Minggu, 12 Maret 2023

ESAI


Pentingnya Ilmu dalam Khazanah Khidmat Ilmiyah Ajengan Beben

 M. Taufan Musonip



Lukisan karya Rene Magritte
"Spring" (1965)


Jika cinta Allah ucapkanlah Laa Ilaha ilallah

Jika cinta Nabi Allah Saw lantunkanlah selawat untuknya

Jika mencintai diri sendiri sering-seringlah beristighfar

Ajengan Beben Muhammad Dabbas


Ajengan Beben Muhammad Dabbas adalah wakil talkin TQN dari Pamijahan. Salah satu cicit Syech Muhyi Pamijahan. Suatu kali dengan rengrengan peziarah Cibarusah saya pernah diajak singgah ke kediaman beliau di Pamijahan. Memasuki rumahnya harus melewati musola yang terhubung dengan selasar kecil yang dilalui melalui pintu dapur umum musola tersebut. Baru kali ini saya mendapati masjid yang memiliki dapur. Di Masjid Nurul Asror sendiri sebagai Pusat Perkembangan TQN Suryalaya Dapurnya terpisah walau berdekatan. 

Kala itu Ajengan Beben tengah bersantai dengan salah satu anaknya. Di lemarinya ada banyak kitab. Ruang tengahnya luas. Kami para peziarah yang berencana berziarah ke maqom Syech Muhyi mengelilingi beliau seperti laron mengeliling lampu neon. Istilah laron sering menjadi simbol puisi-puisi sufi sebagai penanda diri yang lapar akan cahaya, cahaya adalah pusat kosmik yang senantiasa didatangi tubuh-tubuh fana'.

Mendorong Kasur

Kenapa ajengan Beben menjadi pusat kosmik para peziarah baik saat itu dan juga di manakib-manakib yang dihadirinya saat bertugas menalqin dzikir? Bukan karena kehadiran kitab-kitabnya di lemari, bukan pula ia menceritakan jasa kakek buyutnya sebagai salah satu penyebar Islam di Indonesia -tak satu patah kata pun beliau bercerita tentang ini-, tapi karena ia terlihat mendorong kasur pegasnya sendiri, untuk mempersilahkan para tetamunya singgah duduk. Adab itu adalah adab Guru Mursyid Syech Ahmad Sohibul Wafa' Tajul Arifin, menjadi ciri khidmat para muridnya yang ringan tangan. 


Ajengan Beben sedang memberikan Khidmat Ilmiyah di Rawa Lintah


Saat itu kami menyimak apa yang akan disampaikannya. Ajengan Beben, berbicara soal pentingnya ilmu. Dan ia menyarankan diadakannya holaqoh-holaqoh di daerah. Menurutnya orang yang beramaliyah tanpa ilmiyah sama saja dengan kafir Jindiq. Dan ia seperti menangkap kesan adanya sikap kurangnya khidmat pada kajian ilmiyah di antara para ikhwan. Sehingga sampai ada yang menempatkan Guru Mursyid di dalam kalbu. Menurut beliau kalbu itu hanya untuk Allah, Guru Mursyid adalah wasilah.

Holaqoh yang dimaksud ajengan beben adalah majelis tanya jawab ilmu tarekat untuk memurnikan tarekat dari rasa malas mencari ilmu. Dan juga meluruskan berbagai dawuh Abah Anom yang kerap disalah gunakan bahkan dipalsukan oleh kalangan ikhwan. Tanpa khidmat ilmu, kadang orang tarekat sering mengandalkan karomat Guru Mursyid. Padahal falsafi itu sangat penting, diceritakan dalam Buku Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, Mursyid-mursyid terdahulu sering melakukan kajian falsafi untuk melawan gerakan tasawuf yang dianggap melenceng seperti Wahdatul Wujud, meskipun istilah ini jika ditempatkan dengan benar tidak pula salah. Yang melakukan itu adalah Syech Ibrahim Kuranyi Guru Besar Tarekat yang memegang lebih dari lima Ijazah tarekat salah satunya Tarekat Qodiriyah Naqsabandiyyah terhadap paham tarekat yang tidak menyepakati pemikiran Ibn Arabi di Indonesia, dengan menulis kitab Ithaf Al-dzaki. 

Pentingnya ilmiyah dalam gerak amali selalu disampaikan Ajengan Beben di tiap kesempatan manaqib. Yang disebutnya kitab-kitab kuning tasawuf, di Karawang di Masjid Syech Quro dia menyebut Tanwirul Qulub, Karangan Syech Amin Al-Kudri.

Ajengan Beben selanjutnya mengatakan, bahwa kemuliaan Guru Mursyid seharusnya tak mengurangi rasa cinta kita kepada Allah, sebab Guru adalah wasilah yang dengannya Allah menurunkan kemuliaan kepadanya, dengan begitu dia mudah memaparkan pentingnya kalimat ikhlas Laa ilaha ilallah. Guru Mursyid adalah wasilah yang mengantarkan kita ke haribaan Allah. Yang letaknya di alam pikir yang sulit dikendalikan saat sedang berdzikir. Bukan di kalbu.

"Bageur"

Ajengan Beben ini, sosoknya sangat tenang. Kerap membuat jamaah menangis kalau menyampaikan pentingnya berbakti kepada kedua orang tua. Selalu memanggil orang yang sedang ditalqin dengan sebutan "bageur" suatu panggilan dalam masyarakat sunda untuk anak-anak. Semua jamaah talqin dianggapnya anak-anak, menjadikan beliau sebagai penerus lidah Guru Mursyid yang lemah lembut dalam kata kepada murid-muridnya. 

Kalau melihat Ajengan Beben sedang khidmat ilmiyah seperti sedang menyaksikan seorang guru mursyid berbicara. Dan ternyata menurut beberapa orang beliau memang seorang Mursyid Sattariyyah, tarekat yang diemban kakek moyangnya, meski yang diamalkan adalah tarekat Abah Anom, itu pun menurut kalangan ikhwan beliau mendapat petunjuk dari kedua orang tuanya.

Dalam kesempatan lain terkadang ilmu tasawufnya dipakai pengantar untuk menjelaskan pentingnya Amali, sebagai titik berat keseimbangan terhadap ilmu-ilmu yang belum tentu mendamaikan hati manusia. Semua-mua menurutnya untuk menggerakan kita atas anugerah cinta kepada Allah dan NabiNya, uniknya Ajengan Beben menambahkan kata cinta untuk diri sendiri, yang jarang didapati dalam khazanah ilmu tasawuf, syaratnya dengan sering-sering membaca istighfar.(*)

















Tidak ada komentar:

Posting Komentar