Minggu, 18 Juni 2023

ESAI

Ilmu dan Cinta Menurut Ajengan Asep Samsurizal Hudaya

---Manakib Rawa Lintah 11 Juni 2023/22 Dzulqaidah 1444

M. Taufan Musonip



"Jika grand design Tanbih bisa dipraktekan dalam organisasi dakwah bukan tak mungkin akan muncul politisi dari kalangan tarekat. Bahkan dalam pentas kepemimpinan nasional pula.

 

Pulau Satonda, Sumbawa
Fotografi karya Daniel Kordan.


Pembacaan Tanbih dilangsungkan dengan memakai bahasa naskah aslinya, yaitu Bahasa Sunda. Sepertinya anjuran Ajengan Asep Samsurizal Hudaya, sebab menurutnya dalam Khidmat Ilmiyah Manakib Sulthon Syech Auliya Abdul Qodir Jaelani Q.s Rawa Lintah 11 Juni 2023/22 Dzulqaidah 1444, tidak semua istilah bahasa sunda dapat diartikan ke bahasa Indonesia. Jikapun terpaksa dilakukan, makna yang terkandung dalam bahasa Indonesia akan tidak seluas yang disampaikan dalam bahasa aslinya.

Seperti peribahasa ini:

Ulah medal sila poma kapanah

Sing logor dina liang jarum tapi sereg di buana

Peribahasa itu sangat tinggi maknanya dan indah sekali, jika bukan ahli sastra yang menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia, makna yang dikandung oleh pribahasa itu, tidak akan sepenuhnya didapat. Dengannya Ajengan Asep juga Ajengan Baban Ahmad Jihad dalam kesempatan Upgrading ke-2 beberapa waktu lalu, menyampaikan untuk membiasakan diri dengan (belajar) Bahasa Sunda, "Da dikumaha-kumaha ge, TQN Suryalaya ayana di Tasik.

Grand Design

Karena kebulatan makna yang ada dalam Tanbih versi bahasa Sunda tidak sepenuhnya didapat, banyak sekali Ikhwan TQN mengeluhkan sulitnya mengamalkan Tanbih. Isinya adalah saripati ahlakul adzima Baginda Nabi Saw yang sudah berhasil dipraktekan guru-guru Mursyid TQN. Banyak yang mengeluhkan pula kenapa Tanbih tak bisa menjadi grand design organisasi LDTQN (fokus bahasan di Kab Bekasi), padahal dengan Tanbih, Abah Anom Ra. bisa bergaul dengan kalangan Nasionalis dalam politik nasional di Golkar. Jika grand design Tanbih bisa dipraktekan dalam organisasi dakwah bukan tak mungkin akan muncul politisi dari kalangan tarekat. Bahkan dalam pentas kepemimpinan nasional pula.

Gagasan Tanbih ada di bawah naungan cahaya af'al (gerak) nya Allah. Dengan jelas Ajengan Asep menyampaikan pesan atas butir mutira keempat "Kudu asih kanu mikangewa ka maneh," berdasarkan hadits Rasullullah Saw, orang yang membenci harus kita cintai, karena bencinya mereka menyumbang kebaikan (pahala) untuk kita. Penjelasan Ajengan Asep yang mudah dimengerti, mungkin menguasai komunikasi massa, atau memang beliau memiliki darah ulama pula yang lidahnya lidah penyambung umatan, membuat aforisme Abu Yazid Al Busthomi dalam buku Maha Guru Sufi: Kisah Kearifan Abu Yazid Al Busthami ini, mendapatkan gema kekiniannya, yang berbunyi: jika kelak aku harus memberikan syafaat, maka mula-mula yang akan kucari adalah musuh-musuhku.


Sosok Ajengan
Asep Samsurizal Hudaya, sederhana dalam kata-kata


Lidah umatan Ajengan Asep juga berbicara soal hijab ilmu terhadap Af'al Allah, di satu sisi beliau juga menerangkan pentingnya Ilmu dalam usaha mencapai ridho atas Af'al Allah. Beliau juga menyampaikan pencapaian keberkahan atas perjalanan menuntut ilmu, berkahnya ilmu, akan membuat seseorang memiliki kecerdasan. Sedangkan kecerdasan belum tentu mengandung keberkahan. Dalam masalah ini beliau menceritakan saat pernah mondok di Suryalaya, meski bangunannya tak sebagus dibanding sekolah atau pesantren lain, ayahandanya selalu berpesan agar mencari berkahnya menuntut ilmu, bukan kehebatan ilmunya sendiri. Ini menjelaskan hakikat lain dari aforisme Abu Yazid Busthami masih dalam buku yang sama: "jika kau melihat orang melalui ilmu maka kau akan menjauh dari orang-orang dan mendekat kepada Allah. Jika melihat orang melalui hakikat, maka kau akan memaafkan semua orang dan menjadikannya jalan menuju Allah."

Sembunyi

Paparan sederhana tentang ilmu dan cinta oleh ajengan Asep membuat saya sadar, ilmu yang didapatkan dari dzikrullah lebih mudah dimengerti dibanding yang didapat dari kitab, karena ilmu dari dzikrullah adalah buah amaliyah. Ini pula pentingnya mempertemukan ilmu kasbi dan wahbi menurut Abu Yazid Al Busthami, yaitu mempertemukan teks dari kitab dan konteks dari lisan para guru.

Dalam sebuah buku buah tangan Kuntowijoyo, diceritakan ada seorang pedagang gulai yang ikut kelompok tarekat, dan mulai mengamalkan wirid guru-mursyidnya, usahanya berkembang pesat, ia pun menjadi seorang partisipatoris,  berhasil membawa seorang RT menjadi pejabat lurah. Tapi ketika ia dicari-cari seseorang dari orang pemerintahan yang ingin menjadi pejabat, ia bersembunyi. Seorang murid tarekat yang menyelami Af'al Allah berarti menjadi seorang manusia sejati sekaligus manusia unggul. Seperti Ajengan Asep yang kerap sembunyi dari pakaian bahasa sederhananya setiap Khidmat Ilmiyah Manakib.

Siang itu selepas menalqin dzikir puluhan orang, beliau  izin pulang kepada Bang Sanin salah satu pemuda penggerak Manakib di Rawa Lintah karena suatu keperluan mendesak, dan alhamdulillah saya berhasil mencium tangannya.(*)










Tidak ada komentar:

Posting Komentar