Senin, 07 November 2011

Esai

Penciptaan Tanda dalam Usaha Meningkatkan Minat Baca
Oleh: M Taufan Musonip

“Kita sendiri adalah bagian akhir dari metamorfosa hurufi”
/1/
Dinamika Keruangan, Fadjar Sidik (1969)
Cat minyak di atas kanvas / Oil on canvas, 94 x 64 cm, Inv. 383/SL/B

Apa yang dapat kita maknai dari kutipan di atas? Frasa itu pernah menjadi jiwa bagi tradisi tarekat aksara abad pertengahan di Persia, di Indonesia tradisi hurufi menjadi begitu berkembang dalam lukisan kaligrafi. Namun bukan lukisan kaligrafi biasa yang dimaksud, ia adalah sejenis tulisan tolak bala yang ditempel di setiap dinding rumah. Kaligrafi itu dibuat dalam kertas putih, dibentuk dalam rupa lingkaran, segitiga atau pedang. Terkadang dinukil pula ayat suci Al Qur’an, bercampur baur dengan huruf-huruf dan gambar-gambar simbolik.
Meski indah, tradisi hurufi seperti ini jarang diapresiasi seperti layaknya lukisan kaligrafi mainstream yang ada di masjid-masjid atau gedongan. Kehadirannya yang sarat simbolik dan selalu ada di rumah-rumah kaum pinggiran, membuat lukisan ini selalu bernuansa klenik. Saya ingin menarik tradisi hurufi tersebut ke dalam wacana budaya literasi masyarakat Indonesia yang dinilai sedang terpuruk.

Bagi kepercayaan orang hurufi, aksara bukan sekedar difungsikan sebagai alat komunikasi. Aksara muasal diri manusia, karena dirinya sendiri adalah tanda sebagaimana aksara yang mengatur bebunyian dalam gelombang suara. Satu medium pula di mana antar manusia ---sebagaimana dirinya berhubungan dengan Tuhan melalui teks--- dapat berhubungan tanpa bicara. Bagi hurufi keberaksaraan selalu menjadi penyeimbang fungsi propaganda dan veyourisme. Maka hubungan manusia dan aksara selalu lebih intim daripada yang lainnya.
Lalu jika kita dapat merunut prinsip genealogi dalam filsafat dekontruksi, tentang asal-muasal yang merujuk pada kata kemunculan (enstehung), kesadaran keberaksaraan akan membantu seorang manusia melepaskan dirinya dalam dominasi sejarah garis keturunan (hernkuft). Seorang pemimpin akan lahir bukan karena ia memiliki darah seorang raja, tapi seseorang muncul sebagai pemimpin karena karakter keberaksaraanya. Di Indonesia meski demokrasi sedang tumbuh begitu cepat, politik dinasti masih sangat kuat. Sistem kebudayaan patriarkal yang dibumbui kapitalisme, membuat para pendiri partai politik mempertahankan kekuasaannya secara turun-temurun, menganggap parpol bukan lagi sebagai alat perjuangan, tetapi tak ubahnya badan usaha.

/2/
Selain itu kesadaran keberaksaraan akan melahirkan pakem bagi bergulirnya vokasionalisme radikal  di Indonesia, sebuah penyakit pragmatisme dalam kanal-kanal virtual dan transaksi politik. Vokasionalisme merupakan roda yang menggilas budaya kritis kita sebagai bangsa. Sebuah penyakit yang menimbulkan rasa malas dalam melakukan pembacaan termasuk upaya penciptaan tanda-tanda.
Vokasionalisme selalu mensaratkan hadirnya seorang pembaca yang pasif dengan aksara-aksara tanpa penguatan tanda atau simbol. Ia menjadikan kesederhanaan sebagai usaha pendangkalan jiwa dan pikiran manusia, sementara pembangunan-tanda adalah kesederhanaan yang melahirkan pembaca aktif, memperlakukan bacaannya wahana pelatihan kritisisme, baik atas dirinya maupun bacaannya sendiri.
Maka bisa dijelaskan bahwa kondisi keterpurukan minat baca akan berhubungan pada kelas intelektual sebagai pengemban tugas pembangun-tanda, hal ini merupakan linaksa bagi upaya mencerahkan kehidupan masyarakatnya. Keterpurukan minat baca tidak bisa mempersalahkan masyarakat awam semata, tapi sejauhmana kaum intelektual dapat melakukan penciptaan tanda yang mampu terbaca.
Bahan bacaan sendiri pada era vokasionalisme berusaha menghindari upaya-upaya penciptaan tanda, teks hanya dianggap sebagai manual book, pembaca akhirnya mengartikan teks semacam mekanisme bagi kehidupannya. Tujuh Langkah Menuju Sukses Dunia dan Akhirat, misalnya, selain bisa dikatakan melulu mekanis, pemahaman keagamaan di jaman ini berubah menjadi spiritualisme dangkal, pemuas kebutuhan jiwa tanpa usaha menggali kedalaman.
Jadi bagaimana sebenarnya meningkatkan minat baca dalam usaha pembangunan tanda?
Ia harus selalu dimulai dari usaha kaum intelektual dalam kapasitasnya sebagai pembaca tanda-tanda jaman yang direduksi menjadi usaha pembangunan tanda. Lalu Menyalinnya ke dalam usaha estetik yang merangsang minat baca. Agama Islam yang datang ke Indonesia, misalnya, bahkan memiliki warna dan khazanah yang berbeda sebagai ekses cara penyebaranya secara estetik. Kehadiran wali songo serta kehadiran karya-karya mistik kaum sufi menjadikan Islam berkembang dalam wajah yang lain dari nuansa tanah kelahiran agama itu sendiri. Maka pertanyaannya bukan pada sejauhmana keberhasilan penyebaran Islam itu, tapi sejauhmana Islam berkembang dalam nuansa kebangsaannya sendiri, sehingga ia dapat mencukupi identitas keagamaan di dalam prinsip rahmatan lil alamin.

/3/
Estetika selalu memiliki harapan meningkatkan minat baca masyarakat. Ia adalah upaya keselarasan dan kesahajaan dalam pembentukan tanda-tanda, sehingga dapat dibaca melalui stimulasi kandungan artistik.
Namun belakangan estetika selalu dikaitkan dengan akrobatik, saya sering kali menyebutnya sebagai perayaan kematian nalar. Termasuk dalam kesustraan, estetika selalu menyoal usaha penciptaan tanda pada tingkat paling tinggi dari realitas itu sendiri. Sehingga sulit dicapai oleh orang awam biasa. Bahkan bukan lagi hyperealitas, tapi sebuah kesombongan literal yang terus mendekat pada irasionalisasi.
Realitas tinggi muncul sebagai kegelisahan kaum elit di barat berkaitan dengan cara pandangnya mempertahankan hidup secara iklimitas, pada fase itu kegelisahan memuncak pada usaha menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar secara menegangkan.
Dalam soal ketuhanan, penulis Jepang Mishima membakar kuilnya sendiri memasuki jiwa moksanya dalam karyanya Kuil Kencana. Estetika penghancuran dalam Karya ini justru dikatakan Mishima sebagai perjalanan puncak religius. Jika soal barat dan timur sudah menjadi begitu Nirzona, usaha Mishima masih mempertahankan ketuhanannya sendiri, berbeda dengan karya-karya penulis barat yang menari dalam alunan requiem aeternam deo, sebagai ekspresi kekuatan sejati manusia.
Maka menurut saya warna-warna karya penulis Indonesia haruslah menghikmahi kondisi iklimitasnya yang tropik yang memiliki kekuatan samadya, santai tapi memiliki kedalaman, ngepop namun mencerdaskan, serius tapi mengandung keasyikan. Artinya penciptaan tanda haruslah relevan dengan cita-cita pergerakan menuju kemanusiaan sejati, kembali kepada khittahnya, bahwa ia adalah daya bagi pemindahan peristiwa kebenaran ke dalam sebuah simbol yang mudah dipahami sekaligus mengasyikan.
Dengan demikian karya-karya sastra akan banyak di lirik oleh berbagai kalangan, sebagai awal stimulus minat baca masyarakat. Mampukah karya sastra menjadi pembuka?
***
Cikarang, 13 Februari 2011
Catatan Kebudayaan Buletin Jejak April 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar