Minggu, 07 Mei 2023

BUKU-BUKU YANG SAYA BACA

Musyawarah Burung 

Syech Attar yang Membakar

M. Taufan Musonip



"Sufi Tarekat memang berfokus pada falsafah penderitaan. Bukan berarti mengajarkan keputusasaan. Penderitaan itu menyatu dengan waktu, Guru Mursyid akan mengajarkan kekuatan sabar yang benangnya jika kita lalui akan sampai pada jemari Allah.

 

Lukisan Karya Makbool Fida Husein
"Untitled" (2005).


I

Nama Hartojo Andangjaja melebur dalam wujud keindahan buku Musyawarah Burung yang ia terjemaahkan dari bahasa Inggrisnya. Padahal kerja terjemahan itu sebanding dengan kerja menulis karya sendiri. Hasil karya terjemaahan kalau bisa lebih indah dari karya yang diterjemaahkan. Agar bisa diterima masyarakat yang memiliki bahasa berbeda. 

Tapi Andangjaja tidak menulis nama di sampul buku yang diterbitkan oleh penerbit yang bisa dibilang cukup legendaris juga, yaitu Pustaka Jaya. Andangjaja menulis puisi, dan esai. Buku esai yang pernah ditulis yang pernah saya baca adalah Dari Sunyi ke Bunyi, ia menulis seluruh esainya dengan subjek "kita", mungkin karena dia seorang guru sehingga melibatkan pembacanya seperti seorang murid yang tengah menuntut ilmu, karenanya terkesan bernuansa lisani. Dalam satu bab ia bahkan membahas sastra lisan folk-rhyme yang biasa dilantunkan anak-anak Indonesia.

Pengetahuan mengenai sastra lisan (lihat: https://mtaufanmusonip.blogspot.com/2013/05/andangdjaja-dari-ketakteraturan-kepada.html?m=1) bisa jadi mempengaruhi strategi penerjemahan Andangjaja terhadap Musyawarah Burung. Sebuah buku yang memungkinkan bisa dibacakan pada khalayak, harus memenuhi unsur lisani, memperhatikan media penerimaannya yaitu pendengaran. Apa yang disampaikan melalui telinga harus mudah (cepat) dicerna otak, karena sifatnya yang selayang dan tak bisa diulang-ulang seperti kalau membaca buku. Pengaruh pengetahuan lisani membuat sebuah karya terjemahan menjadi mudah diselami, setidaknya begitu penilaian subjektif saya terhadap Musyawarah Burung. Bisa jadi keliru, tapi tulisan pembuka ini adalah apresiasi kepada kerja penerjemahan Andangjaja. Berkat kerja beliau saya mudah menyelesaikan buku tersebut bahkan kadang terlupa melakukan hadoroh, kebiasaan orang tarekat atau nahdiyin sebelum membaca kitab. Biasanya dengan hadoroh atau robithoh pada pengarang sebuah kitab tasawuf selain terbantukan pemahamannya juga merupakan adab kebiasaan. Bahasa sastra penerjemaahan yang indah dari Andangjaja melalaikan saya.


II

Sebenarnya dahulu saya pernah mencoba membaca buku Musyawarah Burung ini, tapi tidak meneliti siapa penerjemah dan penerbitnya. Dan tidak sampai selesai. Bisa jadi alasan kedua kenapa saya bisa menamatkan buku buah karya penyair penjual parfum ini karena kini saya tengah asyik menyelami dunia sufi tarekat. 

Saya terbantukan oleh budaya lisani dalam membaca karya sastra sufi. Saya mengibaratkan Burung Hudhud yang digambarkan sebagai burung perkasa kepercayaan Nabi Sulaiman As itu adalah Guru Mursyid yang mengajak ratusan jenis burung untuk terbang menuju Simurgh, burung tanpa awal dan akhir. Sebagai simbol Kebenaran Hakiki. Ilmu tentangnya oleh Attar disebut Pengetahuan Sejati. 

Cerita ini dimulai dengan ajakan Burung Hudhud kepada ratusan jenis burung untuk memulai perjalanan menuju burung Supraeksistensial di Gunung Vesuvius: Perlambang Ketuhanan. Seluruh burung harus mengatasi egonya terlebih dahulu sebelum mereka memulai perjalanan. Mereka mengalami dua kali fase ego. Ego itu dalam istilah sufi bersumber dari An Nafs berada pada titik Latifah Qolbi (Nafsu Lawamah, titiknya ada dekat di jantung, susu sebelah kiri) dan Latifah Nafsi (Nafsu Amarah, titiknya di bagian kepala di tengah ke dua alis), latifah lainnya yang bisa mendorong seorang salikun untuk lebih bergairah dalam ibadah ada latifah sbb: Qolab (Nafsu Rodhiyah, titiknya ada di bagian kepala atas), Khafi (Nafsu Mardiyah, titiknya di dekat susu bagian kanan atas), Ruh (Nafsu Mulhimah, titikny ada di dekat susu kanan bagian bawah), Akhfa (Nafsu Kamilah,  ada di tengah dada), dan Sirri (Nafsu Muthmainah,  di susu kiri bagian atas).

Dua fase pemberangkatan dan istirah di dekat tebing Gunung Vesuvius burung-burung menghadapi ego Amarah dan Lawamah. Namun fase istirah adalah fase pembersihan, Attar tidak lagi menyebut nama-nama burung (seperti fase pertama), burung-burung (hanya disebutkan burung pertama, kedua dsb) telah melebur ke dalam diri Hudhud. Fase istirah, adalah saat tubuh menghadapi perjalanan yang makin terjal dengan perasaan putus asa bisa mencapai eksistensi Simurgh. Akhir cerita hanya tiga puluh ekor burung tiba di haribaan Simurgh.

Tiap-tiap percakapan antar burung dengan Hudhud diselingi cerita-cerita alegoris semacam anekdot, umumnya cerita-cerita itu pendek-pendek tapi sangat berkesan dan simbolik. Rasa-rasanya setiap kata tak ingin dilewatkan dengan cepat di kepala. Anekdot panjang hanya terjadi dalam cerita Syech Sam'an bersama para muridnya pergi ke Yunani berdasarkan petunjuk mimpinya. Di sana Syech Sam'an terpedaya kecantikan seorang gadis Yunani beragama Nasrani dan berhasil menikahinya. 



Wujud Buku Musyawarah Burung
Di mana Nama Penerjemaahnya Hartojo Andangjaja melebur dalam Keindahan Isi Buku ini



Murid-murid Syech Sam'an kecewa karena Sang Guru beralih keyakinan menjadi Nasrani bahkan menjadi penjaga kandang babi. Mereka kembali ke kampungnya, seorang ulama yang menjadi tempat mereka mengadu akan peristiwa itu terjadi, menyarankan agar mereka kembali pada sang Syech dan mendoakan Gurunya kembali pada keyakinan semula. Maka kembalilah para Murid Syech Sam'an, dan mendoakan dengan penuh harap agar gurunya mendapatkan hidayah. Doa yang penuh harap itu langsung mendatangkan Nabi Muhammad Saw, dan menyadarkan sang budak cinta perempuan Yunani itu mau kembali ke kampungnya. Di tengah jalan Syech Sam'an teringat istrinya dan mendapat isyarah istrinya akan masuk Islam. Walau murid-muridnya sekuat tenaga melarangnya, Syech Sam'an tetap berkeras kembali menjemput istrinya. Benar lah di tengah perjalanan mereka bertemu, rupanya perempuan Yunani itu pun mencari dan menyusul suaminya dan akhirnya dia masuk Islam.

Cerita itu melukiskan tentang indahnya harapan. Dan Syech Attar memang membangkitkan banyak harapan kepada para Pejalan Ruhani kaum sufi di dalam buku ini. Buku ini bagai api harapan yang membakar. Bagi pembaca yang mengerti tentang dunia perjalanan sufi. Yang sejatinya memiliki misi melawan nafsu buruk yang mengisi Latifah Nafsi yang letaknya ada di kepala di tengah-tengah alis tadi yang bersifat hewani dan kebendaan, juga Latifah Lawammah yang bersifat eksistensial (ujub riya, sum'ah takabur karena ibadah dan amaliyah) selain dua latifah itu, An Nafs membangkitkan hasrat ibadah yang menjemput eksistensi Dzat Maha Berkehendak, sejatinya dalam diri manusia 5.5 Nafs kebaikan melawan 1.5 Nafs keburukan. Lawamah itu, akan baik sebagiannya jika 5 latifah lainnya cerlang bersinar dalam diri manusia.

Tingginya kekuasaan Latifah Nafsi membuat manusia memiliki sejuta alasan untuk tidak patuh kepada Penciptanya. Seperti Ayam hutan yang memuja batuan merah, burung merak yang selalu mendaku diri paling cantik, atau parkit yang mengaku paling indah suaranya, mereka membatasi diri pada cinta diri dan enggan mengorbankan apa yang dimilikinya untuk Allah. Sehingga antar eksistensi burung enggan berbagi, dan berperang memperebutkan wilayah kuasa. Hudhud hadir mendamaikan eksistensi antar burung dan mengabarkan keberadaan Simurgh yang sejatinya eksistensi Allah di mana burung tersebut digambarkan sebagai burung tanpa awal dan akhir.

"Semua Guru memiliki cara menyampaikan kebenaran," kata Attar dalam epilognya. Dan Attar pun menyebutkan nama gurunya pula. Attar tak pelak lagi murid dari Guru Mursyid tarekat. Attar juga berarti seorang Guru Mursyid. Nyatanya lewat seni sastra, Pecinta jalan ruhani mudah terbakar untuk bergerak melebur diri kepada akhlak Guru Mursyid. Menulis dalam alam perumpamaan memiliki sejuta kebebasan sekaligus keterbatasan yang dimiliki sebuah simbol yang dipakai. Jika menulis non fiksi seorang penulis terhambat oleh realitas kontekstual, fiksi pada realitas simbol. Akan tetapi fiksi lebih banyak memiliki ruang keleluasaan. Teringat Hadits Nabi Saw (selawat serta salam senantiasa tercurah kepadanya, Nabi yang Ummi, sebagaimana selawat Ummiyi) tentang dua bejana, bejana yang tersembunyi dalam fiksi bisa diungkapkan dalam alam mitsal, alam yang menurut ahli Profetik Abdul Hadi WM merupakan ruang antara eksistensi Ketuhanan dan yang transendental.  Contohnya adalah tiga cerita sbb:

1.

Seorang hamba mengakui sangat mencintai Rajanya. Maka ditanyalah si hamba oleh Sang Raja, "jika kau mencintai aku, kau akan membuktikannya dengan pengabdian hukuman penggal atau penjara? Si hamba memilih penjara. Raja memerintahkan Abdi Istana untuk memenggal si hamba, karena menurutnya kalau dia cinta seharusnya dia memilih hukuman penggal.

: Mitsal tentang falsafah cinta yang menautkan tentang pengorbanan cinta yang tak lagi rasional.

2. 

Tiga ekor kupu-kupu ingin mengetahui lezatnya eksistensi cahaya. Maka diutus kupu-kupu pertama pada sebuah puri yang ada cahaya lilinnya. Kupu-kupu itu hanya berputar-putar mengitari cahaya lilin dan ia merasakan hangatnya, maka ia kembali dengan mengatakan bahwa baginya rasa hangat sudah mencukupi pengetahuan tentang eksistensi cahaya. Tapi menurut mereka sayap dan bulu-bulu mereka pun sudah cukup menghangatkan. Pergilah kupu-kupu kedua dia sentuh sedikit sayapnya dan terbakar. Menurut kupu-kupu kedua eksistensi cahaya itu menyakitkan. Dan kupu-kupu ketiga sengaja membakar diri dalam lilin itu. Kupu-kupu itu justru merasa nikmat menyatu dengan api, dan alasannya dia sendiri yang tahu.

: Mitsal tentang cinta membara yang sangat subjektif orang hanya bisa merasakan cinta membara hanya kalau dia mencobanya menjadi budak cinta. Tentu budak cinta di sini budak cinta akan rasa cinta Yang Maha mencintai, seperti kalau kita melihat bodohnya seorang ahli amali tarekat yang memiringkan kepala ke kiri ke kanan saat berdzikir, orang itu tak akan bisa menjawab alasan nikmat dzikir seperti itu kecuali si penanya mencoba berdzikir gaya seperti itu. Sebagaimana murid yang cinta buta pada Guri Mursyidnya, ia tak bisa menjawab banyak alasan kenikmatannya, karena kenikmatan itu hanya bisa diserap oleh rasa (jiwa Dzauq). Akal dan bahasa tak mencukupi menjadi alat penjelasnya.

3.

Seorang Hamba disuguhi minuman sejenis teh oleh Raja tambatan hatinya, ia meminumnya dengan penuh kenikmatan. Namun ketika Raja mencoba teh tersebut, kenyataannya teh tersebut pahit bukan main. Maka Sang Raja bertanya, kenapa si hamba bisa merasakan manis. Si Hamba menjawab, "karena kecintaan hamba kepada engkau apapun yang kau beri akan terasa nikmat dan Indah.

: Mitsal tentang Allah itu maha berkehendak baik dan buruk kepada hambanya. Hamba yang beriman dalam maqom mencintai akan menerima pasrah kepahitan yang dikehendaki oleh Allah. Ia senantiasa menerima takdir Allah, dengan bersabar dan berharap Ridho-Nya.


III

Attar mencoba menyuguhkan bejana pahit Nabi Saw kepada pembaca agar pembaca memiliki pengetahuan, bahwa yang terpenting dari semua perjalanan hidup manusia itu adalah Ridho-Nya Sang Pencipta. Jika pahit Allah bisa membuatkanya terasa manis. Sufi tarekat memang berfokus pada falsafah penderitaan. Bukan berarti mengajarkan keputusasaan. Penderitaan itu menyatu dengan waktu, Guru Mursyid akan mengajarkan kekuatan sabar yang benangnya jika kita lalui akan sampai pada jemari Allah. Jika Guru Mursyid langsung menjanjikan kebahagiaan, ia menghapus ridho Allah pada setiap nafas hambanya.

Falsafah penderitaan ini memerlukan pengetahuan sejati yang menurut Attar adalah ilmu yang pengawalnya nikmat ibadah (sampai mengurangi jam tidur) dan puasa. Pengetahuan sejati tak kenal henti, ia terus berjalan hingga ajal. Tak henti karena kepuasan, atau suatu cobaan. Jika Tarekat tidak mengedepankan pentingnya cobaan dalam bentuk penderitaan, Murid yang tengah anteng menyelami hakikat beribadah akan terganggu dan bisa berburuk sangka kepada Allah. Karenanya Guru Mursyid meyakinkan bahwa justru penderitaanlah alat efektif mendekatkan hamba kepadaNya. Meskipun Allah berkehendak menurunkan cobaan kenikmatan, penderitaan memiliki penjagaan kewaspadaan yang lebih nyata ketimbang cobaan kenikmatan. 

Jika Nabi Saw menawarkan dua bejana pahit dan manis. Murid tarekat akan memilih bejana Pahit, yaitu bejana alam batiniah Al Qur'an. Yang menawarkan lautan zuhud dan qonaah, disertai ombak keberadaan Rasullullah, yang menjadi khirka para Guru Mursyid sebagai telingaNya orang-orang yang tertindas. Lautan zuhud itu adalah tempat berlayarnya semesta keberadaan menuju non keberadaan hingga mencapai eksistensi yang berkebalikan, sebagaimana keyakinan Isyraqi, dunia dan isinya adalah bayang-bayang Maha Ada. 

Dalam Musyawarah Burung eksistensi Maha Ada itu bisa dicapai melalu tujuh lembah:

  • Lembah Nafs
  • Lembah keinsyafan
  • Lembah Pembebasan
  • Lembah Pengetahuan Sejati
  • Lembah Keesaan
  • Lembah Keheranan dan Kebingungan
  • Lembah Keterampasan atau Kematian


Lembah-lembah itu perlambang maqom cinta yang melaluinya tentu memerlukan pengorbanan, hingga tinggal tiga puluh ekor burung saja yang sampai ke haribaan Yang Maha Hadir. Yang upaya melaluinya oleh Attar dilukiskan sangat indah sekali.

Salah satunya lukisan kata tentang Lembah Keesaan ini, sebagai penutup tulisan ini:

"Seseorang telah menerima tamu yang memberinya sesuatu yang berharga. Maka orang itu menolak, menurutnya yang berharga itu datangnya selalu dari Allah."

Orang seperti ini dikecam oleh Attar, karena bukti kita tahu hakikat Keesaan Allah adalah saat kita menerima apa yang diberikan Allah melalui makhluknya pula.

Sebagaimana Bunyi Ayat Suci Al Qur'an:


وَاَ نِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَاۤ اَنْزَلَ اللّٰهُ وَلَا تَتَّبِعْ اَهْوَآءَهُمْ وَا حْذَرْهُمْ اَنْ يَّفْتِنُوْكَ عَنْۢ بَعْضِ مَاۤ اَنْزَلَ اللّٰهُ اِلَيْكَ ۗ فَاِ نْ تَوَلَّوْا فَا عْلَمْ اَنَّمَا يُرِيْدُ اللّٰهُ اَنْ يُّصِيْبَهُمْ بِبَـعْضِ ذُنُوْبِهِمْ ۗ وَاِ نَّ كَثِيْرًا مِّنَ النَّا سِ لَفٰسِقُوْنَ


"Dan hendaklah engkau memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti keinginan mereka. Dan waspadalah terhadap mereka, jangan sampai mereka memerdayakan engkau terhadap sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah berkehendak menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Dan sungguh, kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik."

(QS. Al-Ma'idah 5: Ayat 49)*













Tidak ada komentar:

Posting Komentar