Rabu, 03 Mei 2023

ESAI

Tertembak Pistol Ilahi Anta Maksudi Waridhoka Matlubi

-Falsafah Cinta Kaum Sufi

M. Taufan Musonip


"Petualangan cinta adalah petualangan cahaya, seperti laron-laron yang terus mencari cahaya yang lebih besar lagi di malam hari. Pejalan harus terbakar dalam Api sang Baqa, terbakar karena cinta.


Instalasi Keramik didapat dari Web:
Mark Smith Ceramics


Bila kita ingin membuka pintu filsafat cinta kaum sufi, kuncinya ada di dalam pengalaman. Mungkin senada dengan kredo ini: pengalaman adalah guru terbaik. 

Pengalaman itu lautan, sungainya adalah perjalanan, muaranya adalah ilmu. Jadi jika muara ilmu mengatakan amalkan ilmu tentang sesuatu, tenggelam lah di arus sungainya, ringankan badan kita seperti mayat. Ikuti arusnya hingga ke laut.

Perumpamaan tentang mayat itu berafiliasi pada kata sami'na waato'na. Seperti saat Abu Bakar mengatakan:

"Jika Baginda Nabi katakan suatu tembok itu putih, padahal kita melihatnya hitam. Aku tetap katakan itu putih."

Kata-kata itu menjadi penguat jiwa Nabi yang tengah diolok-olok kafir Quraisy tentang perjalanan Isra dan Mikrajnya Beliau (selawat serta salam senantiasa tercurah kepadanya, Nabi yang Umi). Olehnya Abu Bakar mendapat julukan As Siddiq. 


Keindahan

Para sahabat Nabi Saw tidak seperti sahabat Nabi Musa dan Isa As. Di mana pikiran selalu dilambangkan bagai asap dari api cinta mereka kepada Nabi Saw. Di mana datang api, maka asap akan menghilang. Kaum hawariyun pernyataan kesetiaannya setelah mereka mendapatkan jamuan makan dari surga, sebagaimana kaum Musa As. Pikiran mendahului cinta. 

Apa yang menyebabkan cinta? Tentu keindahan, keindahan ahlak Sang Nabi yang diwariskan kepada para kekasih Allah hingga akhir zaman. Di tangan mereka ada syair tentang pengalaman cinta dan juga jamuan makan setiap kita datang menemuinya. 

Seperti ditulis dalam berbagai cerita pendek di dalam Mantiq Atthoir-nya Attar -kita mesti berterimakasih pada Penyair Hartoyo Andangdjaja, dengan kerja terjemahannya yang bernas ke dalam bahasa Indonesia, jamali mutiara kisah dalam kitab ini begitu memukau dan tak bisa dilepaskan dengan mudah kata tiap katanya- kita menemukan berbagai falsafah pengalaman cinta. Falsafah cinta sufi itu saat kita tak bisa lagi membedakan kebaikan dan kemalangan yang menimpa kita. Bahkan cinta sufi itu kalau dibolehkan lebih memilih kemalangan. 

Kemalangan itu yang membuat jiwa dzauq makin teraut dengan tajam. Syech Syazili yang kaya raya itu, salah satu pendiri Tarekat Syaziliyah pergi mencari kemalangan ke tengah hutan dengan kudanya, dan bergelantungan pada ranting pohonan di malam hari, akhirnya menemukan pohon kopi, dan kemudian dari tangan beliau pohon itu bisa dibudidayakan hingga sekarang. Kemalangan itu tidak harus berkait dengan musibah, kemalangan itu bentuk penantangan terhadap diri sendiri hingga kita merasa hanya bergantung Pada Yang Dicintai. Olehnya Al Qur'an selalu menganjurkan kita menjelajah bumi, bepergian, agar tahu betapa keluarga dan harta kita tidak pernah akan setia menemani. Syech Abdullah Mubarok Bin Nur Muhammad (Abah Sepuh Ra) pergi menuju Bangkalan Madura melalu Hutan lebat Alas Roban untuk mendapatkan ijazah Bani Hasyim pada Syech Cholil Bangkalan, Abah Anom Ra. Menyukai perjalanan ziaroh hingga lanjut usia, hingga beliau terduduk di kursi roda. 

Petualangan cinta adalah petualangan cahaya, seperti laron-laron yang terus mencari cahaya yang lebih besar lagi di malam hari. Pejalan harus terbakar dalam Api sang Baqa, terbakar karena cinta.


Gelang Emas

Jangan terhenti dalam cahaya bohlam. Seperti seorang pengayak emas di padang pasir yang menemukan gelang emas Sang Raja. Ia terus mengayak, sampai mendapat gelang emas pengetahuan sejati. Puas pada satu titik dalam perjalanan dan tak meneruskan kelanjutannya, maka dalam diri sang pejalan tersebut masih memiliki ego. Ayak terus pasir perjalanan kita, sampai kita tak tahu lagi siapa diri ini dan hanya tahu Sang Pecinta sejati.

Dalam filsafat cinta kaum sufi kebaikan dan kemalangan tak bisa dibedakan lagi. Seperti saat kita mencintai seorang gadis, pahit pun teh yang ia suguhkan, karena lidah kita terhijab oleh cinta kepadanya, kita akan tetap merasakan manisnya. Seperti orang-orang tarekat yang mengejar Ridho Ilahi Robbi, Mursyidnya tak pernah menjanjikan kebahagiaan, tapi mereka tetap tenggelam dalam ilmunya, yang susah menikmati susahnya sambil terus memupuk harapan kebahagiaan bersama Allah, yang senang tak risau akan hari depannya.

Jika kita tertembak pistol Ilahi Anta Maksudi wa ridhoka Matlubi. Darah dan luka akan mencarikan jalan untuk kita menuju Sang Pecinta.(*)





Tidak ada komentar:

Posting Komentar