Senin, 26 Juni 2023

ESAI

Pedang dan Cinta, Melawan Materialisme Dunia

M. Taufan Musonip


"Pedang dan cinta adalah simbolitas kaum sufi. Pedang adalah ilmu pengetahuan, dan cinta perlambang zuhudnya seorang sufi. Pedang dan cinta adalah jiwa kesatuan antara alim dan abid. Sufi yang sebenar-benarnya zuhud adalah sufi yang alim. Sedangkan alim yang mujtahid adalah alim yang berbalut pakaian zuhud, yang mengamalkan ilmu-ilmunya. Sufi adalah alim yang waspada akan perkembangan ilmunya.

 

Moonlight Night,
lukisan karya Anton Pieck (1941)


Dalam Buku Persekongkolan Ahli Makrifat, buah tangan Kuntowijoyo ada beberapa cerita menarik: ada orang Belanda yang merelakan dirinya tidak menikah karena cinta matinya pada seorang gadis Jawa. Keduanya terpisahkan karena peristiwa Malaise, di mana banyak orang Belanda meninggalkan negeri jajahannya kembali ke negeri asalnya. Silahkan pelajari sendiri peristiwa sejarah tersebut, fokus masalah bukan di situ. Si Bule hidup menyendiri, dan akhirnya ditakdirkan bertemu dengan seorang perempuan yang kebetulan adalah istri tokoh aku dalam cerita tsb, yang mirip sekali dengan kekasihnya dahulu. Si wanita menjadi obat rindunya, bahkan ia sudah rela jika Tuhan akan segera memanggilnya.

Dalam cerita lain ada seorang gadis yang merasa memiliki ikatan emosional dengan Indonesia, karena warna kulitnya memang orang Jawa. Ternyata gadis itu adalah anak biologis orang Indonesia yang pernah ditinggalkan istrinya karena berselingkuh dengan kawan karib Belandanya, akibatnya gadis itu terdampar di negeri kincir angin. Cerita ini cukup menyentuh, karena si Ayah tidak memiliki keinginan membangun komunikasi lebih jauh setelah si aku dalam cerita membawanya pada sebuah tempat di mana si gadis biasa menemani ibunya di suatu sore memandangi burung-burung merpati yang hinggap di pedestrian jalan dan memberinya pakan. 

Hagi Mustopha

Memang dalam cerita-cerita yang ditautkan dalam setting negeri Belanda, Kuntowijoyo berhasil menghadirkan tokoh-tokoh intelektual yang memiliki keunikan dalam sikap dan pikiran, seperti juga tokoh Hagi Musthopa dalam cerpen judul yang sama, orang islam yang cerdas dan poliglot itu tersudut dalam penilaian sekat-sekat pemikiran yang justru datang dari orang asing, hanya untuk mengatakan "aku ingin mati dengan pedang di tangan kananku dan Al Qur'an di tangan kiriku," Hagi Musthopa dituduh sebagai kalangan Islam fundamentalis. Karenanya pusat kebudayaan tempat ia selalu memberikan ceramah agamanya di tutup. Padahal Hagi Mustopha tengah menghadapi gerakan sekularitas bangsanya. Dan tak mungkin pengarang sekelas Kuntowijoyo membelanya. Pengarang Islam yang tak diragukan lagi inklusifitasnya.

Saya merasa si Aku dalam cerita-cerita yang bernuansa Belandanya adalah pengalaman Kuntowijoyo sendiri, mungkin ia pernah menuntut ilmu di sana. Dan cerita-cerita yang disuguhkan sangat mengalir seperti warna cerita-cerita Kuntowijoyo. 

Tapi tulisan ini bukan untuk Bab Buku-buku yang Saya Baca. Tulisan ini ingin mengatakan bahwa belajar dari buku kumpulan cerita ini, ternyata jika kita melihat sesuatu dengan cinta maka seluruh penilaian dunia tentang sesuatu akan berubah menjadi partikel-partikel yang membedakan diri satu sama lain. Dalam diri orang Belanda yang distigma penjajah itu, masih ada orang yang bisa kalah oleh cinta kepada gadis Jawa, andai orang Belanda itu seorang orientalis ia mungkin bukan hanya indonesianis, tapi juga pancasilais dan islamis, bukan tak mungkin menjadi mualaf.

Aku ingin melawan materialisme dunia, ujar Hagi Mustopha olehnya ia berani menenteng Pedang dan Quran di kedua tangannya. Bukan kah memang materialisme menjadi masalah dunia akhir-akhir ini, sejak kapan materialisme mengenal cinta? Materialisme hanya mengenal individualitas, lagi menurut Hagi Mustopha: dalam militerisme hanya ada kawan dan lawan, dalam politik menjadi kawan, lawan dan kekuasaan. Individualisme itu berpusat pada kekuasan yang senang mencari lawan, karenanya cintanya berpusat pada pribadi, di luar dirinya adalah lawan adapun kawan hanya bermakna sebagai jalan kepentingan. Suatu nafsu yang disebut nafsu amarah dan kalau baik, maka kebaikannya kebaikan eksistensial, kaum sufi menyebutnya nafsu lawamah. Kebaikan yang harus memiliki imbal balik duniawi (riya).


Wasilah

Pedang dan cinta adalah simbolitas kaum sufi. Pedang adalah ilmu pengetahuan, dan cinta perlambang zuhudnya seorang sufi. Pedang dan cinta adalah jiwa kesatuan antara alim dan abid. Sufi yang sebenar-benarnya zuhud adalah sufi yang alim. Sedangkan alim yang mujtahid adalah alim yang berbalut pakaian zuhud, yang mengamalkan ilmu-ilmunya. Sufi adalah alim yang waspada akan perkembangan ilmunya. 

Alim yang sufi ada dalam jiwa pembebasan sastra profetik Kuntowijoyo, bersama rekan lainnya ---yang dalam perkembangan sastra Indonesia tidak terlalu banyak--- jika harus menyebutkan yang tersisa yaitu Penyair Abdul Hadi WM, sastra profetik itu jalan tengah sastra Islam dan sastra Barat. Keduanya penganut metodologis sastra Islam, mereka menggaungkan nilai-nilai Islam yang memakai metode Barat. Karenanya mereka lebih menyukai Sastra Sufi dibanding sastra Islam seperti karya-karya mulai dari AA. Navis, Buya Hamka, Helvy Tiana Rosa dll.

Tapi ini bukan Bab Buku buku yang Saya Baca, mari kita kembali pada istilah Pedang dan Cinta Hagi Mustopha, Pedang itu simbol keadilan sedangkan cinta adalah cahaya Qur'an yang menerangi umat manusia. Ia memancar dalam batin Nabi dan para Wali, Guru Mursyid sekelas Abah Anom Ra. Menalqin Dzikir orang-orang komunis, seorang wali digerakkan Allah untuk menjadi jalan tobat pelaku maksiat di sebuah klub malam dalam kisah legendaris Syech Abu Yazid Busthami. Memang para wali dan guru mursyid madrasahnya sangat terbuka didatangi orang-orang dari kalangan manapun dari preman, orang ateis atau politisi (kata ini terkadang didengar bernada pejoratif).

Sastrawan seperti Kuntowijoyo, Abdul Hadi WM, dan Ali Audah, yang menggemakan nilai-nilai Islam dalam Sastra Profetik, juga wasilah, bagi keterbukaan Islam sebagai tanda cinta kepada umat manusia. (*)






Tidak ada komentar:

Posting Komentar