Penciptaan Tanda dalam Usaha Meningkatkan Minat Baca
Oleh: M Taufan Musonip
“Kita sendiri adalah bagian akhir dari metamorfosa
hurufi”
/1/
Dinamika Keruangan, Fadjar Sidik (1969) Cat minyak di atas kanvas / Oil on canvas, 94 x 64 cm, Inv. 383/SL/B |
Apa yang dapat kita maknai dari
kutipan di atas? Frasa itu pernah menjadi jiwa bagi tradisi tarekat aksara abad
pertengahan di Persia, di Indonesia tradisi hurufi menjadi begitu berkembang
dalam lukisan kaligrafi. Namun bukan lukisan kaligrafi biasa yang dimaksud, ia
adalah sejenis tulisan tolak bala yang ditempel di setiap dinding rumah. Kaligrafi
itu dibuat dalam kertas putih, dibentuk dalam rupa lingkaran, segitiga atau
pedang. Terkadang dinukil pula ayat suci Al Qur’an, bercampur baur dengan
huruf-huruf dan gambar-gambar simbolik.
Meski indah, tradisi hurufi seperti
ini jarang diapresiasi seperti layaknya lukisan kaligrafi mainstream yang ada di
masjid-masjid atau gedongan. Kehadirannya yang sarat simbolik dan selalu ada di
rumah-rumah kaum pinggiran, membuat lukisan ini selalu bernuansa klenik. Saya
ingin menarik tradisi hurufi tersebut ke dalam wacana budaya literasi
masyarakat Indonesia yang dinilai sedang terpuruk.
Bagi kepercayaan orang hurufi, aksara
bukan sekedar difungsikan sebagai alat komunikasi. Aksara muasal diri manusia,
karena dirinya sendiri adalah tanda sebagaimana aksara yang mengatur bebunyian
dalam gelombang suara. Satu medium pula di mana antar manusia ---sebagaimana
dirinya berhubungan dengan Tuhan melalui teks--- dapat berhubungan tanpa
bicara. Bagi hurufi keberaksaraan selalu menjadi penyeimbang fungsi propaganda
dan veyourisme. Maka hubungan manusia dan aksara selalu lebih intim daripada
yang lainnya.
Lalu jika kita dapat merunut prinsip
genealogi dalam filsafat dekontruksi, tentang asal-muasal yang merujuk pada
kata kemunculan (enstehung),
kesadaran keberaksaraan akan membantu seorang manusia melepaskan dirinya dalam dominasi
sejarah garis keturunan (hernkuft). Seorang pemimpin akan lahir bukan karena ia
memiliki darah seorang raja, tapi seseorang muncul sebagai pemimpin karena
karakter keberaksaraanya. Di Indonesia meski demokrasi sedang tumbuh begitu
cepat, politik dinasti masih sangat kuat. Sistem kebudayaan patriarkal yang
dibumbui kapitalisme, membuat para pendiri partai politik mempertahankan kekuasaannya
secara turun-temurun, menganggap parpol bukan lagi sebagai alat perjuangan,
tetapi tak ubahnya badan usaha.
/2/
Selain itu kesadaran keberaksaraan
akan melahirkan pakem bagi bergulirnya vokasionalisme radikal di Indonesia, sebuah penyakit pragmatisme
dalam kanal-kanal virtual dan transaksi politik. Vokasionalisme merupakan roda
yang menggilas budaya kritis kita sebagai bangsa. Sebuah penyakit yang
menimbulkan rasa malas dalam melakukan pembacaan termasuk upaya penciptaan
tanda-tanda.
Vokasionalisme selalu mensaratkan
hadirnya seorang pembaca yang pasif dengan aksara-aksara tanpa penguatan tanda
atau simbol. Ia menjadikan kesederhanaan sebagai usaha pendangkalan jiwa dan
pikiran manusia, sementara pembangunan-tanda adalah kesederhanaan yang melahirkan
pembaca aktif, memperlakukan bacaannya wahana pelatihan kritisisme, baik atas
dirinya maupun bacaannya sendiri.
Maka bisa dijelaskan bahwa kondisi
keterpurukan minat baca akan berhubungan pada kelas intelektual sebagai pengemban
tugas pembangun-tanda, hal ini merupakan linaksa bagi upaya mencerahkan
kehidupan masyarakatnya. Keterpurukan minat baca tidak bisa mempersalahkan masyarakat
awam semata, tapi sejauhmana kaum intelektual dapat melakukan penciptaan tanda
yang mampu terbaca.
Bahan bacaan sendiri pada era
vokasionalisme berusaha menghindari upaya-upaya penciptaan tanda, teks hanya
dianggap sebagai manual book, pembaca
akhirnya mengartikan teks semacam mekanisme bagi kehidupannya. Tujuh Langkah Menuju Sukses Dunia dan
Akhirat, misalnya, selain bisa dikatakan melulu mekanis, pemahaman
keagamaan di jaman ini berubah menjadi spiritualisme dangkal, pemuas kebutuhan
jiwa tanpa usaha menggali kedalaman.
Jadi bagaimana sebenarnya
meningkatkan minat baca dalam usaha pembangunan tanda?
Ia harus selalu dimulai dari usaha
kaum intelektual dalam kapasitasnya sebagai pembaca tanda-tanda jaman yang direduksi
menjadi usaha pembangunan tanda. Lalu Menyalinnya ke dalam usaha estetik yang
merangsang minat baca. Agama Islam yang datang ke Indonesia, misalnya, bahkan
memiliki warna dan khazanah yang berbeda sebagai ekses cara penyebaranya secara
estetik. Kehadiran wali songo serta kehadiran karya-karya mistik kaum sufi
menjadikan Islam berkembang dalam wajah yang lain dari nuansa tanah kelahiran
agama itu sendiri. Maka pertanyaannya bukan pada sejauhmana keberhasilan
penyebaran Islam itu, tapi sejauhmana Islam berkembang dalam nuansa
kebangsaannya sendiri, sehingga ia dapat mencukupi identitas keagamaan di dalam
prinsip rahmatan lil alamin.
/3/
Estetika selalu memiliki harapan
meningkatkan minat baca masyarakat. Ia adalah upaya keselarasan dan kesahajaan
dalam pembentukan tanda-tanda, sehingga dapat dibaca melalui stimulasi
kandungan artistik.
Namun belakangan estetika selalu
dikaitkan dengan akrobatik, saya sering kali menyebutnya sebagai perayaan
kematian nalar. Termasuk dalam kesustraan, estetika selalu menyoal usaha
penciptaan tanda pada tingkat paling tinggi dari realitas itu sendiri. Sehingga
sulit dicapai oleh orang awam biasa. Bahkan bukan lagi hyperealitas, tapi
sebuah kesombongan literal yang terus mendekat pada irasionalisasi.
Realitas tinggi muncul sebagai
kegelisahan kaum elit di barat berkaitan dengan cara pandangnya mempertahankan
hidup secara iklimitas, pada fase itu kegelisahan memuncak pada usaha menjawab
pertanyaan-pertanyaan mendasar secara menegangkan.
Dalam soal ketuhanan, penulis Jepang
Mishima membakar kuilnya sendiri memasuki jiwa moksanya dalam karyanya Kuil
Kencana. Estetika penghancuran dalam Karya ini justru dikatakan Mishima sebagai
perjalanan puncak religius. Jika soal barat dan timur sudah menjadi begitu
Nirzona, usaha Mishima masih mempertahankan ketuhanannya sendiri, berbeda
dengan karya-karya penulis barat yang menari dalam alunan requiem aeternam deo, sebagai ekspresi kekuatan sejati manusia.
Maka menurut saya warna-warna karya
penulis Indonesia haruslah menghikmahi kondisi iklimitasnya yang tropik yang
memiliki kekuatan samadya, santai tapi memiliki kedalaman, ngepop namun
mencerdaskan, serius tapi mengandung keasyikan. Artinya penciptaan tanda
haruslah relevan dengan cita-cita pergerakan menuju kemanusiaan sejati, kembali
kepada khittahnya, bahwa ia adalah daya bagi pemindahan peristiwa kebenaran ke
dalam sebuah simbol yang mudah dipahami sekaligus mengasyikan.
Dengan demikian karya-karya sastra
akan banyak di lirik oleh berbagai kalangan, sebagai awal stimulus minat baca
masyarakat. Mampukah karya sastra menjadi pembuka?
***
Cikarang, 13 Februari 2011
Catatan Kebudayaan Buletin Jejak
April 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar