Kamis, 02 Maret 2023

ESAI

 Manakib di Rawa Binong

---Api Syariat Para Wali

M. Taufan Musonip


Pablo Picasso does Long Exposure light Painting in 1949
Marilena Ntzeveleka


    Riak gelombang air Danau Rawa Binong cukup besar, airnya hijau seperti jamrud. Kemungkinan danau purba. Saya pernah menulis tentang orang-orang yang tinggal menetap di wilayah danau ini, mereka adalah para pementas seni teater tradisional Topeng. Memang mereka menyebutkan Rawa Binong sebagai situs budaya Bekasi. Danau ini cukup indah. Menjadi permata tersembunyi dari berdirinya pabrik-pabrik yang mengepungnya. Letaknya tepat di gerbang tol Cikarang Pusat.

    Saya diantar Bang Sanin, ke sebuah musola bilik bambu panggung untuk mengikuti Manakib Tn. Syech Abdul Qodir Jaelani. Bersama Istri dan anak perempuan balita saya. Musola itu juga bersebelahan dengan hutan kebun, entah seluas apa. Bang Sanin menunjuk pohon pisang susu. Buahnya sudah lebat. Kulitnya berwarna merah tua. Kata Bang Sanin pisang itu jarang ada yang mau beli di pasar. Karena pisang itu punya nuansa klenik. Tapi menurut Bang Sanin pisang itu enak. Ya begitulah Sufi, bukan hanya ingin kasaf dunia ruh, dunia empirik pun juga.


MU'JAM

    Ilham Waliullah itu seperti pisang susu ini, kalau tidak dicoba tidak bakal tahu nikmatnya. Dan akan tetap berada di dalam mitos yang melingkupinya. Olehnya Bang Sanin menantang mitos pisang susu demi menggantinya dengan mitos yang baru. Kalau mengadaptasi istilah Novel Zarathustra Nietzsche, Ilham itu seperti lentera yang apinya diambil dari pegunungan. Dan dengan lenteranya, Zarathustra bersabda di lembah-lembah. Ilham Waliullah itu adalah lentera yang apinya diambil dari Gunung Syariat. Selama apinya tak dibawa para Waliullah ke lembah-lembah ia tidak akan menjadi api yang aktif. Para alim belum tentu menemukan api dalam gunung syariat ini. Sebab sejatinya ilmu belum tentu sempurna menjadi penerang jalan.

    Mu’jam Al Qur’an tafsir Surat 6:118 mengatakan: Ilmu yang senantiasa diingat itu adalah Ad-Dzikr. Sedang yang dilestarikan disebut Al Hifzu. Ad-Dzikr adalah ibadah efektif untuk mengingat ilmu Keberadaan Sang Pencipta. Sedang melestarikannya perlu proses dan sepanjang proses itu kalau tidak didenyutkan Ad-Dzikr bisa lalai juga. Jadi Ad-Dzikr itu pintu ilmu. Meskipun ada hadits mengatakan: bertafakur sekali lebih baik dari ibadah setahun, Dzikr dalam Al Qur’an selalu disebut lebih dahulu.

    Para pembawa lentera api syariat ini mengantarkan saripati dzikr kepada kita. Mereka tidak lama bersama kita. Mereka magnet bagi jutaan umat manusia. Jadi melalui talqin dzikir mereka menyematkan api syariat ke dada-dada kita agar jantung menyebarkannya ke setiap sel, saat itu, tiba-tiba kita memiliki rasa malu bermaksiat. Dan ingin mencari ilmu agama lebih banyak lagi. Wali yang tinggal tak lama bersama kita itu hanya mencontohkan apa yang mereka wariskan dari nabi, yaitu yang terlihat oleh mata dan tak memerlukan banyak pertanyaan: Ahlakul Adzima dan amaliyah. Segera serap dan lakukan, sami’na wa’atona. Seiring waktu ilmu akan terserap dengan sendirinya.

    Tarekat itu tasawuf amali, tasawuf tatap muka. Bukan tasawuf isyari atau falsafi, kedua kelas ini melahirkan pemikiran tentang tasawuf. Meskipun isyari, lebih cenderung amali, pencarian ilmunya melalui Nabi Saw langsung, Tarekat berkaitan secara silsilah dari guru mursyid satu ke guru mursyid yang lain hingga ke Baginda Nabi. Tasawuf Amali lebih lengkap ilmu dan praktek. Prakteknya langsung tatap muka diajarkan Mursyidnya.

    Manakib Rawa Binong, di pangku oleh Bapak Hideung (saya tidak sempat bertanya apakah beliau merbot masjid bilik bambu itu, atau siapa?) dibantu Ibu Dewi, dan dipandu oleh Ustad Aswi Asmawijaya. Manqobah yang dibacakan adalah Manqobah ke 11, yaitu ketika Nabi Saw Mikraj. Saat telapak tangan Baginda menyentuh leher sang Buroq, saking senang hatinya disentuh manusia agung paling mulia seantero dunia, ruhnya meninggikan badannya menjadi 40 hasta. Dan Nabi Saw dibantu oleh Tn Sy. Abdul Qodir Jaelani, menaiki punggung Buroq. Sebelum berangkat, Baginda Nabi menyampaikan kepada Tn. Syech, bahwa beliau kelak akan menjadi Gauzil Azom para wali di seantero dunia.

BAHASA SUNDA

    Manakib Rawa Binong Tanbih dan Manqobah yang dibawakan berbahasa Sunda. Jarang saya dapat di manakib lain di Bekasi mungkin karena orang Bekasi juga ada orang jawa dan Betawinya. Tapi rasanya memakai bahasa sunda rasa ruhaninya lebih mengena, karena TQN Suryalaya melestarikan ilmu tasawufnya dengan bahasa Sunda. 

    Bang Sanin tidak pulang bareng bersama kami, mungkin ia akan mencoba lagi Pisang Susu. Atau mungkin ingin bercengkrama lebih lama dengan Ustad Taufik, beliau adalah salah satu Mubaligh kami. Yang membawakan hikmat ilmiah di manakib ini. Dalam hikmat ilmiyahnya ia menyampaikan pesan agar jangan malas-malasan dan setengah-tengah dalam menjalankan amaliyah, yang setengah-tengah itu adalah tanda orang munafik. Saat beliau menyampaikan itu angin besar datang menghampiri. Manakib di mana pun akan dihadiri Kanjeng Syech. Semoga angin besar itu adalah berkah yang besar yang ditinggalkan para guru buat para muridnya.

    Pulangnya bersama istri dan anak kembali melewati danau Rawa Binong yang hijau jamrud, dengan riak air yang ngeplak. Saat pulang kami tidak melewati jalan menanjak yang retak, padahal bersama Bang Sanin ingat sekali kami melewatinya. Istri saya, melongo. Saya tetap berpikiran saintifik, mungkin kami tak sadar mengambil jalan lain.(*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar