Kamis, 14 Desember 2023

ESAI

Sastra Profetik dari KAKS, Wittgenstein hingga Potret Manusia

M. Taufan Musonip



"Sastra adalah medium pengucapan yang mungkin untuk memotret realita kepada sudut-sudut yang tak mungkin bisa dibicarakan. Jika kita harus mengingat filsafat bahasa yang pernah muncul dan berkembang di Inggris, tokoh-tokohnya tak lain seperti George Moore, Bertrand Russel, Wittgenstein hingga Whitehead. Terutama Wittgenstein, pernah mengatakan filsafat adalah apa yang harus dibicarakan, yang tidak bisa dibicarakan tak perlu dibicarakan (K Bertens).



Autumn Shining (1970)
Aemura Atshusi


Buku Kembali ke Akar Kembali ke Sumber (KAKS) adalah buku pemetaan Pembaruan sastrawan Islam hingga tahun 2000an. Mungkin sebenarnya sebanding dengan Buku Angkatan 66 atau Gema Tanah Airnya HB Jassin. Dalam Sastra Sunda ada Ngalanglang Kasusastraan Sunda yang ditulis Ajip Rosidi, sebagai pemetaan pembaruan kesusastraan Sunda pra dan Pasca kemerdekaan.

Sehabis itu buku-buku pemetaan pengarang sastra belum ada lagi. Juga bagaimana sebenarnya perkembangan sastra profetik pasca KAKS itu? Apakah ada anak muda sastra pasca 2000 yang menonjol menulis sastra Islam bergaya profetik?

Pada satu dekade yang lalu, sebenarnya di Bekasi ada gerakan menulis puisi Nadhoman. Yang merintis itu penyair muda keluaran Pesantren Madura yang kebetulan merantau sekolah di Bekasi. Nadhoman itu gaya menulis sajak klasik Islam. Dalam pelajaran Sastra Arab didapati gaya menulis syair nadhoman ini, kitab Alfiyah dan Imriti. Kemungkinan gaya syair ini dipakai agar pelajaran pakem gramatika bahasa arab bisa mudah diingat para penuntut ilmu. Seni nyatanya membantu ingatan dari pada bacaan biasa.

Nah, konsep itu dipakai untuk menulis puisi modern oleh anak muda dari Madura tadi. Pemimpin komunitasnya Budhi Setyawan malah menulis puisi satu buku berkonsep Nadhoman ini berjudul Sajak-sajak Sunyi, yang di dalamnya menyuarakan puisi-puisi bebas. Artinya tidak fokus pada sastra Islamnya. Mengambil pakaiannya saja. Tapi karena bunyi yang harus diciptakan oleh konsep Nadhoman itu puisi-puisinya tentu memiliki geliat yang unik. Kita juga memiliki Acep Zamzam Noor yang beberapa karyanya bermotif Qur'ani berupa puisi perulangan. Buku esainya yang pernah diterbitkan Puisi dan Bulu Kuduk.

Nature

Acep Zamzam Noor dalam Buku KAKS tidak banyak disebutkan seperti halnya penyair Sutardji Calzoum Bachri, Pengarang Danarto dan Fudholi Zaeni. Kemungkinan seperti istilah nadhoman tadi, Hadi menilai puisi-puisi Acep baru sebatas mengambil konsep dan metode penciptaanya. Lebih dari itu saya belum banyak tahu. 

Mengawali perbandingan beberapa penyair pengarang di atas, saya memberanikan diri bertanya: "adakah pengarang modern pasca Kuntowijoyo menulis Maklumat Sastra Profetik, yang ide-idenya pernah dipidatokan dalam suatu acara di TIM tahun 90an lalu itu, yang ikut mengambil peran dalam keberlangsungan sastra profetik?

Apa keuntungan yang didapatkan dalam upaya menelaah dan mengamalkan sastra profetik bagi masyarakat sastra hari-hari belakangan ini?

Dalam KAKS, dikatakan, profetik itu suatu yang fitrah, nature. Sastra tak mungkin melepas diri dari ide-ide non rasional. Mencarinya di jalur non profetik akan bertemu klenik dan metafisika, mediumnya adalah tradisi atau modernitas sedangkan bila mengambil jalur profetik, kita akan menemukan kesadaran religi.

Sastra adalah medium pengucapan yang mungkin untuk memotret realita kepada sudut-sudut yang tak mungkin bisa dibicarakan. Jika kita harus mengingat filsafat bahasa yang pernah muncul dan berkembang di Inggris, tokoh-tokohnya tak lain seperti George Moore, Bertrand Russel, Wittgenstein hingga Whitehead. Terutama Wittgenstein, pernah mengatakan filsafat adalah apa yang harus dibicarakan, yang tidak bisa dibicarakan tak perlu dibicarakan (K Bertens).

Yang tak bisa dibicarakan itu wilayah metafisika, seakan ini melawan filsafat idealisme Hegel yang hangat dibicarakan pada abad 20 di Inggris itu. Padahal sejatinya direkonstruksi ulang, dihidupkan kembali sesuai zaman filsafatnya. Bisa diartikan bahwa apa yang tidak bisa dibicarakan itu sejatinya tidak akan terganggu oleh penafsiran-penafsiran. Adanya tetap dalam Gereja dan otoritasnya.

Orang modern akan tetap mencari hal yang tak mungkin yaitu dunia non-material. Nyatanya tiap kali ia datang menyelinap, menculik kesadaran dan keberadaan kita. Dan tak pernah berhenti menyatakan dirinya tanpa kita membicarakannya. 

Potret Manusia

Medium sastra bermotif profetik bisa menyatakan apa yang tak bisa diucapkan oleh filsafat Wittgenstein. Alatnya adalah rasa, bagaimana Tuhan itu bekerja di dalam alam zawahir cerita. Suara Tuhan bisa datang dari arah lawannya, lawan dan Dirinya adalah zona milikNya. Ia Maha Mengijinkan kebaikan dan keburukan. Kadang Ia mengatakan kebaikan melalui keburukan yang dinisbatkan kepada orang yang memilih jalan berlawanan denganNya, bergerak dan diamnya adalah kehendak Allah. Baik dan buruk memainkan peran struktur: dalam bentuk plot cerita, atau hubungan antar tokoh imajiner pengarang. Zona yang dianggap sulit diungkapkan, coba diteroka oleh unsur rasa. 

Cerpen Salon Blanc dalam buku kumpulan cerita Potret Manusia karangan Fudholi Zaeni, bisa disampaikan di sini. Ada orang Yunani masuk agama Islam. Justru sejak masuk agama Islam itulah ia malah menjadi orang susah. Anak istrinya pergi. Lebih tragis si lakon ditinggalkan anak perempuannya karena dirudapaksa penjahat di kota Paris hingga meninggal. Ia menjadi orang Islam baru yang sakit jiwanya, tak sempat mengambil nilai-nilai Islam saat dalam keadaan sulit. Karenanya dalam keadaan trauma ia menggorok leher pelanggan barbernya dengan pisau cukurnya. Fudholi memainkan rasa keberadaan Tuhan, melalui kejadian buruk di Salon Blanc, bahwa Allah memberi pengertian bahagia bukan sekadar perspektif agama secara syariat semata. Agama bisa dilihat dari perspektif hakikat, mengubah arti kepemilikan, dan rasa cinta terhadap mahluk.

Nilai-nilai Islam dalam sastra profetik dibumikan dalam satu pemahaman tentang manusia dan keadaan jiwanya. Manusia tetap hadir sebagai beyond god and evil. God dalam sastra profetik itu suatu realitas, bukan sebagai manusia secara partikel. Tapi manusia secara struktur.

Jika god adalah manusia secara partikel, ia akan menyamarkan misi profetiknya. Profetik bersifat eksternal yang akan diserap akal dan syahwat manusia sebagai faktor intrinsik atau fitrah. Manusia tak memiliki kemampuan menyerap misi profetik secara menyeluruh. Ia terbatas dan harus bekerja sama dengan alam semesta. 

Karena itu Kuntowijoyo lebih senang menyebut istilah syiar dari pada istilah dakwah, syiar lebih dekat kepada estetika, dakwah kepada komunikasi massa. Jadi dalam profetik tidak terdengar istilah Dakwah bil kalam. Yang ada adalah Syiar Islam lewat kesenian. Tokoh-tokoh citraan Kuntowijoyo dalam novel Wasripin dan Satinah misalnya, memang beyond good and evil. Wasripin pemuda yang latar belakang keluarganya tidak jelas dan pernah menjadi bulan-bulanan seksual wanita tengah baya, lalu bermetamorfosa menjadi sosok wali sakti. 

Sewarna dengan cerita itu seorang pemuda dalam Cerita Potret Manusia yang lahir dari keluarga Islami, malahan bernasib sebaliknya, ia mati bunuh diri. Seorang diaspora yang kalah perang dalam benturan kebudayaan. Menanggalkan pakaian tradisi di tanah Eropa sama saja perlahan-lahan meninggalkan adab ketimuran. Pakaian eropa melunturkan etika keislaman si Pemuda, awalnya pikirannya yang dibebaskan seperti pikiran kaum eropa, lalu sedikit-sedikit mencicip alkohol dan berzina dan akhirnya bunuh diri dianggap suatu hal biasa harus dilakukan jika manusia eropa merasa kesepian. 

Lain halnya dengan Madam Perret, Fudholi tidak menceritakan sisi agama sama sekali, hanya diceritakan seorang perempuan Paris yang glamor namun suka marah-marah dan curiga pada siapapun, di akhir cerita diketahui si perempuan ini doyan melihat gambar porno.

Dalam satu cerita ada juga tentang pertarungan antara yang tradisi dan agamis. Yang satu klenik yang satu mistik. Yang agamis ditaruh dalam tokoh seorang ustad. Ustad ini telah difitnah menjadi penyebab kemarau berkepanjangan karena mengganggu upacara-upacara bernuansa klenik, lama berdoa meminta hujan, tak dikabulkan pula, sang ustad mati ditikam seorang warga dan sesaat itu hujan langsung turun.

Kurang Populer

Fudholi Zaeni adalah pengarang profetik, dari ciri-ciri konsep menulisnya sesuai khazanah syiar Islam. Bandingan karyanya belum banyak dilakukan, ya karena profetik sendiri sebenarnya kurang populer, orang mungkin masih banyak menganggap, seni dan agama Islam saling merintangi. Padahal sejatinya tidak. Penulis-penulis Esai seperti Ali Audah, Abdul Hadi WM, Kuntowijoyo, dan juga Fudholi sendiri (salah satu buku esainya Sepintas Sastra Sufi) banyak menulis tentang hubungan nilai-nilai Islam dengan estetika.

Al Qur'an memiliki anasir-anasir seni dan sastra, kita bisa mempelajarinya melalui ilmu alat dari mulai Nahwu Shorof, Alfiyah, imriti hingga Balaghoh. Nilai seni sastra dalam Alqur'an membuat Umar Ibn Khottob berkata:

"Ajarkan sastra kepada anak-anakmu agar jiwa-jiwa mereka hidup. Ajarkan sastra kepada Anak-anakmu karena dengan Sastra akan mengubah yang pengecut menjadi Pemberani (disampaikan melalui lisan tulisan Guru Nahwu Saya Kyai Muzzaki Aziz).

Puisi-puisi sufi memang kerap menjadi model estetika yang menghidupkan nilai agama, juga agama memerlukan seni agar menggugah batin religi penikmatnya. Karenanya dalam wacana sastra profetik yang kerap tampil adalah sastra Islam genre ini. Sastra sufi teruji sudah keluwesannya diperoleh dari intisari ilmu tasawuf.

Sastra Islam kontemporer, disebut profetik karena ada pertemuan khazanah pengetahuan barat dan timur untuk membentuk keluwesan bahasa estetik, meski yang dirasakan warna estetiknya tetap sufistik. 

Profetik juga membahas lebih luas tentang sastra religi, meskipun dalam KAKS tidak dibahas misalnya karya-karya YB Mangunwijaya dan Shindunata dua pengarang dari latar agama berbeda. Akan tetapi Abdul Hadi WM berkonsentrasi pada letak-letak pembaruan sastra yang justru kekuatannya datang dari khazanah sastra sufi seperti pembaruan dalam karya-karya Hamzah Fansuri dan Sunan Bonang. Dalam KAKS sastra dakwah tidak begitu banyak mendapat perhatian pula.

Memperkaya literasi profetik, akan memahami bahwa pengarang pun sebenarnya dituntun oleh suatu nilai, nilai seni untuk seni adalah mencari cara ucap yang autentik karenanya harus melampaui sesuatu yang materi. Sedangkan seni untuk kehidupan mencari cara agar yang non materi bisa disampaikan dengan cara yang indah.

Yang satu bernilai teknokrasi yang lain bernilai ibadah. Dua-duanya mempercayai non materi sebagai sumber gagasan, tapi salah satunya lebih meyakini non materi sebagai medium nilai-nilai kebaikan baik secara teknokrasi estetik maupun religiositas.*




Tidak ada komentar:

Posting Komentar