Senin, 01 Mei 2023

ESAI SASTRA

Sastra Profetik sebagai Jalan Tengah untuk Menggantikan Riyadhoh Sufi dengan Falsafi Sufi dan Literatur Barat

M. Taufan Musonip


Lukisan Karya
Corrine Geerstone



"Sastra Profetik juga bentuk kejeniusan kelompok ini untuk menghindari sastra sufi dari mekanismenya yang genial. Jika tidak ingin menyebut usaha mencabut sastra sufi dari substansinya. Puisi sufi adalah gambaran jiwa dzauq penulisnya dari hasil riyadhoh.

 

I

Jika kita tak menyukai makanan yang serba direbus, atau dipanggang. Maka boleh lah kita memilih makanan yang digoreng. Kita menyebut pilihan itu sebagai jalan tengah. Sebuah usaha menentramkan dua pilihan lain yang dianggap ekstrem.

Sastra Profetik itu jalan ummatan wasathon dari perkembangan sastra Islam. Esais yang membahas Sastra Profetik yang paling dikenal oleh publik adalah Kuntowijoyo, beliau -seperti ditulis oleh Abdul Hadi WM dalam buku Hermeneutika, Estetika dan Religiusitas -Esai-esai sufistik dan Seni Rupa (HER), pernah memberi paparan mengenai etika profetik yang tentu ingin memberi pengaruh atas perjalanan sejarah sastra Islam. 

Meski Kuntowijoyo dan Abdul Hadi. WM kerap membawa unsur sufisme dalam karya-karyanya, mereka lebih menyukai istilah sastra profetik dibanding sastra sufi. Di Indonesia, Sastra Sufi itu hanya dibatasi untuk karya-karya klasik saja. Setidaknya hingga Hamzah Fansuri. Karya-karya setelah itu lebih sering disebut Sastra Profetik. 

Kenapa Abdul Hadi tidak menyebut Sastra Islam atau Sastra Sufi secara gamblang untuk menyebut karya-karya Danarto atau Sutardzi Calzoum Bahri? Mungkin sepertinya di lain sisi karya-karya Taufik Ismail, Helvi Tiana Rosa, Abidah El Khalieqi atau Habiburahman Shirazi, orang bisa menyebutnya dengan berani sebagai penulis sastra Islam. Dan memang dalam buku HER, nama-nama tersebut tidak dijadikan rujukan historiografi sastra profetik setidaknya dalam bab awal, Sastra Profetik: Relevansi dan Jejaknya dalam Karya Modern. Lihat judul bab tersebut, Abdul Hadi jelas sekali menyebut Karya Modern. Istilah modern itu merupakan usaha mengambil jalan tengah Sastra Islam dan Sastra Sufi sembari melengkapi khazanahnya dengan Pengetahuan Sastra Barat untuk menyebut istilah Sastra Profetik, bersama Kuntowijoyo -salah satu buku yang saya baca mengenai Sastra Profetik adalah Muslim Tanpa Masjid-, keduanya menyebut nama-nama seperti TS. Eliot, Gadamer, Goethe hingga Imanuel Kant.


II

Sastra profetik mengambil gema ketuhanan Barat dan Timur, tapi nuansa yang diambilnya adalah sufisme, tidak mengambil haluan sastra Islam sebagaimana kelompok Helvi Tiana Rosa tadi yang lebih skripturalis. Saya menyebutnya begitu, karena tidak lebih substansial jika harus menyebutkan karya-karya Danarto, Sutardji Calzoum Bachri, Bahkan Puisi-puisi Abdul Hadi sendiri. Dan saya tak perlu membandingkannya di sini, spektrum pembahasan saya bukan di situ.

Sastra Profetik juga bentuk kejeniusan kelompok ini untuk menghindari sastra sufi dari mekanismenya yang genial. Jika tidak ingin menyebut usaha mencabut sastra sufi dari substansinya. Puisi sufi adalah gambaran jiwa dzauq penulisnya dari hasil riyadhoh. Hamzah Fansuri adalah pengikut tarekat Qodiriyah, sementara penyair setelahnya yang menurut Abdul Hadi terpengaruh oleh Penyair Besar dari Barus itu yaitu Amir Hamzah merupakan pengikut Tarekat Naqsabandiyah. Untuk masa modern ini penyair manapun yang menulis puisi yang bernuansa mabuk cinta akan Ketuhanan, ia akan disebut penyair profetik. Karena istilah tarekat yang mulai jauh dari masyarakat, tarekat dianggap banyak orang Islam sebagai komunitas anti ilmu pengetahuan dan dunia. Mekanisme penciptaan jiwa dzauq digantikan dengan falsafi-falsafi ekstase sufi dalam buku-buku sufisme, spritualitas dan eskatisme Barat yang seolah memberi kritik terhadap sufisme sendiri dengan mencanangkan istilah Struktural Trensenden. Puisi Profetik harus bermakna bagi budaya dan politik masyarakat. Jika tidak puisi akan mati, seperti nasib Wasripin dalam Novel Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo.

Puisi sufi mandek sejalan dengan matinya Wasripin di lapang strukturalisme Kuntowijoyo. Siapa berani hidup di luar struktur ia akan mati dengan sendirinya. Profetik tidak mempercayai riyadoh perjalanan seorang sufi yang menguatkan jiwa manusia introvert sekaligus sebenarnya dohirnya. 


Foto Epik saat Gus Dur Mencium Tangan Abah Anom Ra.


Riyadhoh perjalanan sufi masih ada dan di lakukan di abad modern ini, sebagaimana Uwais Al Qorni, yang mengembara di Padang Pasir tapi ketika Abu Bakar Menghadapi Perang Siffin beliau datang membantu (Buku Kebijaksanaan Orang Gila), misalnya riyadhoh perjalanan KH Kankan Zulkarnaen putra Syech Mursyid Tarekat Qodiriyah Naqsabandiyah Abah Anom Ra. Berangkat berjalan kaki dari Suryalaya-Banten PP dengan melantunkan Selawat Bani Hasyim, selawat legendaris TQN yang ijazahnya didapat dari Syech Kholil Bangkalan yang diberikan kepada Abah Sepuh, kakek dari KH Kankan. Orang yang sudah pernah mengalami riyadhoh perjalanan seperti ini bisa didatangi untuk dimintai hikmah kebijaksaanannya. Sebagaimana Khalifah Harun Al Rasyid dahulu selalu mendatangi kaum sufi di luar struktur untuk memeroleh kebijaksanaan. Sehingga khazanah kepemimpinan dalam Sufisme selalu indah didengar baik dalam syair-syair, anekdot maupun puisi-alegoris macam Musyawarah Burung karya Fahriduddin Attar itu. Pemimpin politik yang meminta masukan kepada Syech Mursyid misalnya ada Abdurachman Wahid sebelum beliau jadi Presiden. Kalau tidak salah beliau ingin meminta restu menjadi Ketua NU, saat itu Abah Anom berkata:

"Jika Gus Dur memaafkan dengan tulus semua orang jangankan jadi Ketua NU, Presiden pun bisa." Belum lama setelah itu, Gus Dur jadi Presiden. 


III

Ulama dan Guru Mursyid oleh politisi didatangi kini hanya untuk minta restu jabatan politik, bukan menimba ilmu kebijaksanaannya. Dan penyair?

Siapapun bisa membuat puisi sufi, tanpa harus menjalankan riyadhoh tarekat seperti Hamzah Fansuri atau Amir Hamzah, bahkan bisa nampak lebih mabuk dari keduanya, bedanya kaum sufi selain ia pandai menulis sajak isyarah tentang pengalaman religius mereka memiliki ahlak yang baik. Jadi dalam khazanah penyair sufi huruf itu perlambang hirup dan hurip. Dalam puisi sufi tak ada istilah penyair dan teks yang berjarak. Jika mereka tak harus menulis puisi pun sebenarnya tak apa, yang terpenting mereka merasakan kedekatan dengan Tuhannya. Menulis puisi dalam lingkungan sufi adalah amaliyah muamalah, ilhamnya diambil dari amaliyah ibadah yang membentuk pribadi jamaliyah (baca: indah) melihat realitas. Terutama dzikir tawajuh, dzikir menghadapi cermin ilahiah dalam dada sebelah kiri di detak jantung.

Tarekat memiliki mekanisme dan metode menangkap ilham ke dua arah yaitu ahlakul karimah dan kreativitas. Titik pusatnya yaitu kenikmatan ibadah. Jika Abdul Hadi.  WM mengatakan solat dan dzikir bisa membuat seorang penyair mudah mendapat Ilham. Bagaimana bisa mendapat ilham jika penyair tak tahu di mana letak kenikmatan beribadah hingga mabuk (ekstase)?

Tentunya bagaimanapun jasa sastra Profetik di tangan Kuntowijoyo dan Abdul Hadi. WM juga sastrawan lainnya sangat besar dalam menjaga dan melestarikan wacana sastra sufi dalam gelombang besar sastra Indonesia Modern.(*)







Tidak ada komentar:

Posting Komentar