Rabu, 09 Agustus 2023

ESAI

Mencari Jurus Tawadhu dalam Tarekat

M. Taufan Musonip


"Nabi Sulaeman As dalam QS Sad diberi predikat Minal Abd, Innahu Awwab yang dimaknai oleh Gurunda Kyai Muzzaki Aziz dalam pembacaan Tafsir Jalalain sebagai orang yang mudah kembali kepada Allah dan suka berdzikir. 



Lukisan Karya @lesleyoldakeart
"Detached"



Kitab Miftah As Shudur Karangan Syech Ahmad Shohibul Wafa Tajul Arifin yang diterjemahkan oleh Prof Dr. Aboe Bakar Atjeh dan yang paling mudah didapati di kios-kios pesantren Suryalaya, dibuka dengan pendahuluan dari Penulisnya dengan stampel Al Faqir dibawah tandatangannya.

Saya yang tidak akrab dengan dunia pesantren mendapati istilah Al Faqir tentu merasakan hal yang indah. Guru Mursyid yang terkenal seantero dunia itu menyebut dirinya Al Faqir. Suatu sign yang berkebalikan dengan para penulis filsafat, yang akrab dengan istilah superego. Tasawuf memang ilmu tentang merendahkan ego. Jadi murid tarekat jika dipanggil bodoh tidak usah sakit hati. Bodoh memang bukan padanan yang tepat untuk Al Faqir, tapi ini untuk membedakan faqirnya seorang guru dan faqirnya si murid. 

Bagi Murid justru harus senang menyandang nama si Bodoh. Sebab curahan ilmu dari tangan guru Mursyid memang memerlukan perasaan bodoh. Fana fi Mursyid tidak memerlukan pengetahuan sedikit pun, seperti Musa As yang Fana fi Khidr dalam perjalanan spiritualnya. Istilah Al Faqir jarang bahkan sama sekali tidak saya temukan dalam majelis tarekat. Justru saya dapatkan dalam majelis taklim yang pembuka dzikir khotamnya adalah Ratib Al Atos atau Al Haddad. 

Minal Abd, Innahu Awwab

Jika murid Tarekat tak memiliki perasaan bodoh ia tak akan pandai menangkap ilmu dan karomah Guru Mursyid. Karomah Guru Mursyid itu akibat dari kedekatan dengan Sang Kekasih, bukan karena bantuan jin. Keajaiban karena bantuan jin adalah istidraj jika hasilnya adalah pengakuan. Karomah Guru Mursyid selalu bersandar kepada Pemilik Karomah. Dan karomah paling utama adalah ahlakul adzima. Jika murid bodoh merasakan keberuntungan dalam hidupnya karena menjalankan ibadah tuntunan Guru Mursyid maka adabnya adalah mengakui karomahnya adalah karomah Guru Mursyid. Jika ia mengalami kemalangan, maka kemalangannnya adalah petunjuk.

Amalan ilmu itu patokannya bukan gagal atau tidaknya, tapi merasakan kurangnya terus menerus. Kalau orang pintar, intelektuil, tak akan pernah bisa merasa kurang, maka sang alim-sufi harus terus menjadi muta'alim, duduk sendirinya di luar majelis ilmu dihiasi dengan dzikir. Berdzikir selain mengingat Allah juga mengingat kelalaian. Maka jadilah si rakus dalam ibadah. Sadar diri akan kelalaian melupakan pencapaian, dan menjadikan diri, sebagai orang yang taubatnya dilakukan terus menerus tiada henti(attawabin). Nabi Sulaeman As dalam QS Sad diberi predikat Minal Abd, Innahu Awwab yang dimaknai oleh Gurunda Kyai Muzzaki Aziz dalam pembacaan Tafsir Jalalain sebagai orang yang mudah kembali kepada Allah dan suka berdzikir. 

Kanqah Abu Said

Nabi Sulaeman yang memiliki singgasana raja yang wilayah kerajaannya bukan hanya wilayah dhohir tapi merentang hingga wilayah jin ini, senang hanya diberi predikat hamba. Sebagaimana predikat yang disematkan kepada Abu Yazid Al Busthami yang enggan menerima predikat Wali, dan hanya senang menerima mahkota duri sebagai hamba. Tapi kita? Baru saja ibadah kita hanya hitungan jam, ada ilusi syetan saja mampir di kepala, kok kita merasa sudah mencapai derajat kekasih Allah. Dan risih dicela orang bodoh.

Ada cerita yang saya dapatkan dari Buku Laila dan Majnun, seorang murid Khanqah Sufi Abu Said Ibn Abu Khair, selama bertahun-tahun tidak bisa mengaji kepada Guru Agungnya, karena selain jarak yang ditempuh jauh juga terkendala cuaca. Suatu kali Allah mempertemukan keduanya, dan Si Murid berkeluh kesah, Sang Guru menjawab:

"Kau tak perlu repot-repot mengaji, egomu saja kau tanggalkan, maka kau telah mendapatkan ilmu paling tinggi dari semua ilmu."

Menyelami ilmu tasawuf dalam tarekat itu mendapatkan jurus tawadhu. Tentu tawadhu yang tidak mengingkari rasa syukur atas kemampuan ilmu yang dianugerahkan kepada setiap manusia yang menuntut ilmu. Tawadhu itu dalam kalbu bukan dalam kata-kata.(*)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar