Sabtu, 10 Juni 2023

ESAI

Simbolisasi Kuda dalam Literasi Sufistik

M. Taufan Musonip


فَا لْمُوْرِيٰتِ قَدْحًا 

"dan kuda yang memercikkan bunga api (dengan pukulan kuku kakinya),"

(QS. Al-'Adiyat: 2)



Seni Fotografi
Karya Raul Cantu



Kuda kerap diambil sebagai simbolisasi An-Nafs dalam teks sufistik. Ia mengambil makna epik tentang keperkasaan dan kekuataan. Pengawal dan penghantar niat baik. Nabi Muhammad Saw (Selawat dan salam senantiasa tercurah padanya Nabi dari Bangsawan Hasyim, sebagaimana Selawat Hasyimi) pun memiliki dua belas kuda yang gagah-gagah salah satunya kuda pirang yang dibeli dengan 10 ekor unta. Jumlahnya menyerupai jumlah lafadz Laailahailallah

Dalam Al Qur'an, hewan ini disebutkan dalam beberapa surat di antaranya: QS Ali Imran: 14, An-Nahl: 8, Sad: 33, Al Hasyr: 6 dan Al 'Adiyat 1,2 dan 3. Empat ayat di awal menisbatkan kata kuda dengan perhiasan dunia sedangkan Q.S Al 'Adiyat kuda disebutkan sebagai penghantar seorang kesatria ke medan jihad.

Kuda dalam kitab Fihi Ma Fihi karangan Jalaludin Rumi memang dipakai untuk memersonifikasi An-Nafs, ruh adalah penunggangnya,  dan kandangnya adalah Fil Ard, dunia. Jika si penunggang terlalu memerhatikan kebutuhan si kuda, maka ia akan terjebak dalam kandang kuda. Hewan penjelajah ini pun kerap diambil pula untuk memperlambangkan pengetahuan seperti dalam buku Kereta dan 38 Cerita yang dikarang Idris Shah, ruhnya adalah penunggangnya, dan jalannya adalah Tarekat menuju Allah. Kuda menjadi perlambang kegagahan seorang raja dalam Mantiq At-thair karya Attar, raja bijaksana yang dicintai rakyatnya, selalu menyempatkan waktu melihat keadaan rakyatnya dengan berkuda. karena kekaguman rakyat terhadapnya, orang istana membuat cermin besar. Rakyat bisa melihat gerak-gerik panutannya setiap saat. Ini melambangkan Keindahan Kekuasaan Allah yang dapat dilihat dalam cermin kalbu, tempat kaum sufi memusatkan meditasinya yaitu di dekat jantungnya. Cermin yang bersih bisa membuat seorang sufi melihat Allah dalam khazanah man arafa nafsahu faqod arofa Robahu. 


Abah Anom Menunggang Kuda

Kuda sebagai An-nafs mengantarkan kita pada tujuan baik dari niat yang baik. Menjadi pengiring pada medan jihad. An-nafs ditempati iblis terutama Nafs Amarah dan Nafs Lawamah, nafs ego dan nafs eksistensialisme, dalam tafsir Ibnul Qoyyim Jauzi, pada salah satu kitabnya, An-Nafs tak pernah menjadi pusat kecaman Allah, akan tetapi syaitannya. Nafs ego dalam kuda Nabi Sulaiman melalaikan si pemilik, seperti dilukiskan empat ayat paling awal di atas. Nabi Sulaiman menebas kuda-kudanya, sebagai bentuk perlawanan terhadap syaitan egonya. 

Dalam buku Persekongkolan Ahli Makrifat karangan sang pelopor sastra profetik Kuntowijoyo kuda dilambangkan sebagai "tuan (An-nafs) yang dibuai hambanya," yang pada akhirnya menyepak si pemelihara. Cerita pendek itu seolah mengatakan: jika ingin selamat jadikan nafsumu sebagai budakmu, bukan tuanmu.

Dan ini adalah manqobah Sang Mursyid Kamil mu Kamil Syech Achmad Sohibulwafa Tajul Arifin tentang kuda dari akun FB Mubaligh Ustad Andika Darmawan:


PANGERSA ABAH ANOM QS MEWARISI AKHLAQ AGUNG RASULULLAH SAW

Sekitar tahun 1990-1991'an Pangersa Abah Anom qs mengajak putra bungsunya & cucunya menunggang kuda bersama. Walau pun sdh berusia 75 tahun saat itu Pangersa Abah masih terlihat gagah. Putera bungsunya, Cep Daus, dan cucunya, Cep Robith, memang memiliki usia yg hampir sama. Saat itu keduanya masih berusia kurang lebih 4-5 tahun.

Pangersa Abah bersama Cep Daus & Cep Robith berkuda sampai ke wilayah Pasar Pagerageung. Ketika itu di pinggir jalan ada lima orang gelandangan (tunawisma) yg sedang menikmati makan bersama. Melihat ada sosok ulama berwibawa sedang berkuda bersama dua anak kecil. Mereka lalu menyapa: “Mari makan, Ajengan..”

“Oh, iyaa.. Terima kasih.. Alhamdulillaah..” Jawab Pangersa Abah santun sambil tersenyum ramah.

Kemudian Pangersa Abah turun dari kuda serta menurunkan Cep Daus & Cep Robith. Pangersa Abah lalu bersalaman & ikut duduk bersama lima orang tunawisma tsb.

Betapa bahagianya perasaan lima orang tunawisma tsb saat itu. Krn ada seorang ulama kharismatik mau ikut duduk bergabung bersama mereka. Mereka lalu  berbagi makanan mereka utk Pangersa Abah. Maka Pangersa Abah ikut menikmati makan bersama mereka dgn ekspresi gembira.

Bahkan Pangersa Abah menyuapi Cep Daus & Cep Robith dgn makanan tsb. Maka Cep Daus & Cep Robith ikut makan pula dgn ekspresi menahan mual. Ternyata makanan ke lima tunawisma tsb adalah makanan sisa-sisa yg sdh beraroma bau.

Setelah selesai menikmati makan bersama lima orang tunawisma tsb. Pangersa Abah lalu mohon pamit kpd mereka & kembali berkuda menuju Ponpes Suryalaya. Setelah itu Pangersa Abah menugaskan seseorang di Ponpes Suryalaya.

“Tolong antarkan karung beras & pakaian-pakaian ini utk lima orang tunawisma yg ada di depan Pasar Pagerageung..” Perintah Pangersa Abah. Maka diantarkanlah lima karung beras & beberapa perangkat pakaian utk lima orang tunawisma tsb. Tanpa mereka ketahui siapa sebenarnya yg telah memberikannya.

Tujuh Kuda

Cerita di atas dalam ilmu sastra disebut anekdot. Perjalanan Abah Anom Ra mengasuh dua cucunya bukan cerita biasa, tapi mengandung pelajaran berharga bagi para muridnya. 

Ini adalah praktek atas aforisme Abu Yazid Al Bustami salah satu guru silsilah Tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah pula yang mengatakan: 

Aku tak memiliki jubah kemiskinan dan kefakiran maka datangilah Aku dengannya maka Aku akan dekatkan engkau dengan kaum miskin dan papa.

Abah Anom menetapkan prilaku zuhud dalam kalbunya, tidak pada yang nampak. Ia zuhud di atas kudanya dalam waktu senggang mengasuh kedua cucunya, mendatangi kaum papa membuat mereka bahagia. Kala itu Abah Anom Ra. menunggangi tujuh kuda An-Nafs (Lawamah, Sirri, Amarah, Muthmainah, Khafi, Ruhi, dan Qolbi) dan satu Kuda dhohir, menghadapi lima kaum papa, dua cucu yang disuapi nasi basi, dan beliau adalah jembatan pendidikannya. (*)









Tidak ada komentar:

Posting Komentar