Rabu, 05 April 2023

ESAI

Tarekat Tidak Anti Kitab Putih

---Pengindraan atas MKTM 9 dan Kios-kios Buku di Suryalaya

M. Taufan Musonip



"Pada manakib 11 Ramadhan tahun ini pun saya meneliti buku-buku yang dipajang di kios buku sekitaran Masjid Nurul Asror ternyata bukan hanya karya-karya internal Ponpes Suryalaya, ada buku-buku penulis barat seperti Annamarie Schimmel, Sachiko Murata juga Cecep Alba dan juga buku filsafat hijau Ahmad Tafsir.


 
Lukisan Karya Mariusz Stawarski
 


Suatu kali saya ingin menulis, tentang sumber-sumber yang sahih mengenai tarekat dari beberapa buku -ini karena saya dibesarkan dalam budaya kitab putih- di antaranya buku Fikr dan Dzikr karya Muhammad Isa Waley, Buku Bidayatussalikin karya Ajengan Citungku, atau buku Pengobatan Cara Sufi karya Syech Chisti. Tapi yang terakhir belum saya baca bukunya, tapi sudah saya beli. Sedangkan dari kitab Miftahussudur saya hanya berani menyampaikan dari pengamatan terhadap lisannya Al Mukarom Ajengan Acep A. Rijalullah (semoga keberkahan dan keselamatan senantiasa Allah berikan kepada Beliau), yang karena ilmu-ilmunya saya sering merasa terbakar. 

Entah mungkin baru sekedar dibakar hawa nafsu, saya sering memberanikan diri menulis hasil penginderaan sendiri, tentu lebih sering keliru. Tapi setiap orang akan tidak merasa nyaman jika ia tak memiliki tanggung jawab, atas apa yang telah didengarnya sebagai ilmu pengetahuan tapi tak disampaikan lagi kepada orang lain. Meski apa yang disampaikan ini masih selalu seringkali salah baik menangkapnya atau menyampaikannya.


Ulah Sare Wae

Saya malu, tapi saya juga mendengar Ajengan Acep pernah berkata suatu kali: "ulah sare wae, berkarya!" (Jangan tidur terus, berkarya).

Niat saya ingin berbagi hal yang baik. Menuliskan orang-orang baik. Menuliskan sejuta pesona mutiara tarekat. Yang sempat membuat saya diam. Enggan membaca buku dan menulis. Padahal menulis adalah keahlian potensial mencipta sejarah. Saya akan terus berusaha, walau tidak pernah sempurna.

Saya pernah melakukan introspeksi, barangkali kegiatan menulis ini harus dihentikan. Tapi nurani saya berkata tidak, saya harus terus menuliskan gerakan-gerakan dalam tarekat yang saya cintai ini.

Sebab perjalan tarekat itu dari Mursyid ke Mursyid dibimbing kitab-kitab yang diwarisi murid-muridnya sampai hari kiamat. Kitab-kitab Seperti Tanbih atau Miftahussudur itu tipis-tipis tapi potensinya menjadi daya tarik yang kuat orang untuk berkumpul. Suatu kajian yang melahirkan kitab tafsir dua kitab itulah yang akan terus menyegarkan, sekaligus melestarikan kalam Mursyid. Buktinya saya menemukan buku Tanbih dari Masa ke Masa, yang pengantar penulisnya menyebutkan adanya tafsir ilmu pengetahuan modern atas Kitab Karya Abah Sepuh Ra. Itu. 

Pada manakib 11 Ramadhan tahun ini pun saya meneliti buku-buku yang dipajang di kios buku sekitaran Masjid Nurul Asror ternyata bukan hanya karya-karya internal Ponpes Suryalaya, ada buku-buku penulis barat seperti Annamarie Schimmel, Sachiko Murata, Cecep Alba dan juga buku filsafat hijau Ahmad Tafsir. Ini bukan karena Kiosnya modern, tapi suatu tanda yang digulirkan Guru Mursyid, Al Falasifah sebagai dalil Aqli perlu disentuh, agar amaliyah dzikr memiliki kekuatan fikr.


Masjid Nurul Asror dipotret di Makam Abah Anom pada tanggal 11 Ramadhan 1444H


Pada MKTM ke 8 Ajengan Acep pun menyebut kata sastra dan filsafat. Ini juga sebagai isyarat pintu masuk bagi kaum yang dilahirkan dari budaya kitab putih bisa masuk mempelajari dan mengamalkan tarekat. Tarekat bukan milik santri-santri semata. Juga jawaban atas orang-orang anti tarekat yang kerap menstigma tarekat sebagai komunitas anti ilmu dan dunia. Jika orang filsafat berjalan di emper-emper kios buku Suryalaya, ia akan merasa salah menilai orang tarekat. Orang tarekat harus bisa menempatkan diri atas ilmu ketika menghadapi orang dari kalangan kitab putih.

MKTM ke 9 saya ikuti dari video yang dikirim Bang Sanin. Ajengan Acep berkata dua letak nafsu yang merendahkan kemanusiaan manusia yaitu pada latifah Amarah letaknya di kepala dan Lawamah letaknya di dada kiri dua jari dekat jantung. Ada buku yang saya beli dengan tidak ada niat mencari referensi tarekat yaitu Psikologi Film karya Matius Ali, tentang ego. Semua orang menurutnya mencari kenikmatan, tapi orang Barat meletakkan kata kenikmatan itu di raga jika tak bisa mencapainya maka ia akan berfantasi. Fantasi itu melahirkan moralitas barat, di mana seksualitas dan agresifitas menjadi isu utama. Dalam tarekat kenikmatan itu dicari dalam ruh, interaktif mengatasi sang ego dalam titik latifah amarah, dan sebagian dalam ego eksistensial kebaikan latifah lawamah. Ego eksistensial dalam lawamah, biasa disebut riya, ujub dan sum'ah. Jika seseorang bisa mengatasi dua kekuatan negatif tersebut, maka ia akan memancarkan cahaya dalam 5 latifah lain. Insan dalam keadaan ini disebut insan jamaliyah. Pancaran yang biasa dirasakan dalam wajah Guru Mursyid dan para Awliya Allah.


Tafsir Estetik

Jamaliyah itu tafsir estetik atas Al Qur'an dan Hadits. Sebagaimana dikatakan Ibnul Qoyyim Jauziyah, jika kau mendapat nikmat maka kau akan tahu memuji Yang Memberi Nikmat dan tahu pula akan rasa bersyukur. Jika tahu rasa bersyukur maka kau akan tahu bagaimana adab memperlakukan Manusia dan segenap semesta mahluk dan juga Sang Kholik. Di sanalah ribuan syair-syair sufi membangun peradaban Islam hingga sekarang.

Untuk mencipta syair yang indah sufi berdzikr. Untuk menciptakan puisi yang indah filsuf tak bisa menyelesaikannya dengan kepala. Maka peradaban sastra Barat dipenuhi birahi dan demoralitas. Meskipun jika kita ambil hikmahnya filsafat Barat bisa membantu kita mengenal Allah melalui kerja pikir. Buktinya saya mulai mengenal sufisme dari Buku Filsafat Hijau Ahmad Tafsir, Muslim Tanpa Masjid Kuntowijoyo dan juga buku-buku Abdul Hadi WM. Tanpa mereka saya tak akan pernah menjejakkan kaki di Suryalaya.(*)

















Tidak ada komentar:

Posting Komentar