Minggu, 21 Mei 2023

ESAI

 Istilah Jawara dalam Dunia Tarekat

-Dari Ajengan Sirojudin ke Pak Nursamsi

M. Taufan Musonip


"Kehadiran seorang jawara, bisa mengganggu stabilitas sebuah Negara jika ia melebur dalam eksistensi premanisme. Jika tidak, jawara hanya ingin mencari lawan, yang membuatnya akan dikenal sebagai jago kalau kerap memenangkan pertarungan.  Mereka juga biasa mencari lawan sepadan ke pesantren-pesantren. Pesantren juga merupakan kantong-kantong kekuatan beladiri.

 

Karya Fotografi, buah tangan Thomas Zimmerman
"Stormy Homestad Barn"

"Dahulu tidak ada istilah preman, yang ada jawara." Ujar Ajengan Sirojudin Ruyani Wakil Talqin Abah Anom Ra. Dari Banten.

Apa bedanya jawara dan preman? 

Dalam KBBI jawara bertaut dengan kata jagoan atau pendekar. Sedangkan preman bertaut dengan frasa non-militer, atau pada kata sipil, swasta dan partikelir. 

Sebenarnya kriteria Jawara juga disarikan dalam Al Hadits sebagai orang yang jika berkendara sendirian di padang pasir maka yang ditakuti hanya Allah. Dalam buku Maha Guru Para Sufi: Kisah Kearifan Abu Yazid Al Busthami, penantangan rasa takut itu dinisbatkan pada kata Mujahadah. Seorang sufi yang berjihad ia tak bedanya dengan seorang prajurit tempur dalam soal keberanian. Seperti halnya Uwais Al Qorni yang membantu Khalifah Abu Bakar Assidiq, dalam perang Siffin.

Dalam Al Qur'an istilah jawara dapat dihubungkan dengan istilah Syaja'ah Nafsiyah pada QS Al Anfaal 15-16. Yaitu tentang keberanian kaum muslim dalam menegakkan kebenaran meskipun menghadapi resiko berat baik dalam bentuk pengucilan maupun hukuman.


Pak Nur

Cerdas sekali Ajengan Siroj mengumbar istilah jawara dalam manakib Rawa Lintah pada hari Ahad 23 Syawal 1444H (14 Mei 2023). Beliau orang Banten yang memang dikenal daerah yang melahirkan para jawara, sebenarnya juga Bekasi. Bekasi melahirkan para jago, jago ini adalah pendekar yang paling ditakuti, biasanya lahir dari budaya masyarakat perkebunan yang tinggalnya menetap daripada pertanian yang nomaden. Salah satu jejak kalau Bekasi adalah daerah para jawara bisa dilihat dari teater rakyatnya yang masih terjaga sampai sekarang, yaitu Sandiwara Topeng. Banyak kalangan jago silat memainkan peran di dalamnya.

Istilah jawara juga dikaitkan dengan bahasa. Jawara itu memakai bahasa kasar. Tidak mengenal undak-unduk seperti bahasa kesultanan. Di Banten menikahkan anak -yang dalam bahasa lentong sunda: ngawinkeun- disebut ngéwékeun. Para Jawara itu memelihara bahasa pesisir yang egaliter. Kalau dibawa ke jaman modern seperti bentuk ketakteraturan yang mengandung perlawanan. 

Kehadiran seorang jawara, bisa mengganggu stabilitas sebuah Negara jika ia melebur dalam eksistensi premanisme. Jika tidak, jawara hanya ingin mencari lawan, yang membuatnya akan dikenal sebagai jago kalau kerap memenangkan pertarungan. Mereka juga biasa mencari lawan sepadan ke pesantren-pesantren. Pesantren juga merupakan kantong-kantong kekuatan beladiri.


Suasana Manakib Sy. Sulthon Aulia Rawa Lintah 23 Syawal 1444 H,
nampak Ajengan Sirojudin Ruyani tengah memberikan Hikmat Ilmiyah


Dalam perjalanan lanjutan menimba ilmu ke Suryalaya pada beberapa waktu lalu, saya ditakdirkan bertemu Pak Nursamsi, seorang ahli tulang (cukup masyur di wilayah Cikarang dsk, ahli menyembuhkan patah tulang dan keseleo) dan juga guru senam pernafasan. 

Saya diajak menemui Pangersa Umi (Hj. Yoyoh Sofiah istri Pangersa Abah Anom Ra.) langsung di teras kamarnya melalui ajudannya yang biasa berjaga selepas jamaah solat subuh dan berziarah. Entah kenapa sang ajudan begitu respek kepada Pak Nursamsi ini, selain memberi keleluasaan bertemu Pengersa Umi, kami juga disediakan sarapan yang terpisah waktu dan jamuannya dengan jamaah lain. 

Menurut Kyai Agus Basuki, mentor saya yang selalu berkenan membawa saya dari satu pengajian ke pengajian lain di Sukatani, Pak Nursamsi memang salah satu orang dekat Abah Anom Ra. karenanya juga mewarisi keahlian senam pernapasan. Ini penting, sebab latihan pernapasan itu adalah salah satu inti riyadhoh kaum sufi, seperti disebutkan dalam beberapa buku karangan kaum sufi di antaranya: Buku Penyembuhan Cara Sufi, Maha Guru Para Sufi, dan juga ada selintas dalam Mantiq At-thair

Dalam praktiknya riyadhoh nafas ada dalam tawajuh dzikir khofi, dan secara umum dalam pembacaan Al Qur'an, panjang pendeknya suatu vokal hurufi di dalamnya merupakan latihan pernapasan. Napas dalam istilah sufisme bukan sekadar menarik oksigen ke dalam badan tetapi juga menarik makna eksistensi Sang Ada ke dalam jiwa. Jika memang senam pernapasan yang biasa diampu oleh Pak Nursamsi adalah warisan dari Guru Mursyid, berarti merupakan kewajiban para muridnya untuk melestarikannya dan mengambil maknanya. 



Sosok Pak Nursamsi
(paling kiri, memakai baju hitam)
Saat berkunjung ke rumah KH. Zaenal Abidin Anwar.


Pak Nursamsi juga bisa disebut seorang Jago dengan keahliannya sebagai seorang ahli senam pernapasan. Menurut Kyai Agus, penapasan ini ada hubungannya dengan tenaga dalam, karena tak ingin menyalahi tujuan makna napas di atas tadi, jadi istilah tenaga dalam yang biasa dipercaya para ahli hikmah dan para pendekar sebagai salah satu kekuatan weduk, olehnya sengaja tidak diekspos. Tapi jauh sebelum TQN Suryalaya mengenal Pak Nursamsi, banyak murid Abah Anom Ra. dan Abah Sepuh Ra. adalah para jawara. Mereka datang ke Suryalaya ingin menguji keahlian tarung mereka.

Diceritakan Abah Faqih (KH. Abu Bakar Faqih) menemui Abah Sepuh, karena ingin menguji kesaktian Guru Mursyid TQN itu, bukannya dilayani adu gelut, Abah Faqih yang dikenal berjuluk Macan Suryalaya itu malah dibiarkan saja, hingga suatu malam ia merasa berkelahi dengan Abah Sepuh, tapi pukulannya sering mengenai angin jika pun kena sasaran malah tangannya yang mengalami bengkak. Esok harinya ia bertanya kepada orang-orang di Suryalaya tentang adu pukul itu, tak ada yang tahu. Dan Abah Sepuh pun tak pernah merasa berkelahi dengannya dan berkata:

"Semalam pangersa melawan hawa nafsu sendiri, karenanya pukulan yang mengena, berhasil menghantam tembok-tembok masjid." Seketika Abah Fakih tersungkur, dan bertaubat. Dan dibaiat menjadi Pengikut TQN. 

Lain halnya dengan Pengersa Ajengan Suhrowardi atau lebih dikenal dengan Ajengan Citungku, sengaja membawa seekor kambing dari desanya menuju Suryalaya hanya untuk menantang Abah Anom Ra. Kali ini bukan hanya soal adu silat tapi juga adu ilmu. Ajengan Citungku membawa 28 pertanyaan Agama kepada Abah Anom, jika tidak berhasil dijawab Guru Mursyid Kamil mu Kamil itu ia akan syukuran potong kambing. Selain pertanyaan berhasil dijawab bahkan sebelum si penantang bertanya, Ruh Ajengan Citungku ditaruh di Langit Jabarut hingga terpesona, dan terus tawajuh hingga dibangunkan Abah Anom, karena merasa terganggu ia memukul Guru Mursyid yang memang pernah mesantren Ilmu silat itu, tapi pukulannya tidak ada yang mengena. Dengan kitab Bidayatusalikin dan Bayanutasdiq yang ditulisnya ia mengabdi sebagai murid TQN Abah Anom Ra.

Pak Nzen

Seorang jawara dinilai jago juga bukan hanya berhasil mengalahkan jawara lainnya. Tapi juga berhasil mengalahkan hawa nafsunya seperti saat Abah Sepuh menghadapi Pemerintah Belanda karena dicurigai melakukan pemberontakan dengan mulanya menuduh Suryalaya sebagai pusat kesesatan Islam, berikut dialognya saya kutip dalam buku Tanbih dari Masa ke Masa:

OB (Opsir Belanda): katanya kamu melarang orang solat?

AS (Abah Sepuh Ra.): Iya benar, melarang solat kepada perempuan yang sedang haid.

OB: Oh, kalau itu benar.

OB: katanya kau mengajarkan kesaktian tak mempan bacok?

AS: Iya dengan kesalehan, sehingga siapapun tak ada yang berkenan mengajak berkelahi.

Akhirnya Opsir Belanda tak berkutik dan menghentikan penyelidikan. Dan Suryalaya bebas dari ancaman Pemerintah Belanda. Dalam buku yang sama juga diceritakan, bukan tanpa tantangan Suryalaya berdiri seabad lebih hingga sekarang. Pada awal-awal berdirinya Abah Sepuh pun pernah dipenjara Pemerintah Kolonial. Cerita di atas bukan berarti Abah Sepuh pengecut, beliau mampu mengendalikan emosinya demi keselamatan murid-muridnya dan menjalankan strategi agar pesantrennya bisa bertahan.

Selepas bertemu Pangersa Umi, Pak Nur mengajak kami ke kediaman Pak Nzen (KH Zainal Abidin Anwar), salah seorang Wakil Talqin dan pengemban Amanah TQN yang masih tersisa. Kami bergantian meminta doa kabulnya hajat-hajat kami. Usianya 95 tahun, berdasarkan penuturan dari anak laki-lakinya yang menyambut kami, beliau juga turunan dari keluarga Jawara dari pekalongan yang dinikahkan dengan salah satu putri Abah Sepuh Ra. Saat selesai berdoa kami menangis, walau Pak Nzen tidak bicara, sepanjang kami bertandang, hanya membacakam Al Fatihah. Yang membuat kami menangis adalah Ibunda (istri Pak Nzen) yang berpesan senantiasa melantunkan Selawat Bani Hasyim dan segera menqodo dzikir jahar 165 jika pernah tak sempat melakukannya selepas salat fardu.

Kami menangis entah kenapa. Kami saat itu seperti sedang mendengarkan nasihat dari ibu sendiri.(*)


Foto-foto:


Sosok Ajengan Sirojudin Ruyani sebelum Manakib Rawa Lintah,
didampingi Ustad Arwan, LDTQN Kec. Gabus (kiri) dan Pemangku Manakib H. Ateng Sardi (kanan)


Salah satu pojok rumah Pak Nzen, ada Lukisan Abah Anom yang unik dengan senyum mengembang dan terkesan lebih karikatural.


Ketika kami berada di teras kamar Pangersa Umi, gambar paling dominan di foto ini adalah Kyai Agus Basuki mentor Penunjuk dari Pengajian ke Pengajian di Sukatani dan sekitarnya


Sosok Pak Nursamsi (kiri) si Ahli Tulang dan Jago Pernapasan


Saya meminta doa hajat kepada Pak Nzen


Pak Nur dan Rengrengan, Saya berbaju Coklat.















Tidak ada komentar:

Posting Komentar