Jumat, 03 Maret 2023

ESAI

Mencintai Agama dengan Cara Jawara

---Belajar dari Sosok Pak Jaya Rawa Lintah

M. Taufan Musonip


Lukisan Karya Kazimir Malevic
Black Square (1915).


Katanya jangan ngaku Aswaja, kalau solat rawatibnya jarang-jarang. Apalagi sampai tidak tahu nama-nama solat rawatib, malu kenal sama Sy. Abd Qodir Jaelani.


    Dengan usaha tambal ban Pak Jaya bisa membeli tanah 100m, tanah yang sekarang menjadi rumah yang ditinggali keluarganya. Kini Pak Jaya, memilih menjadi merbot yang penghasilannya tak seberapa dibanding penambal ban.

    Merbot itu salah satu tarekat sufi seperti ditulis dalam buku Warisan Sufi, asal katanya meurbot tarekat dari Maroko, memang tentang orang-orang yang gemar berdiam di masjid. Sejarah nama itu sampai di Indonesia perlu ditelusuri, kenapa sanadnya sampai terputus. Kalau menurut Kyai Ahmad Mustopha Pegaulan, menjadi merbot itu anugerah, karena dalam fastabiqul khoerot ia akan selalu menang.


Orang NU

    Soal Fastabiqul khoerot bagi Pak Jaya bukan berdiam di mesjid an sich, tapi juga menjadi garda depan pengembangan tarekat di Rawa Lintah, langkahnya cerdas, ia masuk ke satu organisasi Islam. Niatnya ingin meng-tqn-kan organisasi tsb. Yang tertarik hanya dapat lima orang. Tapi mendapat dana untuk membangun masjid Al Ihsan yang sekarang kerap dipakai Manakib dan MKTM.

Sosok Pak Jaya


    Ketika ditanya kenapa memilih jadi merbot ketimbang penambal yang membuatnya bisa hidup lebih mapan, jawaban Pak Jaya simpel: karena ia mencintai TQN. Ia bergerak karena cinta. Padahal ia dikenal jawara, siapapun segan dengannya. Jika ada orang yang mencurigai aktifitas TQN di Masjid Al Ihsan Pak Jayalah orang yang menjadi tempat bertanya. Suatu kali ada orang NU yang merasa alergi dengan dzikir jahar TQN. Pak Jaya mampu menjelaskan dengan baik, dan mengatakan TQN itu Aswaja total, di sini solat-solat sunnahnya lengkap. Katanya jangan ngaku Aswaja, kalau solat sunnahnya jarang-jaranh. Apalagi sampai tidak tahu jenis dan faedah solat-solat sunnah, malu kenal sama Sy. Abd Qodir Jaelani.

    Dzikir jahar memang kerap menjadi masalah di lingkungan masyarakat. Ini bukan baru-baru ini saja, Pemberontakan Petani Banten yang terkenal di masa kompeni dipicu karena masalah ini, TQN bergerak memimpin pemberontakan, mereka adalah murid-murid jalur Sy. Abdul Karim Banten. Abah Anom memang menyarankan dzikir jahar ini jika berjamaah cukup 165, kecuali masyarakat di lingkungan mayoritas TQN. Jika didawamkan sendiri sebisa-bisa suara hanya terdengar sendiri, dzikir jahar itu untuk meningkatkan fokus, menutup pendengaran dengan kalimat Laa Ilaha Ilallah. Banyak kitab, termasuk Bidayatusalikin menukil Ayat Suci Al Qur'an tentang keutamaan dzikir ini, hingga Al Hadits dari Ibnu Abbas yang menyebutkan mengenai biasa terdengarnya dzikir jahar selepas solat-solat fardu pada masa Rosulullah Saw.

    Meski dibatasi, kadang dalam berjamaah di masjid suka dilebihkan, saking nikmatnya imam dan makmum dalam gelombang ekstase dzikir, dan terkadang pula menjadi wahana syiar islam. Buktinya di Rawa Lintah pengikut TQN makin banyak. Dan Pak Jaya salah satu imam yang dzikir jaharnya paling nikmat diikuti, karena suara tegas mengentaknya dia dapat dari kharisma seorang jawara.

Sang Kaya

    Suatu kali Pak Jaya menginginkan tokoh kaya di sekitar Mushola Annala -saat belum berdiri masjid Al Ihsan sekarang- tergabung dalam TQN, tapi masih belum kesampaian. Mungkin keinginannya itu membuatnya terus berdzikir. Sampai sang tokoh dini hari mendengar dzikirnya di Mushola karena kamarnya dekat dengan jambannya, Sang Kaya ini mendatangi suara tersebut, saat lampu mushola dinyalakan, tak ada sosok Pak Jaya. Esoknya Si Tokoh langsung minta ditalqin dzikir.

    Si Tokoh itu adalah Bapak Ateng Sardi, yang menjadi pemangku Manakib dan MKTM di Masjid Al Ihsan.

    Saat bapak dari tiga anak yang perempuan semua ini ditanya sekali lagi soal memilih jadi merbot dan menjual lapak tambal ban yang sudah menghidupi keluarganya selama bertahun-tahun, ia menjawab sambil berkaca-kaca:

    "Semua ban sesulit apapun sudah aku tambal, kecuali menambal bocornya hati (masih terus belajar)."

Puitis sekali. (*)





Tidak ada komentar:

Posting Komentar