyah, Persis atau Al Irsyad, NU atau abangan, orang kaya atau miskin, cendikiawan atau orang bodoh, orang baik atau orang jahat, mereka datang belajar menjadi orang Islam lebih baik lagi dengan belajar berdzikir. Dzikir adalah obat dari jiwa yang kotor, membantu menerapkan syariat dengan metode ilmu hakikat, semua berbeda karena Allah membuatnya demikian. 

Teruslah bergerak ke dalam kebaikan meski tak punya harta, tak memiliki ilmu, bukan orang salih, dari mana kita berasal, dengan sabar dalam perbedaan.*





Tidak ada komentar:

Posting Komentar