Minggu, 15 Oktober 2023

BUKU-BUKU YANG SAYA BACA

Buku Sastra sebagai Penjaga Akhlak dan Seruan Pembaruan

M. Taufan Musonip



"Para penulis sastra ini menulis tema yang sangat luas sekali. Karena ia beragama Islam dan ingin mengembuskan nuansa Islam di dalam karyanya maka sebutlah ia sastrawan Islam. Ia ingin menulis untuk membenarkan banyak sekali salah kaprah tentang ajaran Islam yang dikaitkan dengan mitos tertentu dalam suatu film horor. 


Avanue of Pines (1997)
Nakazima Tsuzen



"Apa yang dipakai dan dilihat akan mempengaruhi mental dan prilaku seseorang," Begitu Fudholi pernah berkata secara tersirat dalam dua cerpennya Potret Manusia dan  Madam Perret yang dibundel dalam satu buku dengan judul diambil dari judul cerpen pertama.

Potret Manusia melukiskan seorang diaspora yang mengubah penampilannya menyesuaikan negeri tempat tinggalnya yaitu eropa dari memakai serban menjadi jas dan pantalon. Dari berjenggot menjadi seorang yang klimis, perlahan-lahan ia pun menjadi orang barat, menjalani seks bebas dengan mental ganda. Bagaimanapun ia masih membawa ruh ketimurannya meski raga dan jiwanya menjadi barat.

Sedangkan Perret adalah seroang wanita Prancis yang glamor. Tapi ia merasa di luar dirinya adalah musuhnya, ia dihadapkan pada kecurigaan akan perselingkuhan suami dengan rekan kerjanya. Tapi ketahuan ia adalah penikmat gambar-gambar porno.

Yang dilihat dan yang dipakai akan mempengaruhi cara pandang Anda. Awalnya hanya merasa sedang mengubah kebiasaan. Tapi perlahan namun pasti akan mengubah tabiat Anda. 


Malamat

Orang-orang Malamat konon adalah kelompok sufi yang menyamarkan penampilannya sebagaimana layaknya orang religius. Tugas mereka sangat berat, berdakwah ke dalam komunitas masyarakat yang dianggap sudah tak bisa diselamatkan lagi. Orang Malamat ini yang tahu benar istilah Taois Islam, ada secercah cahaya yang menjaga kegelapan. Juga ada noktah hitam di setiap cahaya yang berpijar. Dalam tradisi TQN Suryalaya ada quote: dinu bener gé aya salahna, kitu ogé sabalikna.

Kita tidak tahu bagaimana orang Malamat itu bekerja mempertahankan aqidahnya untuk berdakwah. Kemungkinan amalan dzikir khofinya sudah tak terputus. Tidak semua orang bisa menjadi malamat. Karenanya cara ampuh untuk menjaga akidah dan ahlak, ya menjaga apa yang Anda pakai dan apa yang Anda lihat. Seperti kata Fudholi tadi.

Buku sastra itu juga pakaian. Beberapa karya sastra banyak yang difilmkan. Karya sastra dan film efektif menjadi benteng akidah dan ahlak. Tergantung nuansa yang diberikan di dalamnya. Malahan, seperti Anda tahu para Guru Sufi menulis karya sastra pula. Tulisan itu ahlak, konkret bentuknya. Seperti halnya Jamaah Tablig yang suka khuruj itu mengajak orang ke masjid. Kenapa? Ya menulis itu pakai tenaga dan otak juga. Bahan bakunya buku atau kitab yang penulisnya baca. Bahkan gerakannya melampaui pergerakan dakwah orang ke manapun dengan kedua kaki. 

Para penulis sastra ini menulis tema yang sangat luas sekali. Karena ia beragama Islam dan ingin mengembuskan nuansa Islam di dalam karyanya maka sebutlah ia sastrawan Islam. Ia ingin menulis untuk membenarkan banyak sekali salah kaprah tentang ajaran Islam yang dikaitkan dengan mitos tertentu dalam suatu film horor. 

Ia juga menjadi pembenar salah kaprah tentang seni lukis Islam, yang dianggap tidak transformatif seperti lukisan-lukisan barat, sambil memberi motivasi estetika tentang batasan-batasan seni yang tidak menyeberang jauh sekali dari nilai-nilai agama. Juga tentang banyak karya sastra, yang menjadi pembanding karya-karya non islami. Ia menyatakan bahayanya jika orang Islam tidak menulis karya sastra, maka orang Islam akan menggali pengetahuan Agamanya pada karya-karya sastra non Islami.

Adalah buku Sastra bersampul merah berjudulkan Kembali ke Akar Kembali ke Sumber. Penulisnya sudah tak asing lagi, ia menulis buku puisi yang ada di rak buku saya, Madura Luang Prabhang, siapa lagi kalau bukan Abdul Hadi WM. Buku ini juga bukan buku baru. Terbit tahun 1999. Menuliskan tentang gerakan Sastra Profetik dan Sastra Sufistik di Indonesia. 


Wujud Merah Buku KAKS
Abdul Hadi WM

"Maqom kemanusiaan itu berupa kesadaran diri yang fana fi Allah, karenanya ia mengusahakan Suara Tuhan senantiasa disabdakan pada zamannya. 

Ia menyebutkan banyak nama sastrawan tiga di antaranya Sutardji Calzoum Bahri, Danarto dan Fudholi Zaeni. Tiga nama itu dianggap sastrawan kontemporer yang memiliki corak transenden. Tapi beda ketiganya menurut tafsir saya, SCB ingin membentangkan jalan transenden melalui literasi sufistik, Danarto kemungkinan ahli dzikir, sedangkan Fudholi Zaeni ahli syariat yang juga seorang sufi. SCB membaca buku-buku sufi untuk mendapatkan bentuk sastra transendennya, di sana ia mendapatkan spirit sufistiknya seperti puisi-puisi dalam buku Kapak, Danarto menuliskan apa saja yang terjadi di alam iluminasinya tanpa terhalang oleh keinginan membuat bentuk-bentuk penulisan, seperti dalam kisah-kisah Setangkai Melati di Sayap Jibril, Danarto banyak sekali memainkan simbol-simbol keramat yang begitu mengenyampingkan rasionalisme seperti pohon yang bisa menarik benda apapun di sekitarnya.

Fudholi seperti halnya Kuntowijoyo mencari khazanah sufi di dalam masyarakat. Kisah-kisah Potret Manusia seperti dua cerpen yang saya petik di awal tulisan, mirip sekali dengan kisah-kisah katakanlah Persekongkolan Ahli Makrifat, keduanya mencari konflik dalam struktur dan mendamaikannya dengan peristiwa keramat. Bedanya, Kuntowijoyo menyukai sekali kisah-kisah keramat misalnya sebut saja novelnya Wasripin dan Satinah, Fudholi lebih mengedepankan suatu perenungan sufistik seperti cerpennya Hotel, ia menganalogikan hotel seperti halnya dunia ini, sebentar singgah untuk kemudian pergi lagi.

Hadi juga menyebutkan penyair-penyair pembaharu seperti Syech Hamzah Fansuri dan Sunan Bonang. Syech Hamzah Fansuri adalah Guru Mursyid Tarekat Qodiriyah, menulis puisi yang mengaktualkan bahasa sastranya. Wujud khazanah puisi modern menurut Abdul Hadi adalah jiwa pribadi pengarangnya yang merdeka. Tidak terkait dengan suara penguasa Istana, kemudian juga membebaskan diri dari sumber agama masyarakat yang lama. Sunan Bonang dan Hamzah Fansuri merupakan dua tokoh sastra jaman peralihan, dalam Suluk Wujil, Sunan Bonang membangun masyarakat transisi menuju runtuhnya Kerajaan Majapahit yang beragama Hindu. Sedangkan Hamzah pada kerajaan Aceh Darussalam, kerajaan Islam yang masih terpengaruh hindusme. Suara-suara yang disampaikan dalam syair keduanya adalah tauhid dalam metode pengucapan Sufistik. 

Buku merah KAKS juga membahas penyair-penyair luar yang terpengaruh oleh penyair-penyair sufi klasik seperti Goethe, Emerson, Tagore, dan Muhammad Iqbal. Yang paling menarik adalah saat membahas jiwa puitik Muhammad Iqbal -sebenarnya untuk memberi pesan pembaruan dan berkemajuannya spirit kepenyairan sejak pembahasan Fansuri dan Sunan Bonang: jiwa sufistik itu bukan melahirkan dekadensi. Sebaliknya selain memiliki kebeningan jamali hasil dari perenungan sufistiknya, penyair harus meningkatkan maqom kemanusiaannya. 

Tasawuf Abdul Hadi

Maqom kemanusiaan itu berupa kesadaran diri yang fana fi Allah, karenanya ia mengusahakan Suara Tuhan senantiasa disabdakan pada zamannya. Ini yang dimaksud dengan wacana transenden Iqbal. Suara Tuhan itu akan mengakibatkan diri manusia yang bangkit dari ketertindasan. Yang fana itu membangkitkan potensi kekuatan pribadi. Tasawuf Iqbal dan juga kemungkinan Tasawuf Abdul Hadi itu meliputi kedalaman Ilmu yang bisa diraih manusia Islam. Kedalaman ilmu itu pergerakan ke dalam yang menemukan sumber pengetahuan dan segera menariknya keluar dalam berbagai partispasi aktif. 

Iqbal menemukan ceruk kedalaman ilmu dalam puisi-puisi Rumi dan jangan lupa Iqbal juga seorang Nietzchean, hal itu ditulis dalam buku Nietzche karya ST Sunardi yang pada Bab akhir menuliskan tokoh-tokoh Filsuf Timur dan Barat yang terpengaruh oleh pemikiran Nietczsche, salah satu satunya Iqbal yang menyebabkan puisi-puisinya bagai jiwa muda yang tak sabar dengan perubahan. Suara Iqbal mirip dengan suara martir Al Hallaj yang dalam buku Layla dan Majnun -buku kumpulan biografi dan kumpulan saduran beberapa karya klasik- juga tidak sabar dalam pengajaran dan bimbingan Gurunya. Al Hallaj, Iqbal dan Abdul Hadi ketiganya memiliki karomat sabda kiri Islam. Akan tetapi karena Iqbal dan Abdul hidup di abad modern mereka juga memegang tongkat berkat berkemajuan.

Abdul Hadi dan Iqbal adalah penganut Tasawuf Falsafi, tidak dengan Al Hallaj, ia sebenarnya tasawuf praktik, karena memiliki Guru Mursyid, hanya belakangan Al Hallaj memilih menjalani kehidupan tarekatnya sendiri. Abdul Hadi menyebutkan istilah-istilah sufistik seperti nafi-isbat, takhliyah, tawajjuh, fana, baqa, faqir, jamaliyah hingga Inabah tanpa menyebutkan praktik-praktik riyadhoh yang biasa dilakukan kaum sufi, istilah sufi itu dipatenkan dengan pengalaman sufistik. Sehingga akan melahirkan cangkang yang sesuai dengan isinya. Pakaian yang memengaruhi sikap badani pemiliknya seperti  cerpen Fudholi di atas. Meski begitu Abdul Hadi belum tentu tidak tahu praktik-praktik riyadhoh kaum sufi. Bisa jadi beliau juga seorang pengikut tarekat malamati, yang menyembunyikan amaliyah riyadhohnya dibalik pemikiran-pemikiran sastranya.

Bahasa puitik Rumi atau Attar kerap dikutip oleh siapapun, baik oleh orang Muhammadiyah, NU, Persis, bahkan Non Muslim, indah dan menyejukan padahal untuk menghasilkan bahasa puitiknya mereka menjalani riyadhoh-riyadhoh dan bimbingan Guru Mursyid yang cukup berat. Tadzkiyatun Nafs untuk menghasilkan jiwa jamali tidak cukup dengan pemikiran tapi dengan praktek dzikir terbimbing. Tapi buku sastra Islam (profetik, transendental atau sufi) tetap menjadi pilihan pakaian terbaik sebagai penjaga ahlak, juga bisa menjadi penghantar menuju pengajaran ruh lebih jauh lagi.(*)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar