Jumat, 14 April 2023

ESAI

Dapur sebagai Ruang Pengolahan Kebijaksanaan

M. Taufan Musonip



Lukisan Helen Hyde (1868-1919)




Dalam buku Penyembuhan Cara Sufi, yang ditulis Syech Hakim Chisti dari Tarekat Chistiyah, penyajian makanan adalah budi luhur seorang guru mursyid. Melambangkan kesehatan.


Sebanyak 48 kali Al Qur'an menyebut kata makan, tentu dengan berbagai derivasi tafsir berbeda. Memberi makanan kepada orang lain adalah kebiasaan yang dilakukan Nabi Ibrahim As. Bahkan menjadi kegemaran. Dalam pengajian kitab yang didaras Kyai Muda di kampung saya saat ramadhan ini, mengatakan bahkan Nabi Ibrahim sampai mencari tamu yang rela singgah di rumahnya untuk mencicipi makanan yang ia masak sendiri. 


Masih menceritakan Manakib 11 Ramadhan, menjelang Manakib, dapur umum Suryalaya menyediakan ifthar dan sajian berbuka. Biasanya kalau tidak sedang puasa Ramadhan para ikhwan akan makan di rumah Ahlul Bait Guru Mursyid. Ada juga yang pergi ke suatu penginapan yang kerap didatangi Ajengan Acep A. Rijalulloh, dikenal dengan penginapan A Dian. Disana disediakan kudapan dan makanan. Sambil mendengarkan tausyiah dari Ajengan Acep. Tapi waktu itu saya kepengin makan di Masjid saja. 

"Aromanya akan membuat panca indera menyapa ruh kita, bawang merah membantu kita merasakan menangis, selain secara kesehatan bisa membantu membuang kotoran pada organ mata



Kyai Sandisi


Dapur yang terus menyala mulai dari seabad lebih ke belakang itu, adalah saksi sejarah. Kyai Sandisi (Wakil Talqin) pernah dimarahi Abah Anom Ra. di Madrasah, karena tak mau tinggal di Suryalaya. Seperti diceritakan sendiri oleh Kyai Sandisi dalam sebuah Manakib di Youtube. Marah Abah Anom saat itu cukup keras. Hingga membuat Kyai Sandisi menangis, dan ditenangkan oleh seorang pengkhidmat di dapur, begini kurang lebih kata-katanya:


"Bersyukur Acep disesel Abah, nyeselan ka setan nu nuturkeun urang," kata pengkhidmat tersebut.


Artinya: "Bersyukur Nak dimarahi Abah, memarahi syetan yang mengikuti kita."


Santap Jismani di Kediaman
H Baban Ahmad Jihad (salah satu putra Pangersa Abah Anom Ra.)



Abah Anom tahu Kyai Sandisi dipilih Allah berkhidmat di Suryalaya. Nama Kyai Sandisi melegenda di Suryalaya mungkin sepopuler Abu Bakar Faqih yang lama hidup semasa dengan Abah Sepuh Ra. Yang dikenal Macan Suryalaya atau mungkin sepopuler Ajengan Citungku, yang menulis kitab Bayanutasdiq. Kyai Sandisi juga menulis buku yang dikutip DR HJ Sri Mulyati dalam Peran Edukasi Tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah, dengan Referensi Utama Suryalaya. Menyusul judul bukunya akan saya sebutkan di sini.


Kebijaksanaan yang muncul dari pengkhidmat dapur umum yang menenangkan Sandisi Muda ini, bukti bahwa masakan bisa membuat seseorang berada di maqom ruh. Makanan itu adalah tanda Allah Maha Rahman yang paling mudah dirasakan hambanya. Mudah membuat orang bersyukur. Tapi kebijaksanaan yang dapat diambil dari makanan ketika kita tahu sedang memasaknya. Aromanya akan membuat panca indera menyapa ruh kita, bawang merah membantu kita merasakan menangis, selain secara kesehatan bisa membantu membuang kotoran pada organ mata. Pengkhidmat dapur akan mengetahui kapan sayuran yang akan segera membusuk, dan segera memasaknya, dan harus tahu di mana ia harus beli sayuran tersebut, memperhitungkan kesegarannya. Daging yang penyembelihannya atas nama Allah. Membagi makanan secara adil. 


Dapur menurut Syech Chisti juga adalah rumah sakit paling akrab dengan manusia. Tempat mendapatkan pelayanan kesehatan, dengan makanan yang bergizi. Karenanya perempuan yang paling bijaksana adalah ibu. Juga sebenarnya kesehatan ruh, makanan yang baik akan menciptakan kesehatan ruh. Seperti pengkhidmat yang menenangkan Sandisi Muda, dan sejak saat itu Kyai Sandisi tak pernah beranjak dari Suryalaya, terus melayani ratusan orang tiap hari untuk menerima Talqin Dzikirnya.


Dapur adalah pusat daya tarik jasmani bagian dari Karomah Agung Guru Mursyid. Menunya pun diatur oleh Guru tercinta. Guru Mursyid tahu sekali asupan gizi yang harus diterima murid-muridnya. Gizi paling utama adalah gizi Barokah dan kesederhanaan, hingga siapapun diharuskan makan kalau datang ke Suryalaya. 


Tak Ada Daging


Buka puasa saat itu saya dilayani dengan tempe goreng, telur dadar dan sayur kari buah terong. Pembagi nasi, dua kali menangkup. Satu kali tangkup untuk orang yang tak ingin terlalu kenyang. Tangkup kedua bagi orang yang bersyukur. Saya memilih tangkup kedua. Dan makan di kursi dekat dapur umum. Logika bodoh saya berkata kenapa tak ada daging. Itu yang membuat saya makan sahur di warung makan sekitaran masjid. Padahal menurut para ikhwan saat sahur justru disediakan daging.


Daging baik buat makan sahur dibanding berbuka. Saya menyesal tak mengikuti pelayanan makan Guru Mursyid secara penuh waktu itu. 


Ini adalah manqobah makan Abah Anom Ra seperti ditulis dalam Buku Penyembuhan Cara Sufi, meski tak menyebutkan nama Guru Sufi Besar yang terkenal seluruh dunia itu. Konon ia selalu memuntahkan makanan jika yang dirasakan teramat enak di lidah. Di kalangan ikhwan dikatakan Abah Anom Ra memang jarang menghabiskan makanan. Beliau bisa hidup hingga usia 96 tahun.


Enaknya makanan itu belum tentu sehat. Bagi Guru Mursyid makanan yang tidak habis bisa dimakan muridnya untuk mendapatkan berkah sehatnya. Jadi tidak mubazir. Makanan enak bisa membuat nafsu badani kita tak bisa berhenti makan. Menyesal juga tadi mengambil tangkup kedua. 


Tapi Guru Mursyid memang memanjakan Muridnya, makan enak dan amaliyah sedikit tapi tetap mendapat syafaat Surga.*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar