Jumat, 05 Mei 2023

DARI PUSARA KE PUSARA

Orang Dimabuk Cinta Itu Masih Ada 

---Ke Makam Syech Kudus Janapura

M. Taufan Musonip


"Pengetahuan sastra lisan itu pemecah kebuntuan suatu tulisan yang bersumber pada tulisan pula. Tulisan itu terbatas, sepanjang apapun dia menjelaskan sebuah kenyataan.


Lukisan Karya Tomas Shancez (Cuba)
"Waiting (1948)"




I

Salah satu Wakil Talqin Abah Anom Ra. Pada kesempatan manakib pernah berkata, bahwa sufi itu para Wali dan Guru Mursyid. Sedangkan pengikutnya tak lain sekadar ikhwan tarekat. 

Rasa bangga dalam perjalanan tarekat adalah duri. Ia masih mengandung ego. Itu benar, dan rasa-rasanya jiwa sufi itu sulit lagi dicari. Banyak tarekat-tarekat musnah, dan Guru Mursyid tak lagi mengangkat murid kepercayaan sebagai penggantinya. Padahal dari tarekat-tarekat ini lahir para wali, mereka membina umat. Lewat syair atau kemampuan sebagai konselor. Para Wali itu dekat dengan orang susah. Mereka adalah telingaNya orang yang tertindas. 

Para Wali itu pun tak mengikrarkan diri sebagai wali, mereka menjadi wali karena pengikutnya dan Wali lain mengetahui maqom walinya. Dalam perjalanan ke Syech Kudus Janapura di Pantai Sedari, salah satu mentor saya Ustad Taufik mengenyahkan pertanyaan rendah saya, tentang kriteria seorang wali. Ia bertanya hal mendasar dengan jawaban yang sangat diperlukan oleh saya si bodoh ini,

"Apa kah menjadi seorang wali, wajib hukumnya?"

Ia jawab, wajib. Tapi bukan derajat walinya yang dikejar, melainkan menjalankan amaliyahnya secara serius mendalam dan khusyuk.

Kemudian dia bertanya lagi,

Apa ciri seorang wali itu?

Beliau jawab sendiri, ia yang sudah hilang rasa khawatirnya, tak kenal lagi rasa takut, bila ia mendapatkan kesenangan dan kesedihan, dia akan menerimanya dengan sikap yang sama.

Nabi Muhammad Saw (selawat serta salam senantiasa tercurah kepada nabi kita yang ummi, sebagaimana selawat ummi), pernah mengalami tahun kesedihan, perjalanan bersama Jibril ke Sidratul Muntaha dan ke Masjidil Aqsa membuat Beliau terhibur. Tak tenggelamnya beliau dalam kesedihan berlarut-larut, karena beliau memiliki Guru Mursyid, yaitu Malak Jibril yang menemaninya menuju haribaan Allah Swt.

Guru Mursyid adalah hiburan bagi kesedihan sekaligus kewaspadaan murid-muridnya akan rasa bahagia. 


II

Ciri akhlak seorang sufi itu mabuk cinta. Kata-katanya indah dan syarat dengan perumpamaan. Seperti Bang Sanin, mentor ziarah ke dua saya berkata, jika sedih dan bahagia sudah melebur, kenapa tidak pilih rasa sedih. Sebab itu menurutnya pangkal rasa cinta yang terus bertumbuh kepada Yang Dicintai. Perpisahan lebih baik dari pertemuan, lapar lebih baik dari kenyang, pergi berziarah dan menuntut ilmu dengan membelah hutan dan menantang ketakutan lebih baik daripada sendiri dan terhina lebih mulia daripada berkedudukan. Ini ungkapan mabuk cinta yang tak bisa ditangkap oleh orang-orang yang terbiasa membaca kata secara lahir.


Dua Mentor saya Ustad Muhammad Taufik
(kiri) Bang Sanin (tengah) di Pelataran
Maqom Syech Kudus Janapura Pantai Sedari
.


Jadi orang dimabuk cinta itu masih ada, hanya beralih ke dunia lisan dalam tarekat, yang mendidik kaumnya selalu rendah hati. Karenanya pegiat sastra Islam sulit menemukan si mabuk cinta ini dan mengambil jalan tengah pada Sastra Profetik, Sastra Sufi hanya ada pada karya-karya klasik. Tapi jika penyair atau sastrawan mau datang menyelam kelautan tarekat yang masih ada di Indonesia, orang dimabuk cinta itu masih bisa kita temui untuk dijadikan ilham dan bukan tidak mungkin akan ada keberlanjutan hidupnya sastra sufi. Selami lisannya, Hartojo Andangjaja dalam bukunya dari Sunyi ke Bunyi menyelami sastra lisan anak-anak, sajak-sajaknya pun enak dibacakan dalam komunitas, berikut contoh sajaknya:


DARI SEORANG GURU KEPADA MURID-MURIDNYA


Adakah yang kupunya, anak-anakku
selain buku-buku dan sedikit ilmu
sumber pengabdianku kepadamu.
Kalau hari Minggu kau datang ke rumahku
aku takut, anak-anakku
kursi-kursi tua yang di sana
dan meja tulis sederhana
dan jendela-jendela yang tak pernah diganti kainnya
semua padamu akan bercerita
tentang hidupku di rumah tangga

Ah, tentang ini tak pernah aku bercerita
depan kelas, sedang menatap wajah-wajahmu remaja
horison yang selalu biru bagiku
karena kutahu, anak-anakku
engkau terlalu muda
engkau terlalu bersih dari dosa
untuk mengenal ini semua


Dengan pengetahuan sastra lisannya beliau pun berhasil menerjemaahkan Buku Mantiq At-Thair dari Bahasa Inggrisnya. Buku itu nikmat diselami. Pengetahuan sastra lisan itu pemecah kebuntuan suatu tulisan yang bersumber pada tulisan pula. Tulisan itu terbatas, sepanjang apapun dia menjelaskan sebuah kenyataan. Maka dalam tradisi Aswaja, kehadiran guru itu sentral bagi hidup dan lestarinya kitab-kitab. Kitab itu menghidupkan pengarangnya abadi, ilmunya diwariskan kepada para muridnya -karenanya menjadi amal jariyah. Dan muridnya kelak akan menggantikannya. Jadi buku dalam tradisi Indonesia juga menciptakan komunitas masyarakat dan perpustakaan. Lisan dan tulisan. 

Nah, sastra sufi itu pun masih ada, ia eksis dalam bentuk lisan. Seperti mabuknya Bang Sanin mengantarkan sebagian nasi dan loteknya kepada orang gila sambil berkata:

"Orang gila lebih mulia dari kita, dia tak pernah minta-minta." 

Memang sebelumnya orang gila itu terlihat mencari makanan di gundukan sampah. Dan sebelumnya seorang Bapak datang menghampiri kami ingin memberi orang gila itu makanan juga. Tapi urung karena Bang Sanin lebih cekatan. Ternyata orang Indonesia di Pelosok masih mencintai orang gila. Orang gila itu sumber spritualisme kata filsuf Foucault, mereka tak berarti karena orang-orang waras mendirikan rumah sakit jiwa.


III

Sastra sufi itu masih ada, di lautan tarekat ini. Mereka pada di mabuk cinta. Seperti ada seorang peziarah mendatangi kami dengan berkata, kalau sudah diundang, makam wali di sudut manapun di negeri ini pasti kutemukan. Dia sudah berziarah kemana-mana, katanya. Kecuali wali-wali di kalimantan. Kami bertiga ingat Syech Khotib Sambas, Muassis Tarekat Qodiriyah Wa Naqsabandiyah di Indonesia.

Kalau orang berziarah berbekal bahasa badani, apa yang diutarakan bapak itu tentu sangat aneh, mana ada orang mati mengundang orang hidup? Padahal dalam Al Qur'an orang salih dengan derajat Aulia sebenarnya hidup abadi. Orang mati mengundang orang hidup melalui ilmunya, sehingga peziarah merasa benar-benar dipanggilnya untuk muhasabah dan dalam Al Hadits dikatakan "Berziarah itu melembutkan hati," bagaimana bisa mencintai kalau hati ini keras.

Mabuk cinta kaum sufi itu masih ada, mereka seperti dalam buku Musyawarah Burung:

Melebur dalam sayap hud-hud menuju Simurgh. Mereka sudah melupakan dirinya sendiri, mati sebelum raganya mati. Seperti seorang pemabuk yang keluar dari majelis para darwis, ia sudah memuntahkan semua isi perutnya dan akan datang lagi meski harus berkorban harta dan nyawa. Sebab anggur kaum sufi itu tak ternilai harganya.

Orang dimabuk cinta kepada Allah itu masih ada, datanglah ke dalam majelis-majelis tarekat. Siapkan akal, ruh dan badan Anda untuk mengerti berbagai ungkapan mabuk cinta mereka. Telaah dengan penuh perasaan (Dzauq)*


Gambar Epik Dua Mentor Saya,
Tengah Berbincang Santai sebelum Musyafahah ke Maqom.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar