Minggu, 01 Oktober 2023

ESAI

Kembali Membaca Buku sebagai Orang Tarekat dan Keanehan Membaca Buku Sastra

M. Taufan Musonip


"Dzikir itu inti dari agama. Dalam pengajian kitab Minahusaniyah, dzikir adalah posisi tertinggi dari ibadah apapun meskipun seorang pedzikir hanya akan mendapatkan derajat seorang abid. Alasannya sederhana, dzikir itu bisa terus dilaksanakan, tidak seperti solat atau ibadah lain yang terbatas dengan waktu. Menghubungkan dawuh Abah Anom Ra. di atas berarti fitrah dari kerja pikir itu terbatas. Pikiran itu berkait erat dengan raga yang merupakan zahirnya alam semesta.


Lukisan Karya Kazuko Shiihasi
"Cobalt Blue Hill" 2022

 


Meskipun saat memasuki pesantren Suryalaya orang disambut oleh gedung kampus dan kios-kios buku. Rasanya bab membaca tetap belum menjadi bagian penting dalam usaha menambah motivasi amaliyah dzikir dan pengetahuan ketarekatan. Upgrading II pun belum juga digelar kedua kalinya, isinya adalah pembahasan ketarekatan melalui pendekatan berbagai disiplin ilmu, pematerinya dari kampus IAILM. Saya rasa bagus sekali isinya. Orang ditingkatkan pemahaman keilmuannya, dan otomatis sebenarnya diajak untuk mau membaca buku. 

Pada suatu kesempatan saya mendapati buku Tanbih dari Masa ke Masa, isinya ada menyebutkan untuk tidak tipoporoséa teuing kana nyiar élmu, dari tokoh penyalin dan saksi sejarah perubahan naskah Tanbih Abah Sepuh Ra. dari masa ke masa, dimaknai oleh si pengarang yang merupakan anak kandung dari sang penyalin tsb sebagai ungkapan untuk mendapatkan ilmu lebih aplikatif. Padahal ilmu ketarekatan bukan ilmu aplikatif tapi syarat perenungan dan tafsir baik dalil-dalil Aqli maupun naqli juga ilmu-ilmu umum.

Anak Kunci

Ajengan Wahfiudin Sakam pernah berkata bahwa sejak ia menjadi murid tarekat, ia telah mengunci lemari bukunya. Bahkan membuang anak kuncinya. Wakil Talqin Abah Anom Ra. yang kerap menalqin dzikir dengan didahului khidmat ilmiah tentang ilmu tasawuf dan tarekat ala ilmuwan karena kerap menyampaikan melalui layar power poin mengaku awalnya ia seorang pengikut wahabi, entah karena buku-buku wahabinya ia menceraikan buku-bukunya atau memang setelah ia menjadi murid tarekat ia menganggap seluruh ilmu beresiko merintangi amaliyah dzikirnya. Tapi kalau begitu dari mana Kyai Wahfi awalnya mengetahui tarekat kalau tidak dari buku?

Memang ada falsafah ini, dari Abah Anom Ra: Jika engkau sedang berfikir berdzikirlah, tapi jika sedang berdzikir jangan sekali-kali engkau melibatkan pikiranmu.

Dzikir itu inti dari agama. Dalam pengajian kitab Minahusaniyah, dzikir adalah posisi tertinggi dari ibadah apapun meskipun seorang pedzikir hanya akan mendapatkan derajat seorang abid. Alasannya sederhana, dzikir itu bisa terus dilaksanakan, tidak seperti solat atau ibadah lain yang terbatas dengan waktu. Menghubungkannya dengan dawuh Abah Anom Ra. di atas berarti fitrah dari kerja pikir itu terbatas. Pikiran itu berkait erat dengan raga yang merupakan zahirnya alam semesta.

Untuk mendawamkan dzikir terus menerus tanpa harus mengganggu aktifitas diperlukan metode yaitu metode khofi. Tentu tak perlu lagi membahas panjang lebar mengenai dzikir metode ini, saya sudah seringkali menuliskannya. Yang menjadi masalah adalah ketika seorang pemula mencoba mendawamkan khofi aktifitas yang akan segera dianggapnya mengganggu dzikirnya adalah membaca buku. Itu lah mungkin alasan Kyai Wahfi membuang anak kunci rak bukunya. Saya pun demikian, sehabis ditalqin selama beberapa bulan lamanya, tidak membaca buku. 

Menjadi peneliti sekaligus pelaku dari objek penelitiannya memang akan sulit berbuat di luar kebiasaan lingkungan masyarakat yang ditelitinya. Akhirnya sama halnya dengan Kyai Wahfi, saya menurunkan aktifitas membaca secara drastis. Saya menikmati menjadi seorang abid, dan justru baru bisa menikmati dzikir jaharnya, dzikir khofi itu lebih sulit. Terutama mencoba menikmatinya saat tawajuh. Kepala di tekan ke arah jantung, lidah dinaikan ke atas langit-langit mulut. Dalam Miftahus Shudur kalau tidak salah orang berhasil menikmati dzikir khofi akan melihat pelbagai warna dalam mata batinnya, bahkan menurut sebagian orang bisa langsung bertemu Guru Mursyid bahkan baginda Nabi Saw. Bercakap-cakap langsung.

Bagi pemula macam kita. Kejadian itu sulit dan mungkin tidak akan pernah didapat. Sedangkan meskipun dzikir khofi itu ajimat agar bisa dawam tiap waktu, tetap saja sulit untuk tidak terputus. Maka kembali membaca buku itu baik. Buku yang bisa meminimalisir lalainya kita mengingat Allah sambil mengasah pikiran, yaitu buku-buku yang dihamparkan Guru Mursyid di kios-kios buku tsb. Buku-buku itu justru akan memberikan motivasi untuk terus menjalankan diri menjadi seorang murid. Teksnya adalah lisan kontemporer Guru Mursyid dan Nabi Saw pula. Di kios-kios kecil mereka menyapa kaum awam untuk belajar agama secara alternatif.

Mungkin yang paling penting dari membaca buku adalah gerbang menuju majelis lisan para mubaligh dan wakil talqin baik dalam manakib maupun dzikir khotaman. Dengan tetap terus sebisa mungkin mendawamkan khofi saat membaca buku harapannya mendapat ilmu yang mengandung keberkahan. 

Mazjdub

Salah satu yang paling aneh dari mengoleksi dan mendaftar bahan bacaan adalah buku sastra Islam. Kita belajar kepadanya karena mengajarkan filsafat seni dalam Islam atau memang ada naluri estetika pada setiap orang yang mempelajari tasawuf, karena tasawuf itu memang mengeluarkan jiwa estetika yang dalam sikap Islam disebut ahlakul karimah, karya tulis para ulama sufi adalah bentuk ahlakul karimah. Ia ingin menyampaikan agama kepada muridnya dalam bentuk keindahan agar lebih tersentuh lebih jauh lagi dalam bahasa Tanwirul Qulub, merasa Majzdub: Murid sebelum melaksanakan riyadoh dzikir dari Gurunya saja sudah memiliki rasa terpikat. Kalau sudah begitu muncul kenikmatan, dan kalau sudah nikmat, apapun titah guru seharusnya selalu bisa dilaksanakan.

Tapi buku-buku sastra itu tidak menyebutkan proses kreatif mendapatkan jiwa jamali itu. Seperti Buku Kembali ke Akar Kembali ke Sumber-nya Abdul Hadi WM, dia menulis istilah-istilah seperti nafi-isbat, takhliyah, tawajjuh, fana, baqa, faqir, jamaliyah, Inabah dsb tanpa harus menyebutkan praktik-praktik riyadhohnya. Istilah-istilah sufi yang direduksi ke dalam suatu karya hanya dari sisi pemikiran tetap akan mempengaruhi pemetaan kata dan makna meskipun akan lebih luwes jika penulis-penulis sastra pernah mencoba praktik-praktik riyadhoh kaum sufi. Mengingat semua karya sufi adalah penulisan kreatif atas pengalaman riyadhoh kaum sufi. Kita tak bisa hanya mengenal matsnawi Rumi tanpa riyadoh tarian berputar para darwis. 

Meskipun membaca buku sastra tanpa tahu proses kreatifnya dalam praktik sufi tetap saja harus apresiatif, barangkali penulis-penulis sastra sufi itu memang pengikut tarekat bercorak malamatiyah (sufi yang menyembunyikan identitas kesufiannya), atau kalau tidak pun membantu masyarakat mengenal tasawuf melalui karya sastra. Kalau tidak juga, buku seperti itu tetap akan memberi inspirasi dan motivasi para pengikut tarekat untuk menciptakan karya sastra sebagaimana aktifitas para Guru-gurunya. Mengoleksi buku sastra itu aneh sekaligus indah.(*)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar