Rabu, 26 April 2023

DARI PUSARA KE PUSARA

Berziarah ke Makam Bapak, Berziarah ke Makam Abah Anom Ra.

-Edisi Spesial Lebaran

M. Taufan Musonip


"Itu karena saya tak mengerti tarekat itu tasawuf amali, faqir untuk mengerti bahwa tujuan ilmu itu amaliyah.


 

Lukisan Karya Zhou Yansheng
(1942).

Berziarah bisa jadi gaya hidup anak muda pula. Berbekal riwayat Nabi Saw (Selawat serta salam senantiasa tercurah pada beliau Nabi yang Umi, sebagaimana selawat Umiyi) pernah mendatangi makam pejuang Islam di Baqi. Perjuangan umat Islam awal melawan penindasan tak kalah epic dengan perang-perang Yunani. Sebelum Islam Kerajaan Romawi yang Nasrani kerap berperang melawan kerajaan Majusi. Saat Islam belum menjadi agama terbesar dunia, Nabi Saw membela Romawi.

Juga bisa berbekal buku-buku syair sufi. Yang saya bawa saat ziarah Lebaran Idul Fitri tahun ini, adalah buku Musyawarah Burung, karya Fariduddin Attar. Dulu pernah saya baca, tapi bisa lebih dimengerti saat saya menyelami lautan tarekat bersama gelombang lautan Abah Anom Ra. Buku-buku syair sufi itu membantu memahami kematian untuk tahu bagaimana menjalani kehidupan. Siapa bilang budaya ziarah tak melahirkan peradaban maju? Buktinya syair-syair sufi membangun dunia, dan diminati anak-anak muda. 

"Mengingat kematian itu memanjangkan usia." Itu kata Bapak saya.

Mengingat kematian (ziarah) yang menyebabkan berkarya akan membuat awet muda. Lebaran ini saya berziarah ke makam Bapak saya, di Tanjungsari Sumedang. Dia sang inspirator pertama saya (khususon ila ruhi, Alfatihah) yang saat masuk sekolah SMP menulis kolom hobi kebingungan, karena saya merasa tak punya bakat. Tapi Bapak saya waktu itu lugas menjawab: "Bakat kamu itu menulis!" Jadi karena saya tak tahu lagi harus isi apa kolom yang membuat mulut selalu menganga itu, juga ketika guru sekolah kebetulan bertanya, saya isi saja sesuai arahan Bapak.


Mursyid Mula-mula

Bapak juga mursyid mula-mula saya, selain ia menyukai baca buku terutama sastra Sunda dalam majalah Mangle', juga seorang ahli hikmah, dia juga berguru. Guru utamanya adalah kakek saya, pengikut Qodiriyah, konon bersama buyut saya tergabung dalam Tentara Mujahidin. Guru lainnya dalam ilmu hikmah kerap bertandang ke rumah. Dan suka mengajarkan Riyadoh.

Menjelang dewasa, kami kerap berdebat. Itu karena saya malas mengaji. Saat mahasiswa baru belajar baca Al Qur'an, karena tertarik sastra sufi. Malu menyukai puisi sufi tapi tak bisa baca Al Qur'an sebagai sumber inspirasi para penyair. Menyukai puisi sufi karena bacaan-bacaan filsafat yang mengantarkan saya ke sana, selain cerita-cerita Bapak mengenai petualangan-petualangan kakek-buyut dalam perjalanan santri mereka. Saya tetap rasional, Bapak mistik.


Saya, Istri dan Anak Bungsu Saya: Tanara


Rasionalitas saya membalikan diri ke asal. Mulai curi perhatian pada tahlilan 40 hari, Barjanzi, Syair Burdah dan juga tawasul. Berkenalan dengan tarekat dari seorang pembantu umum di kantor, dzikirnya menggoyangkan kepala ke kanan dan ke kiri, lalu diakhiri menundukan kepala ke arah kiri. Meski pekerja tingkat paling rendah ia rajin membawa Buku Lautan Tanpa Tepi, karangan KHM Abdul Gaos Saefullah Maslul, salah satu wakil Talqin Abah Anom Ra. Juga majalah-majalah Shantori, yang banyak sekali memuat tulisan-tulisan Ahmad Tafsir, yang menulis buku Filsafat Umum, Akal dan Hati dari Sejak Tales Sampai Capra. Gobloknya saya, saat mengikuti Khataman beberapa kali saya merasa tak ada sufisme dalam khazanah yang biasa saya dapat di buku-buku, hanya kegiatan berdzikir. Tak ada pembahasan buku-buku seperti dalam Shantori. Itu karena saya tak mengerti tarekat itu tasawuf amali, faqir untuk mengerti bahwa tujuan ilmu itu amaliyah. Gobloknya saya, bapak OB -yang tak pernah saya dapati lagi di Suryalaya, kalau ada Manakib itu- yang membawa-bawa buku dan majalah itu, tidak saya anggap sebagai suatu tindakan keramat. Yang seharusnya langsung tertarik, ada ilmu ladunni di tangannya. Baru, tak lama ini saya sadar, saya menyesal tak langsung meminta talqin dzikir saat itu. Ini adalah hadits tentang talqin dzikir:

"Talqinkan oleh kamu, orang yang akan mati dengan kalimat La ilaha illalah," (HR. Muslim).

Simurgh

Apakah harus dengan pembuktian melalui buku-buku jika ingin menyelami lautan sufi? Dalam buku Tanwirul Qulub karya Syech Amin Al Kurdi, risalah sufi dibuka dengan pembahasan tentang akal, jika kita tak memahami kerja akal maka kita akan tenggelam di lautan fasik. Karena kita akan berhadapan dengan Guru Mursyid, sang Petunjuk Jalan menuju Rosulullah, falsafi pemahaman tentang kehadiran Guru Mursyid diperlukan terutama tentang silsilah dan sanad keilmuannya.

Dan khazanah sufi dalam Islam itu memang indah. Seperti Burung Hudhud yang menjadi Mursyid ratusan jenis burung lain yang ingin menemui Burung Simurgh yang digambarkan sebagai burung besar tanpa awal dan akhir di tebing sebuah gunung, mereka terbang menjelajah, setelah menaklukkan ego dalam diri, mereka taat kepada Mursyid seperti mayat untuk bertemu Simurgh.

Kenapa taat kepada Guru Mursyid harus tanpa reserve? Karena beliau dipercaya ruhnya sudah sampai alam Jabarut, bahkan sekelas Syech Abdul Qodir Jaelani sudah sampai di Arasy Allah. Mereka manusia biasa tapi tingkatan ruhaninya tidak seperti orang biasa. 

Di sini saya tidak bisa banyak menceritakan indahnya berjuang melebur diri kedalam eksistensi Guru Mursyid, kecuali anda mencobanya, mengawalinya dengan talqin dzikir. Mengerjakan amalan-amalan Guru Mursyid. 

Seperti saat saya tergerak berziarah ke makam Abah Anom Ra. Dalam suasana Lebaran ini, sepi dan indah. Saya melantunkan tawasul sendirian. Seperti sedang bertatap muka. Selesai dzikir saya melihat Haji Baban Ahmad Jihad Putra bungsu Abah Anom (dari istri pertama) berpayung keluar dari masjid dan memanggil salah seorang pegawai pesantren. Seperti lukisan, beliau seperti mengirimkan makna: kalau sepi kamu bisa dapatkan apa yang ingin kamu lihat dengan penuh penghayatan.(*)












Tidak ada komentar:

Posting Komentar