Sabtu, 13 Mei 2023

ESAI

Kenikmatan adalah Kunci 

Bukan Tujuan Ibadah

M. Taufan Musonip


"Ijtihad oleh kaum sufi tidak dimaknai dengan kerja falsafi tapi melalui ibadah.


Gambar diambil dari web
Mark Smith Ceramics



Kaum tua sehabis taklim kitab Tanbihul Ghofilin di Majelisnya Kyai Madro'i bincang-bincang soal ibadah haji. Mereka nekat ingin ke tanah suci dengan sepeda. Tentu becanda, tapi soal niat mereka ibadah haji sangat serius dan sudah didambakan sejak mereka muda. Di antaranya seorang ustad mengatakan, bahwa perjalanan sampai ke tanah suci bisa memakan waktu enam bulan dengan bersepeda. Mereka tak peduli dengan jarak tempuh itu, dan hanya memikirkan perbekalan apa yang akan dibawa. Dan yang paling penting adalah membawa tanda jalan yang akan disematkan pada benda-benda apa saja agar mereka tak kesasar. Mereka tak mengerti bahwa sekarang sudah ada GPS.

Ibadah haji itu soal panggilan. Bukan soal kesehatan dan biaya. Ini diceritakan dengan indah justru oleh Novelis Paulo Coelho, dalam The Alchemist. Tokoh Santiago dalam novel tersebut -sebagai simbol diri kebudayaan Barat yang akan mulai tercerahkan dengan belajar pada Kebudayaan Islam jaman terang- banyak mendapati orang pergi haji justru tak memiliki apa-apa, hanya keberanian, rasa cinta dan pertolongan Allah. Allah memanggil hambaNya yang penuh harap bisa tiba di Tanah Suci. Bukan yang memiliki uang.

Kyai Agus

Itu bisa dibuktikan setidaknya dengan hadirnya orang tua dalam taklim Kyai Madro'i. Nyatanya orang tua yang punya daya bisa bergerak ke majelis ilmu dibandingkan anak muda rata-rata usia mereka 60 tahun ke atas. Saya juga diantar Kyai Agus, ketua DKM salah satu masjid dekat rumah saya, yang umurnya sudah 53 tahun, juga salah satu pengikut TQN, yang senang sekali mencari ilmu. Suatu kali saya pernah mengeluhkan, jam pengajian di masjid beliau karena tabrakan dengan jam tawajuh selepas Subuh. Beliau mengatakan, datang ke majelis ilmu itu sama saja dengan bertawajuh.

Kalau ditanya kenapa orang tua masih semangat mencari ilmu, jawabannya ternyata bukan karena ingat mati. Mereka masih semangat menjalani hidup. Buktinya masih senang bercanda, dan tertawa-tawa. Menurut Abu Yazid Al Busthami orang yang digerakan di jalan Allah, karena memang Allah merahmati orang-orang soleh dan kerenanya selalu diberi pertolongan.

Ada ungkapan seperti ini dalam khazanah pengetahuan Abu Yazid:

"Ilmu tanpa hakikat adalah Hujjah. Sedangkan hakikat didapatkan dari Ilmu dan Ijtihad."

Dikutip dari Buku Maha Guru Para Sufi, Dr Abdul Halim Mahmud.


Ijtihad oleh kaum sufi tidak dimaknai dengan kerja falsafi tapi melalui ibadah. Dalam ibadah seorang hamba meminta IlhamNya. Ini adalah ubudiyah para wali. Kalau ibadah orang biasa tidak sampai meminta ilham, mendapatkan kenikmatan beribadah dan datang ke majelis Ilmu saja sudah senang sekali rasanya.

Kunci ubudiyah kaum sufi itu kenikmatan. Amaliyah Mursyid TQN, kurang lebih minimal 100 rokaat solat per hari. Syech Hakim Chisytiyah, dalam Buku Penyembuhan Cara Sufi mengatakan jika ibadah kurang dari 5 jam perhari, belum bisa dikatakan ibadah sufi. Sedangkan Ajengan Citungku dalam Bidayatus Salikin, dzikir kaum sufi itu minimal 3000 kali tahlil setiap hari. Capaian itu bisa dilalui kalau ada rasa nikmat di dalamnya, seperti para orang tua di Majelis Kyai Madro'i tadi hingga seorang salik lupa kekuatan badannya sendiri. Lupa akan waktu makan dan lupa rasa lelah.

Nikmat itu Eksak

Akan tetapi masih menurut Syech Abu Yazid Busthami, kenikmatan itu masih bersumber pada hawa nafsu. Ilham itu beliau dapatkan ketika tengah malam musim dingin membawakan sewadah air atas permintaan ibunya, sampai ranjangnya ibunya sudah tertidur kembali, sampai ibunya terbangun dia menjaga bejana air sambil berdiri. Waktu itu ia merasakan nikmat tiada tara mengagungkan ibunya, sampai saat ia serahkan bejana airnya kulit telapak tangannya yang terkelupas jatuh ke dalam air bejananya. Ia merasa kenikmatan yang ia alami saat itu masih bersumber dari hawa nafsu.

Sama halnya dengan Ibn Atthailah As-sakandari dalam kitab Al Hikam, nikmat bukan tujuan ibadah. Tujuan ibadah itu Ilahi Anta Maksudi Wa Ridhoka Mathlubi, hingga saat malas melanda dan goflah pun, salik tetap senantiasa berdzikir. Nikmat itu eksak, Ridho itu cinta.(*)






Tidak ada komentar:

Posting Komentar