Kamis, 09 Maret 2023

ESAI

Amaliyah Manakib sebagai Pusat Ilmu 

M. Taufan Musonip


Semboyan keilmuan dan amaliiyah yang biasa didengar sebagai Ilmu Amaliyyah, Amal Ilmiyyah, sebagai dua kutub yang disatukan dalam kegiatan Manakib. 

Fotografi Karya Baruch Frenkel
10 Years for 48 colors of the Moon


Dahulu diceritakan dalam Buku Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat Martin Van Bruinessen, Bahasa Indonesia sudah menjadi bahasa kedua di Makkah sekira abad 18-19. Dan pada masa itu pula sekira 40% orang Indonesia menjadi jamaah haji dari total orang yang berhaji seluruh dunia. Artinya termasuk yang terbesar. 

Itu karena Mekkah dahulu bukan sekadar tempat menjalankan ibadah haji, tapi juga pusat keilmuan. Artinya orang Indonesia pada masa itu adalah orang yang paling semangat menuntut ilmu. Mereka rela membelah laut samudera dan menantang badai demi ilmu. Bahkan ada yang tak kembali ke kampung halamannya karena kapal yang ditumpanginya karam. Ada juga yang melakukan ekspedisi melalui jalur gaib, seperti Syech Muhyi Pamijahan yang pergi ke Mekkah melalui Gua Saparwadi, atau ulama lain melalui sumur dan tiba di sumur zamzam. Cerita ini tetap mewarnai sejarah besar perkembangan keilmuan Islam.

Peradaban Jauh

Ekspedisi orang Indonesia ke Makkah membawa banyak sekali keilmuan Islam, di antaranya ilmu tarekat. Ulama tarekat seperti Syech Yusuf Makassar, yang menbawa tarekat Khalwatiyah tiba di Banten dan menjadi penasehat kerajaan Sultan Ageng. Sedangkan Syech Abdul Rauf Singkel membawa tarekat Satariyyah dan menjadi penyunting dan penerjemah kitab Jalalain. Tarekat Qodiriyyah Naqsabandiyah di populerkan di Jawa oleh Syech Abdul Karim Bantani dan Syech Tolhah yang sudah dibaiat di Makkah oleh pendiri penggabungan dua tarekat yaitu Syech Achmad Khotib Sambas. Semua ulama Indonesia sangat diperhitungkan kedudukannya baik di Makkah maupun tanah air. Ulama fiqih saat itu hampir dipastikan bertarekat. Dan menulis kitab. Dan gerakan ekspedisi ke Makkah sepertinya memang diilhami dengan gerakan tarekat: Mekkah sebagai pusat ruhani yang banyak melahirkan Guru Mursyid pula.

Sekarang Mekkah tak seperti dulu lagi, setelah berganti mahzab dan pemerintahan. Mekkah bukan lagi pusat Ilmu, ada bagian yang hilang di Mekkah. Setidaknya bagi orang Indonesia, mayoritas pergi ke Mekkah memang hanya ingin beribadah haji. Pusat ilmu beralih ke Indonesia sendiri, dalam bahasa Azyumardi Azra, beralih ke perifer. Lestarinya nilai-nilai Islam tidak lagi dilihat di pusatnya, tapi dari perkembangan peradaban jauh yang mengelilinginya seperti Islam di Persia, India, Indonesia, Afrika bahkan Eropa.

Pusat ilmu itu ada dalam perkembangan ilmu dalam tradisi tarekat yang masih ada sekarang di Indonesia. Misalnya Tarekat Qodiriyah Wan Naqsabandiyah Suryalaya menjadikan Pesantren Suryalayanya sebagai pusat pendidikan yang tiap bulan pada tanggal sebelasan hijriyyah mengadakan Manakib Sulthon Aulya Sy. Abdul Qodir Jaelani. Semboyan keilmuan dan amaliiyah yang biasa didengar sebagai Ilmu Amaliyyah, Amal Ilmiyyah, sebagai dua kutub yang disatukan dalam kegiatan Manakib. 


Suasana Manakib di Suryalaya


Sajak Penutup

Meskipun ilmu disimpan paling depan dalam semboyan itu, Manakib TQN Khidmat ilmiyyahnya berlangsung belakangan, akan tetapi di Suryalaya sendiri sebelum manakib suka diadakan Kuliah Subuh biasanya diisi oleh mubaligh muda. Manakib di daerah jarang ada atau bahkan tidak ada khidmat ilmu yang mendahului manakib seperti di Suryalaya. Tapi pakemnya memang begitu, meski ilmu lebih dulu ada daripada amaliyah, amaliyah harus didulukan dalam praktek, untuk memenuhi prinsip sami'na wa'atona. Dan rasio tidak bisa merasakan nikmat amaliah. Dzikir itu syukur, dan syukur itu mesti ada nikmat. Dan nikmat itu buah amaliah bukan buah pikiran.

Saat amaliyah dari mulai qirooah Al Qur'an sampai Manqobah, para ikhwan dilarang bicara dan makan-makan. Sedang saat Khidmat Ilmiyah dibolehkan, terkadang karena kebolehan itu orang-orang mulai meninggalkan manakib. Padahal pembawa acara biasanya mengingatkan boleh bubar sehabis pembacaan solawat Bani Hasyim.

Ilmiyah dan amaliyah sama-sama sakral, hanya beda medium. Ilmiyah pada otak dan badan yang membutuhkan kudapan bergizi dan air minum, sedangkan amaliyah asupannya dzikir, karena tempayannya kalbu.

Menutup tulisan ini saya ingin mengutip bait sajak Hamzah Fansuri:

Hamzah Fansuri di dalam Makkah

Mencari Tuhan di Bait Ka'Bah

Di Barus ke Qudus terlalu payah

Akhirnya dapat di dalam rumah(*)






Tidak ada komentar:

Posting Komentar