Oleh M Taufan Musonip
Nung, mendapati ayahnya sedang
menyusun keping-keping kolase. Pikirannya mengembara bagaimana dapat membuatnya
menjadi sebuah cerita utuh. Ayahnya sekarang lebih banyak membisu, tak pernah
mengerti bahwa kolase-kolase itu tak dapat disusun sebagaimana pikiran
menginginkannya.
Bocah itu menginginkan ayahnya
seperti sediakala dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan remeh temeh yang selalu
melintas dikepalanya. Seperti pertanyaan tentang siapa pemilik layang-layang
naga, yang selalu terbang mengibaskan ekornya siang hari menjelang senja. Ia
masih berharap ayahnya dapat membuatkan untuknya. Ayahnya bukan pembuat
layang-layang, ia hanya seorang pembuat cerita.
Kali ini memang ayahnya harus membuat
cerita secara sungguh-sungguh. Ia sudah menasbihkan diri menjadi seorang
pengarang, pekerjaannya dahulu sebagai seorang auditor, sudah ditanggalkan,
banyak mudaratnya dari pada manfaatnya. Menjadi Auditor lebih sering menguar
kongsi untuk sebuah kejahatan keuangan yang mesti disembunyikan, jika tidak begitu
ia akan menerima resiko dikorbankan dari jerat konspirasi.
Ia yakin, ia dapat menjadi seorang
pencerita hebat. Terbukti sebelumnya, kisah-kisahnya selalu diminati beberapa
koran lokal. Anehnya saat ia benar-benar menasbihkan diri sebagai seorang
pengarang, ia merasa mengalami kematian nalar: ia selalu gagal menyusun
penggalan-penggalan kisah yang terbit dipikirannya menjadi benar-benar utuh
sebagai cerita.
Maka meski setiap hari ayahnya ada,
Nung merasakan justru ayahnya semakin hilang. Ayahnya lebih sering membisu
daripada saat-saat ia menjadi seorang auditor, selalu saja ada waktu-waktu
bersamanya secara lengkap.
Kali ini Nung menganggap ayahnya
benar-benar tak menginginkannya. Nung bagai sebuah ruang kosong yang mencegah
nalarnya bekerja, Nung diusirnya, sudah beratus-ratus kali pertanyaan tentang
layang-layang naga itu tak pernah terjawab. Siapa pemiliknya?, di mana
kira-kira layang-layang itu diterbangkan dan sejuta mimpi bagaimana ayahnya
dapat membuatkannya.
“Mungkin itu layang-layang naga yang
terbang dari kelenteng Chin Tzu, Nung.” Kata ayahnya dulu, sebelum benar-benar
menjadi laki-laki dewasa yang autis.
Tapi setiap kali Nung mencarinya,
tepat di muka kelenteng yang berada tak jauh dari rumahnya, Nung tak pernah
melihat seseorang menerbangkannya. Namun Persoalannya sekarang bukan sekedar
layang-layang naga yang menari gelisah diudara, tapi ibunya yang selalu
memaksanya mampu mengeja huruf.
Ibunya kini geram, segala kata-kata
kotor keluar dari mulutnya membuat Nung benar-benar merasa menjadi seorang
bocah paling bodoh di muka bumi. Saat itu, ayahnya bangkit, membela Nung, bukan
dalam artian sebenarnya, karena kolase cerita yang sudah tersusun kembali
ambruk. Keping-keping Kolase itu pada akhirnya menjadi semacam roh yang mengisi
ruang hampa sebuah guci, gelas-gelas ukir dan vas bunga.
Suara pecahan mengudara, melengking.
Menjadi sebuah fasat cerita tanpa disusun secara sengaja. Dan Nung menganggap
buah cerita itu adalah ekor layang-layang naga di suatu siang yang sepi, yang
perlu ditatap, dilukiskan. Nung mendapatkan tembok, untuk melukiskan
layang-layang naga itu di muka rumah, tapi pertengkaran orang tuanya
memberontak kehendaknya, membuatnya lebih menyukai teduh pohon kersen, lima
ratus meter di luar pagar rumah, di pertigaan jalan menuju sebuah deretan Ruko.
***
Bongham mendapati Nung bergelantungan
di dahan kersen. Sudut matanya mengeluarkan kepedihan. Pras anaknya sedang
tergeletak tak berdaya di sebuah kamar kelas tiga rumah sakit. Nung seperti
Bongham merasakan kesepian yang sama.
Siang buta begini hanya Pras yang
selalu setia menemaninya, Bongham bukan seorang ibu yang memiliki kemampuan
dapat membuat Pras dapat tertidur siang hari. Bongham hanya lelaki pengangguran
dari seorang istri yang bekerja sebagai buruh sebuah pabrik di pinggiran kota.
Bagi Bongham, seperti pernah ia umbar
pada setiap ibu-ibu rumah tangga menjelang maghrib, anak-anak menjadi korban
ego ibunya saat mereka mengorbankan siang ke dalam mimpi mereka. Bongham
meyakini, bahwa anak-anak yang beraktifitas siang hari akan melancarkan kerja
otaknya yang tengah berkembang pesat, sementara anak-anak yang tertidur siang
hari akan membuat pikirannya rapuh dan mudah terkena pilek.
Maka Bongham, selalu terkenang akan
kenakalan anaknya bersama Nung, menyusun batu-batu menjadi semacam miniatur
kota. Tapi sekarang kenakalan Pras hanya menjadi memori yang mengkristal dari
sumber air matanya. Pras sedang merasakan sakit yang menganga di kepalanya. Itulah
yang membuat dirinya selalu bolak-balik ke rumah sakit.
Didekatinya Nung dengan perasaan
hampa. Mata Nung nanap di sebuah dahan, sementara Bongham mendekat padanya.
Apakah ada kabar gembira mengenai sahabatnya. Begitu tatap mata Nung. Tapi yang
dibawa Bongham adalah kabar mengenai siapa yang selama ini menerbangkan layang-layang
naga.
“Om mendapatkan siapa pemilik
layang-layang naga itu, Nung!,” teriak Bongham.
Nung menjatuhkan diri dari dahan
kersen. Benarkah, orang tua itu sudah mendapatkannya, kabar yang selama ini ia
cari jawabnya bersama sahabatnya Pras, hingga rela mengembara siang terik dari
lorong ke lorong jalan.
“Dan kau bisa memilikinya, Nung!.”
“Beneran, Om?.” Tanya Nung mengerutkan
dahinya, matahari begitu terik, siang ini.
Tiba-tiba tanpa disadari tubuh kecil
itu berjalan bersama Bongham, menelusuri sebuah jalan yang akan membawanya di
mana layang-layang itu diterbangkan. Mereka menaiki sebuah angkutan umum, di
pertigaan jalan. Sejenak kedua manusia itu lenyap mengukir jejak, sepi.
***
Semakin didekati layang-layang naga
itu semakin menjauh dari pandangan Nung. Ia pada akhirnya seperti ular naga
dalam setiap kisah pengantar tidur yang selalu dibawakan ayahnya jauh sebelum
menjadi seorang pengarang seperti sekarang, selalu memautkan misteri tentang
keberadaannya sebagai satu spesies yang berdiri sejajar bersama binatang rumah
tangga. Sebagaimana seekor bunglon atau kadal yang sering melintas di
pekarangan rumahnya. Dulu memang hewan itu mungkin pernah ada, entah sebagai
mimpi atau nyata. Begitu ayahnya pernah bilang.
Bongham berkata, bahwa ia akan
mengajak Pras sebelum mendapatkan siapa yang menerbangkannya dan bagaimana
memilikinya.
“Nung juga kangen kan, sama Pras.”
Nung mengangguk.
Hari beranjak malam, tibalah mereka
di sebuah rumah besar mirip rumah sakit. Dikatakan mirip karena ia memang tak
sepenuhnya seperti rumah sakit. Ada suara mendengung bagai mesin produksi di ruangan
lain. Seorang perempuan tiba-tiba muncul, langkah dan gayanya seperti seorang
suster yang biasa merawat seorang pasien.
Perempuan itu mengajak Nung pergi,
memberinya kembang gula dan beberapa mainan. Nung tergiur dan meninggalkan
Bongham sendirian, mungkin perempuan itu akan mengajaknya ke kamar Pras atau bisa
jadi, bagi Nung ini seperti ritual khitanan yang pernah ia alami beberapa tahun
lalu.
Nung melewati lorong-lorong gedung
itu, memang mirip rumah sakit, tapi terkadang mirip tempat pemotongan daging
hewan. Di sebuah lorong ada beberapa orang mengemas daging berbau anyir yang
dimasukan ke dalam sebuah kardus kemasan.
Tiba-tiba Nung merasa kepalanya
pening. Dan ia seperti memasuki sebuah ruang operasi. Dua orang lelaki yang
mengenakan pakaian layaknya seorang dokter menyuruhnya berbaring. Nung tak
pernah lagi tahu jalan cerita selanjutnya. Dia hanya merasakan sebuah tidur
yang agung.
***
Pras siuman. Kedua orang tuanya
memeluknya sangat dalam. Pras lalu bercerita bahwa ia bermimpi Nung
menerbangkan layang-layang naga. Ia seperti itu karena, suatu siang Pras telah
membawanya kepada seseorang yang selama ini dia cari, pemilik layang-layang
naga. Dan orang itu telah memberi Nung sebuah layang-layang naga, mengajarinya
bagaimana menerbangkannya.
“Pras kangen sama Nung, Pa!.”
Tiba-tiba Bongham mengeluarkan air
mata.
“Kenapa Papa menangis?”
Bongham tak menjawab. Istrinya
sendiri heran mengapa suami yang selama ini selalu tegar menghadapi segala
cobaan hidup, begitu terlihat sangat tertekan, terlebih pada hari-hari di mana
anaknya bangun dari setengah kematiannya.
“Papa bahagia kamu kembali,” ucap
Bongham lirih.
“ini apa, Pa?,” tanya Pras sambil mengusap
kepalanya yang retak ditisik kawat jejak operasi. “Mirip kenur layang-layang naga, dalam mimpi Pras.”
Bongham kembali terjatuh dalam
kesedihan. Ia seperti ingin mengatakan bahwa benang yang menjahit kepala anaknya
sehabis operasi memang untaian daging yang diambil dari perut Nung. Sisanya
adalah uang untuk membayar semua biaya perawatan anaknya itu.
Dan mungkin masih ada uang untuk
diberikan kepada orang tua Nung, orang tua yang mungkin sekarang sedang meratap
karena kehilangan anak yang pasti dicintainya, sekedar santunan, bahwa ia telah
mengirim anaknya kepada sang pemilik naga udara. Yang selama ini selalu
misterius di mata anak itu.
***
Cikarang-Pebayuran 2 November 2010
Dimuat di Majalah Horison edisi
Januari 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar