Minggu, 17 September 2023

ESAI POLITIK TAREKAT

Jika Sufistik Sudah Meresap ke Dalam Alam Politik Indonesia

M. Taufan Musonip


"Prof Yusril dan Prof Rais adalah aktor reformasi yang keduanya saat itu sangat berpeluang menjadi Presiden. Kebetulan keduanya kalau tidak salah dari Muhammadiyah, dan juga dua di antara tokoh Islam Rasional. Tapi keduanya gagal menjadi presiden, keduanya pula saling berseberangan, dan yang menjadi Presiden saat itu representasi kaum sufi yaitu Gus Dur. 


Karya Fotografi Buah Tangan
 Ganesh Kumar Perumal. "Silent!"

 

Dalam Esai: Tasawuf Tidak Meruntuhkan Filsafat Islam saya mengirim pesan politik Islam di tangan kaum sufi. Tentu berdasarkan kajian sederhana tanpa didukung riset berbiaya. Hanya membaca buku-buku yang dibeli dari sekian persen gaji saya. 

Ini konsep politik kaum sufi dalam tulisan tersebut: Feminisme Islam, yang akan berdampak pada lahirnya budaya politik sosialisme religius, teknologi berkelanjutan berbasis lingkungan berdasar pada sains bernuansa ilahiah, serta mengedepankan estetika kreatif dalam pendidikan, dibanding pendidikan vokasional.

Ide politik bisa dijunjung setinggi-tingginya. Prakteknya yang sulit. Kaum sufi harus mencari visi misi parpol yang sejalan dengan konsep politik di atas. Kalau mau mengamalkan ide tersebut secara murni harus mendirikan partai. Partai politik lahir karena budaya dan peradaban suatu kelompok.

Prof Yusril

Tapi 2-3 paragraf di atas bisa menjadi pondasi atas jawab dari statemen Prof Yusril dalam sebuah podcast yang mengatakan politik di Indonesia sudah sufistik semua, menyebutnya dengan nada pejoratif memaknai olengnya perjalanan politik Indonesia dari masa ke masa. Apa benar sufistifikasi sudah berhasil meresap dalam politik Indonesia terutama pada masa kebebasan demokrasi paska reformasi? Sehingga melemahkan umat Islam dalam ikhtiar politiknya?

Prof Yusril dan Prof Rais adalah aktor reformasi yang keduanya saat itu sangat berpeluang menjadi Presiden. Kebetulan keduanya kalau tidak salah dari Muhammadiyah, dan juga dua di antara tokoh Islam Rasional. Tapi keduanya gagal menjadi presiden, keduanya pula saling berseberangan, dan yang menjadi Presiden saat itu representasi kaum sufi yaitu Gus Dur. 

Rasionalitas itu belum tentu mempersatukan. Yang mempersatukan itu kalbu. Ada seorang ulama berkata,  Indonesia meski eksistensinya dipisahkan oleh selat dan samudera insyallah akan tetap menjadi Negara Kesatuan karena doa dan kalbu para ulama yang mendawamkan wirid Wata'simu Bihablillah. Penyair Abdul Hadi WM salah satu perintis ide profetik Islam dalam sastra Indonesia pernah berkata, Puisi mempersatukan, Politik memecah belah. Puisi itu suara kalbu, sedangkan politik hasil rekayasa rasio.

Pandangan Abdul Hadi WM berdasar sandaran kuat, beliau telah mendalami berbagai karya puisi sufistik baik klasik maupun modern. Beliau misalnya mendalami syair-syair Hamzah Fansuri dalam dua buku, Kembali ke Akar Kembali ke Sumber dan Tasawuf yang Tertindas. Dalam KAKS, Abdul Hadi melukiskan Hamzah Fansuri bukan saja sebagai pembaharu bahasa Melayu dan pencetus puisi modern Indonesia, selain seorang Mursyid Tarekat Qodiriyah juga menjadi penyeimbang atau oposisi Kesultanan Aceh masa lalu yang masih bercorak Kehinduan. Hamzah Fansuri menyuarakan pendapatnya melalui puisi. Bisa jadi, semangat memurnikan ajaran Islam melalui tasawuf seperti yang dilakukan Hamzah Fansuri, merupakan embrio organisasi Islam modern yang lahir pada masa kolonialisme. Mengingat apa yang dikatakan oleh Drewes masih dalam KSKA: 

"Lestarinya Islam hingga ke pelosok-pelosok Nusantara melalui tradisi surat menyurat, puisi dan kesusastraan secara umum."

Tentu tidak persis benar bunyinya seperti itu. Tapi maknanya sama, dan membuka pendengaran kita untuk menerima nasihat, jangan lupakan kegiatan tulis menulis sastra di masa lalu sampai Islam ada dalam kehidupan sehari-hari hingga hari ini. Jangan lupakan imajinasi Muhammad Yamin dalam menulis puisi tentang ide Keindonesiaan yang ia sebut melewati gunung-gunung dan lautan itu. Sebab soal kesatuan Indonesia itu soal kalbu manusia Indonesia, bukan soal hitung-hitungan rasio kenapa seluruh daratan pulau di Indonesia ikhlas menyerahkan dirinya ke dalam bingkai Negara Indonesia. Mohammad Hatta yang merupakan seorang pejuang yang lahir dari keluarga Naqsabandiyah ketika itu mengeluarkan ajimat Ketuhanan Yang Maha Esa untuk mengganti tujuh kata saat melobi kelompok timur, tidak melihat dahulu potensi ekonomi negeri-negeri timur, tapi sebenar-benarnya karena orang Timur ikut memperjuangkan kemerdekaan dan memiliki perasaan ke Indonesiaan yang sama. Ketuhanan yang Maha Esa itu empat kata dari jiwa jamali orang Islam untuk menghimpun kekuatan cinta bernama Indonesia.

Gerakan perlawanan masyarakat Surabaya pada Agresi Militer Belanda ke II adalah gerakan sufistik. Kita pernah mendengar peristiwa pemberontakan Petani Banten. Itu adalah perlawanan yang dipelopori oleh kelompok Tarekat Qodiriyah Wa Naqsabandiyah. Dengan tarekat yang sama perlawanan dilakukan di Pagentongan Bogor dan Cirebon. Itu jika ingin melihat partisipasi kelompok tarekat dalam perjalanan revolusi Indonesia. 

Pasif

Gerakan-gerakan politik yang dilatar belakangi oleh kelompok tarekat tidak hanya bersifat kontekstual, tarekat membentuk kader melalui bentuk-bentuk tekstual yaitu melalui konsep seni dan kesusastraan. Melalui Suluk Wujil Sunan Bonang mempersiapkan kader muda Islam ketika kerajaan Majapahit akan mengalami keruntuhan. 

Mungkin yang dikhawatirkan Prof Yusril dari sifat sufistik bangsa Indonesia itu hilangnya sikap kemandirian.  Memang itu sebenarnya yang terjadi, orang tarekat banyak disalah artikan sebagai komunitas anti dunia dan ilmu pengetahuan, terlalu menyandarkan diri pada karomah dan barokat Guru Mursyidnya. Tak melakukan partisipasi aktif dalam kehidupan sosial politik, padahal simak anekdot ini yang biasa didapat dari kalangan sufi modern. Padahal sebenarnya ini anekdot dari Syech Abu Said Bin Abu Khair pendiri khanqah sufi paling awal.

Seorang murid bertanya kepada Abu Said Bin Abu Khair:

M: "ada orang ahli dzikir bisa terbang di udara!"

G: "Ah, itu hal biasa. Syetan pun bisa!"

M: "Ada juga yang bisa berjalan di atas air,"

G: Sama saja. Jin saja bisa. Yang luar biasa adalah orang (ahli dzikir) yang biasa berkumpul dengan banyak orang (bermasyarakat) tapi hatinya selalu terpaut dengan Allah. 

Di dalam Tarekat ada amalan dzikir metodik yang bisa membuat siapapun yang datang ketika pulang dadanya akan berdenyut nama Allah. Diajarkan mengamalkan rukun Ihsan, sekali ia mendapatkan mutiara dzikir ia akan malu berbuat maksiat yang tersembunyi sekalipun. Berpotensi menjadi orang yang siddiq dan amanah, bukan itu saja, prilakunya akan mencerminkan bagian dari keindahan Allah Swt.(*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar