Kamis, 28 September 2023

ESAI

Tantangan Mas Jiwo, Rukun Ihsan dan Masyarakat

M. Taufan Musonip


"Guru Mursyid akhir jaman seperti beliau mengetahui urgensi rukun Ihsan dalam perjalanan Indonesia modern, yang serba rasional, serba materialis itu harus diawasi prinsip-prinsip keihsanan orang Islam sebagai masyarakat mayoritas.

 


Tea for Two (1961) karya Pelukis Jepang
Abe Nobuya


 

Tantangan Mas Jiwo kepada Ustad Latief agar ia mau mendirikan solat menjadi perbincangan populer pula di kalangan tarekat. Di sela-sela acara manakib atau dalam perjalanan ziarah. Mereka juga  merasa perlu menjawab tantangan Mas Jiwo yang kejawen itu. Jawaban Ustad Latief dianggap mengecewakan, seharusnya, Ustad berlogat Makasar itu tidak langsung menjawab secara Qur'ani. Tapi logika dengan logika! 

Apa pentingnya masalah ini bagi kaum tarekat dan Umat Islam secara keseluruhan? Untuk apa solat, toh masih bisa korupsi? Kata Mas Jiwo. Dan untuk apa menjadi orang beragama kalau kita mudah melarang orang menikah beda agama?


Modernitas

Orang tarekat menjawab, pasti karena orang solat jaman sekarang tidak mengamalkan rukun Ihsan yang pengaruhnya pada aplikasi 'Amar Makruf Nahyi Mungkar. Ustad Latief saja mungkin bukan orang tarekat. 

Tapi menjawab tantangan Mas Jiwo dengan rukun ihsan saja tidak cukup. Toh ada juga orang tarekat yang berkata, "yang penting kita sudah tahu cara tobatnya!" Jika orang tarekat macam itu masuk ke dalam pemerintahan bisa bahaya juga. 

Kenapa di Indonesia menemukan jembatan antara gerakan eksoteris dan esoteris sangat sulit sekali? Seolah ada demarkasi yang nampak menganga. Kalau orang eksoteris tentu tidak mungkin menjadi esoteris. Kaum sufi tak mungkin lah syariat-syariat banget. Juga kaum rasional sudah pasti takkan bisa menjalankan ibadah-ibadah esoteris seperti kaum sufi. Dalam banyak buku seperti Buku Pesantren, Kitab Kuning dan Tarekat, kolonialisme memang berperan kuat meminggirkan kaum sufi, terutama peran Snouck Hourgronje selain berupaya memisahkan ibadah umat Islam yang bersifat ibadah ritual dengan ibadah muamalah, Pemerintah Belanda pun mulai menciptakan rasionalisme dalam masyarakat pribumi dari mulai masa politik etis hingga masa pergerakan kemerdekaan. Martin van Bruinessen hanya mencatat, adanya pergantian pegangan sumber intelektual Islam dari kitab kuning ke kitab-kitab putih dan peran partispatif kaum sufi melawan kolonialisme digantikan oleh organisasi-organisasi modern seperti Sarikat Islam, lalu Muhammadiyah dan kemudian NU.

Modernitas yang diciptakan ormas-ormas Islam masa kolonialisme memang berhasil membangun Indonesia sekarang. Konsep Indonesia memang dibentuk oleh kaum rasional. Awal-awal kemerdekaan, idealisme kaum rasional membangkitkan kesadaran membangun masyarakat baru bernama Indonesia. Yang harus menopang negara baru yang sumber intelektualnya adalah kebudayaan barat. Gerakan kembali ke timur juga ada didengungkan dalam wacana sastra dan kebudayaan tapi yang dimaksud timur lebih cenderung keIndiaan. Adapun yang dimaksud Islam itu ya modernitas Islam yang menjadi jalan tengah barat dan timur. Tidak ada wacana rukun ihsan. Yang terjadi saat itu adalah bagaimana Negara Baru ini bisa maju dalam Keislaman.

Dalam perjalanannya Indonesia terus membentuk jati dirinya. Dalam pemerintahan untuk membangun Indonesia, Presiden-presiden Indonesia memerlukan teknologi dalam mengelola sumber daya alam. Dan mereka mengadopsi ilmu pengetahuan Barat sekaligus tenaga ahlinya, dan masyarakat Islam mencari landasan untuk menerimanya, banyak sekali ayat-ayat Sains di dalam Al Qur'an. Singkatnya Indonesia ingin maju dalam laju keislaman eksoteris. Keislaman esoteris dianggap mandek. Yang disebut laju esoteris itu bertapa di gunung-gunung, riyadhoh menyelam di dalam lautan, membuat syair yang sulit dimengerti oleh semangat kemajuan.

Lulusan pesantren biasanya punya banyak pengetahuan tentang ilmu fiqih. Kembali ke Masyarakat bisa jadi guru agama, jawara, atau pedagang. Mereka tak perlu tahu mendalam ilmu tasawuf, tak perlu meneruskan pengembaraan mencari Guru Mursyid. Ilmu agama sudah cukup, yang penting sudah mengetahui ilmu alat. Sudah benar wudhunya, sudah benar solatnya. Perasaan kebersamaan dengan Allah adalah raga yang patuh sesuai kaidah fiqih. Padahal perasaan itu bukan gerak badan tapi gerak ruh. Badan bisa lelah, kalbu bisa lalai. Keduanya harus aktif secara bersamaan. 

Urgensi

Guru Mursyid seperti Abah Anom Ra. di Suryalaya membuka pesantrennya untuk mempelajari Ilmu Tasawuf secara praktik melalui metode Tarekat Qodiriyah Naqsabandiyah, karena kamil mukamil status kemursyidannya syarat-syarat menjadi murid Tarekat dipermudah. Guru Mursyid akhir jaman seperti beliau mengetahui urgensi rukun Ihsan dalam perjalanan Indonesia modern, yang serba rasional, serba materialis itu harus diawasi prinsip-prinsip keihsanan orang Islam sebagai masyarakat mayoritas.

Orang-orang yang ditalqin dzikir dan baiat di Suryalaya adalah dari berbagai kalangan, jika mereka sudah merasa nikmat dalam mengamalkan amaliyah dzikir jahar dan dzikir khofi (dzikir dawam tanpa mengganggu aktifitas), mereka akan tetap menjadi petugas pajak, penyair, menteri, insinyur proyek, sales, petani atau tentara. Inilah Ihsan, orang yang dianugerahi pengetahuan tentang rasa bersama dengan Tuhan tapi tak meletakkan jabatan duniawinya, dan malah seharusnya makin berkualitas dan takut melakukan korupsi seperti alasan Mas Jiwo kenapa sulit diajak solat tadi.

Seperti dikatakan penyair Abdul Hadi WM, dalam buku Kembali ke Akar Kembali ke Sumber, letak keindahan kaum sufi itu ahlakul karimah, jika bisa melampaui diri dalam ahlak, seorang sufi telah melampaui ilmu tasawufnya sendiri. Dan pengujiannya dalam bermasyarakat dengan mengaplikasikan ilmu hakikat dan makrifat yang didapatnya selama penggemblengan riyadhoh.

Kerap disalah artikan dalam masyarakat kedua ilmu tadi sebagai ilmu anti syariat. Padahal keduanya tertulis dalam Al Qur'an dan Sunnah, sebagai medan uji kaum sufi menghadapi masyarakat. Bukan sebaliknya.(*)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar