Kamis, 03 Agustus 2023

BUKU-BUKU YANG SAYA BACA

Realitas sebagai Buah dari Sastra Profetik Kuntowijoyo dalam Kumcer Persekongkolan Ahli Makrifat

M. Taufan Musonip


"Amar Ma'ruf Nahyi Mungkar Tu'minuna Billah" dengan ditafsiri silahkan berpikir sebebas-bebasnya, tapi bela rakyat kecil dan bersandarlah pada iman Islam.

 

Lukisan dari Web Seni dan Desain,
Pelukis tidak disebutkan


Istilah Struktural Transenden kerap mewarnai konsep Sastra Profetik yang diusung Kuntowijoyo dalam Buku Muslim Tanpa Masjid. Struktural transenden itu gagasan wahyu (Islam) yang menghidupkan realitas.

Setidaknya itu yang saya dapatkan saat membaca dua karya sastranya, Wasripin dan Satinah (novel) dan Persekongkolan Ahli Makrifat (kumcer). 

Saya awalnya boleh berpendapat bahwa Sastra Profetik itu jalan tengah antara sastra Islam dan Barat, untuk mengganti istilah sastra Sufi. Sastra Islam itu di isi oleh sastrawan semacam Buya Hamka, Taufik Ismail atau Helvy Tiana Rosa. Sastra Islam di tangan ke tiga tokoh itu lebih skripturalis. Sedangkan Sastra profetik mengambil sufisme yang memiliki kecenderungan mistis. Ternyata tidak sepenuhnya benar, Kuntowijoyo melihat mistik Islam sebagai realitas. Ia ingin menuliskan masyarakat sekitarnya. Bukan menjadikan sufisme sebagai gagasan sepenuhnya yang dilihat melalui kacamata pengetahuan profetiknya.


Berbeda Nuansa

Dalam tulisan lain saya pernah pula membahas latar belakang Kuntowijoyo dan tiga pengarang lain sebagai intelektual Muhammadiyah, tapi ketertarikannya terhadap sufisme sangat tinggi (baca, Sufisme dalam Jiwa Empat Tokoh Muhammadiyah). Kultur NU, misalnya justru mengambil jalur kesusastraan lain lagi, yaitu sastra pesantren. Sastra pesantren dan sastra sufi berbeda nuansa. Sastra pesantren lebih ekslusif. Sedang Sastra sufi yang diusung Kuntowijoyo lebih inklusif hidup dalam masyarakat.

Mempelajari budaya masyarakat melalui kedua buku itu nyatanya sufisme memang masih diminati kalangan bawah. Untuk mengambil kekuatan mistiknya. Mistik ini beragam bentuknya tidak selalu harus sesuai dengan pengertian awalnya yang lebih holistik. Nujum dan atau dalam istilah masyarakat biasa disebut Al Hikmah juga ada di dalamnya.

Dan Muhammadiyah berhadapan langsung dengan masyarakat. Realitas yang dimaksud dalam istilah Struktural Transenden sebagai sentral pemikiran Sastra Profetik, adalah pola penyesuaian nilai-nilai Islam kedalam realitas masyarakat. Hal ini masih jarang sekali ditelaah, karenanya kita kerap memukul rata ide sastra profetik antar satu pengarang dengan pengarang lainnya. Sastra Profetik Kuntowijoyo dan Sastra profetik Abdul Hadi WM berbeda, meski kedua-duanya dari cendikiawan Muhammadiyah, Abdul Hadi WM mengusung sastra klasik, lebih senang menulis puisi dan menilai lukisan. Tema sastra profetik, sejauh perhatian saya masih tidak terlalu diminati sastrawan Islam. Padahal Sastra Profetik menawarkan alternatif, antara sastra Islam yang lebih Skriptural dan Sastra pesantren yang lebih ekslusif.

Perbandingan bisa dilakukan dengan mengkaji kumcer Lukisan Kaligrafi karya KH Mustofa Bisri dan Persekongkolan Ahli Makrifat. Yang pertama tokoh-tokoh yang digulirkan kaum elit pesantren, yang kedua kaum bawah kota atau desa, atau elit intelektual non santri. Gus Mus bercerita tentang amplop Kyai dari jamaahnya, yang isinya tak habis-habis. Kuntowijoyo bercerita tentang seorang guru yang mengontrak rumah dekat rumah yang pernah menjadi TKP kasus pembunuhan. Gus Mus bercerita tentang persaingan Kyai Muda dan Kyai Sepuh. Kuntowijoyo melukiskan cerita tentang seorang pedagang gulai, yang ikut tarekat, ibadahnya semakin baik dan usahanya semakin maju.

Gus Mus menceritakan seorang Kyai yang menyelamatkan Anjing di jalanan. Sedangkan Kuntowijoyo mengisahkan seorang perantauan akademik di luar negeri dan bertemu para imigran berbagai negara. 

Amar Ma'ruf 

Cerita-cerita Kuntowijoyo dalam Persekongkolan Ahli Makrifat menjadi suara pembelaan kaum yang tertindas. Dalam Muslim Tanpa Masjid ia selalu mengatakan:

"Amar Ma'ruf Nahyi Mungkar Tu'minuna Billah" dengan ditafsiri: silahkan berpikir sebebas-bebasnya, tapi bela rakyat kecil dan bersandarlah pada iman Islam.

Kuntowijoyo mengirimkan pesan kepada umat Islam terutama intelektual dan santrinya: ilmu pengetahuan dan agama adalah mitos jika ia belum membumi dalam prilaku masyarakat. Makanya ia mengatakan Agama dan ilmu pengetahuan itu ide yang menghidupkan struktur menjadi realitas. Intelektual Muhammadiyah hidup di tengah masyarakat, ia bertemu dengan berbagai warna gagasan masyarakat, ada tarekat, islam abangan, islam kultural. Dan ia berhadapan dengan realitas bahwa orang susah lebih percaya mistik Islam, mau menjalani sesuatu kebaikan yang tak perlu dipikirkan dahulu. Karenanya mereka selalu mencari Guru yang langsung bisa ditiru untuk mencanangkan kebaikan. Atau orang Muhammadiyah mencari buku.

Kesamaan antara kultur Muhammadiyah dan Sufisme tarekat, selain hidup dalam medan budaya yang sama. Keduanya juga memberi ruang kesempatan yang sama yang lebih mudah untuk melahirkan manusia bertakwa.(*)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar