Minggu, 10 September 2023

DARI PUSARA KE PUSARA

Kuliner di Sekitar Makamat Jamuan Para Wali

M. Taufan Musonip


"Hal itu karena orang Sumedang sangat inklusif, mereka sebenarnya mengajak bicara orang luar daerah dengan bahasa Indonesia. Tapi di satu sisi orang luar daerah membiasakan berbahasa Sunda karena menghargai keramahan orang Sumedang. 


Tribute to La Tour (1998) Oil On Canvas
Pelukis Fernando Botero


Bagi peziarah hendaknya tidak berpuasa saat melakukan rihlah dari pusara ke pusara. Di tiap lokasi makamat, temuilah para pedagang makanan. Cari makanan yang menjadi ciri khasnya. Para wali yang hendak kita ziarahi pernah menyantap makanan yang sama. Jadi makanan yang tersedia di sekitar makamat, adalah jamuan para Wali pula

Bagi para wali makanan itu penting. Menjamukannya di hadapan tetamu adalah tradisi Islam. Sebagaimana kegemaran Nabi Ibrahim As. Syech Abu Said Ibn Abu Khair, pendiri tarekat pertama di Khurasan melawan pembencinya dengan makanan, seperti disebutkan dalam buku kumpulan kompilasi karya Sufi Masyur Laila dan Majnun. Pembenci Abu Said adalah orang pemerintahan, sebagaimana yang dilakukan kepada Suhrawardi dan Al Hallaj, mereka ingin membunuh Syech pendiri Khanaqah pertama ini karena ritual sama' (musik) dan juga perkumpulannya banyak didatangi kaum papa. 

Pertunjukan musik dan kehadiran kaum papa kaum sufi sejak dulu selalu diartikan sebagai perlawanan kepada kepercayaan politik yang mapan. Tapi Syech Abu Said diselamatkan dengan karomahnya menyediakan makanan enak. Perencanaan pembunuhan terhadapnya gagal. Bahkan si perencana seakan tertarik terhadap komunitas tarekat Syech Abu Said. Sayang sekali tidak diceritakan makanan enak apa yang disediakan kepada si pembenci.


Lahir di Kota

Makanan itu kunci pemikat paling awal dari kelompok sufi untuk menarik minat orang belajar Agama melalui dzikir. 

Sebelum berziarah ke makam Pangeran Santri Sumedang, saya dan Ibu ditemani anak gadis kecil saya Tanara menyantap lontong Padang. Ibu saya sejak muda sangat gemar memburu makanan kuliner sehingga selalu tahu jagoan-jagoan kuliner di sudut-sudut kota dari Sumedang hingga kota Bandung. 

Ibunda lahir di kota Bandung, sebagaimana saya, lahir di kota tak punya kemampuan berkebun atau bertani, tapi harus memiliki keahlian mencari uang. Karena ketahanan hidup orang kota memang berpusat pada uang dan keilmuan. Kalau kelak saya pensiun, saya harus punya uang atau usaha. Kalau tidak, kan saya tidak tahu sama sekali tentang seluk pertanian sebagai pagar ketahanan pangan kelak, kalau memilih tinggal di desa.

Tragisnya Bukan keahlian mencari uang yang dipunyai orang kota tetapi terkurung dalam zona perburuhan. Hidup menuju masa tua tanpa kepastian. Beruntunglah mereka yang lahir dari rahim perkampungan.


Lontong Padang Khas Sumedang


Kenapa pilih lontong padang, bukan tahu Bungkeng? Atau kuliner sarapan lain yang khas kota Sumedang. Hal yang sama saya tanyakan pula ke Ibu saya. Tapi kenikmatan makanan melupakan segala tanya. Lontong padang yang kami nikmati itu berbeda dari lontong padang yang biasa disantap di kota-kota lain atau mungkin di tempat lahirnya. Orang yang menyediakan berbahasa Sunda, di daerah Tanjungsari salah satu kecamatan di Sumedang yang lebih dekat dengan Kota Bandung, bahkan orang Tionghwa berbahasa Sunda halus. Orang Madura berbahasa sunda halus. Orang batak berusaha melakukannya walau terhalang oleh logat bataknya. 

Hal itu karena orang Sumedang sangat inklusif, mereka sebenarnya mengajak bicara orang luar daerah dengan bahasa Indonesia. Tapi di satu sisi orang luar daerah membiasakan berbahasa Sunda karena menghargai keramahan orang Sumedang. Saking inklusifnya orang Sumedang, pernah dipimpin Bupati orang luar daerah, diwakili oleh parlemen dari luar daerah juga. Bagi orang Sumedang, orang Sumedang atau non sumedang sama saja asal mau jadi orang Sumedang.

Prabu Geusan Ulun

Lontong padang yang kami nikmati tidak terlalu asin dan justru cenderung manis. Kualitas kuahnya sangat baik, nangkanya nangka segar dicampur daging sapi, warna yang sama kecoklatan dan empuknya daging membuat lidah kami sulit membedakan mana daging mana nangka. Warna kecoklatan yang diolah dari kecaplah yang membuat lontong padang ini otentik Sumedang, seperti gudeg. Gudeg tak asing di lidah orang Sunda, karena Mataram pernah berkuasa di Priangan. Juga terutama Sumedang pernah menjadi tanah kolonial Mataram.

Akhirnya kami tiba di pemakaman Pangeran Santri, Pangeran Santri ini ayahanda Prabu Geusan Ulun. Terkenal kealimannya dan salah satu penyebar agama Islam di Tanah Sunda. Saat kerajaan Pakuan Pajajaran hampir runtuh, karena serangan kerajaan Banten, Tahta kerajaan Pakuan Pajajaran diserahkan pada Penguasa Sumedang tersebut.

Nasab Pangeran Santri tersambung ke Sunan Gunung Djati. Ruhnya kami sambungkan dengan hadoroh ziarah TQN di mana ada Abah Sepuh Ra. (Syech Abdullah Mubarok bin Nur Muhammad) yang berdarah orang Sumedang pula.(*)


Makam Tjut Nyak Dien


Makam Ranggagede atau Kusumahdinata IV Keturunan ke 4 dari Pangeran Santri, Cicit dari Prabu Geusan Ulun.


Tanara dan Neneknya sedang menunggu hidangan Lontong Padang


Tidak ada komentar:

Posting Komentar