Minggu, 19 Maret 2023

ESAI

Jasa Ulama Kurdi untuk Indonesia

---Amalkan Kitabnya, Jangan Banyak Tanya Seperti Orientalis

M. Taufan Musonip


Kita sama sekali tak merasa mempunyai hutang jasa terhadap orang Kurdi yang sekarang tengah mengalami status suku bangsa yang stateless dan mengalami penindasan di berbagai Negara.

Lukisan Karya Sritam Banerjee
"Sunday"


1

Martin Van Bruinessen dalam buku Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat menelusuri jejak hubungan emosional ulama Kurdi dan Indonesia. Di antaranya melalui kitab-kitab yang populer di Indonesia yaitu Maulid Barjanzi juga Buku Tanwirul Qulub yang pernah diucapkan Ajengan Beben dalam Manakib di Masjid Syech Quro beberapa waktu lalu.

Kini orang Kurdi itu tak memiliki Negara, walau cukup memiliki pengaruh di beberapa Negara seperti Iran, Irak atau Turki. Jadi sekarang kalau kita melihat penderitaan orang Kurdi di tv atau di kanal Youtube, seharusnya bisa lebih empatik.

Jejak hubungan Ulama Kurdi dan Indonesia juga bukan saja melalui kitab, tapi juga melalui ijazah tarekat. Salah satunya Syech Ibrahim Al Kurani, memegang ijazah tak kurang dari lima tarekat. Tak pelak dua ulama besar Indonesia seperti Syech Yusuf Makasari (penulis buku Safinah Al Najah) dan Abdul Rauf Singkel (Penulis Tafsir Jalalain) mendapat ijazah dari Syech Al Kurdi tersebut. Yang pertama Khalwatiyah, Syech Yusuf kembali ke Indonesia dan menjadi penasehat kerajaan Banten, aktif melawan kolonialisme Belanda. Dan Abdul Rauf Singkel mendapatkan Ijazah Tarekat Syattariyah dan menyebarkannya di Indonesia, dia menetap 9 tahun di Mekkah dan menulis kitab Umdah Al Muhtajin: kitab tentang sepintas mengenai kehidupan di kota-kota suci.


2

Orang Kurdi itu menetap di persimpangan tumbuhnya peradaban Islam di dunia. Menjadi cultural broker. Mengambil sanad ilmu dari Persia, Turki dan India. Persia untuk Qodiriyah, Turki untuk Darwisiyah, India untuk Syattariyah, Naqsabandiyyah, dan Chistiyyah. Wilayah-wilayah tersebut kini memang menjadi sentrum peradaban Islam terbesar. Meski Orang Kurdinya sendiri masa sekarang kurang dikenal sebagai penghubung daratan-daratan Ilmu tadi. Kita sama sekali tak merasa mempunyai hutang jasa terhadap orang Kurdi yang sekarang tengah mengalami status suku bangsa yang stateless dan mengalami penindasan di berbagai Negara.


Orang Kurdi,
Foto merupakan karya AFP
https://www.niaga.asia/bangsa-kurdi-siapa-sesungguhnya/



Penyebabnya mungkin seperti halnya Martin v Bruinessen kita tak menemukan jejak pasti silsilah mereka dalam tarekat-tarekat yang mu'tabar di Indonesia ---mungkin jika ada peneliti yang mau menggerakan pengamatannya ke JATMAN untuk secara pasti mencari jejak orang kurdi di antara silsilah guru mursyid dalam tarekat-tarekat. Di Tarekat Qodiriyah Naqsabandiyah Suryalaya tak ditemukan guru Mursyid dari Kurdi, dan tak menemukan Syech Ibrahim Kurani. Juga kitab Barjanzi yang judul kitab sebenarnya adalah Iqd Al Jawahir Karya Jafar Bin Hasan Al Barzinji, tidak tahu pasti sejarahnya bisa sampai di Indonesia dan sangat populer. Barjinzi adalah nama salah satu Klan pada Bangsa Kurdi.

Sama halnya dengan Tanwirul Qulub, yang pernah kita dengar kitab tersebut dari Ajengan Beben Muhammad Dabbas dengan syahdu itu, meski penulisnya Syech Amin Al Kurdi adalah Naqsabandiyah sukar dibuktikan kitab tersebut dibawa oleh orang-orang Naqsabandiyah baik dari jalur Al Azhar ataupun Madinah. Bahkan menurut Bruinessen, tidak satu pun dari banyak silsilah tarekat Naqsabandiyah di Indonesia menyebut Muhammad Amin (Hal 39). 


3

Dalam kitab kaum orientalis akan selalu ditemukan ketidakpastian alur sejarah masyarakat Islam. Mereka terkendala bukti sejarah yang terputus karena budaya lisan. Dengannya kitab-kitab para ulama berangsur-angsur dianggap tidak jelas asal-usulnya. Padahal meski karya para ulama terputus alur sejarahnya, karya tersebut ampuh membangun suasana Islam dan efektif menumbuhkan peradaban Islam. Konon karena kerja-kerja para orientalis dalam alam pikir modernisme sejak masa kolonialisme awal di Indonesia, kitab-kitab kuning digeser sebagai kitab bernuansa mitos dan digantikan dengan kitab-kitab putih.

Begitupun dengan kehadiran tarekat berangsur-angsur ditinggalkan digantikan dengan organisasi Islam -meski belakangan dua organisasi Islam, NU dan Muhammadiyah bermotif tarekat.

Padahal sejauh tarekat dan kitab-kitab kuning tasawuf menampung nilai pelajaran Islam dari sisi batiniah/ruhani, dan efektif mengumpulkan orang Islam baik dalam Aqiqah, deba', ratiban dan manakiban (TQN Suryalaya, Banten, Mranggen, Madura dll) tak begitu penting lagi sebenarnya asal-usul. Dalam Al Qur'an, Allah pun tak selalu mewahyukan apa yang tak perlu untuk kita. Misalnya soal jumlah pemuda dalam Ashabul Kahfi, juga mengenai sejarah beberapa Nabi yang disebutkan tapi tak disampaikan sejarah hidupnya seperti Nabi-nabi lain. 

Kitab para ulama juga ayat-ayat kauniyah yang sampai kepada kita melalui sifatnya yang misterius: Hanya Allah yang tahu. Jadi amalkan saja kitab-kitab para ulama dengan bahagia dan secara bersama-sama. Jangan banyak bertanya seperti kaum orientalis! Kecuali jika ingin mencari demi kepentingan Ilmu untuk mengingat Allah.(*)













Tidak ada komentar:

Posting Komentar