Kamis, 03 November 2011

Cerpen

-->Layang-layang Naga
Oleh M Taufan Musonip

     Nung, mendapati ayahnya sedang menyusun keping-keping kolase. Pikirannya mengembara bagaimana dapat membuatnya menjadi sebuah cerita utuh. Ayahnya sekarang lebih banyak membisu, tak pernah mengerti bahwa kolase-kolase itu tak dapat disusun sebagaimana pikiran menginginkannya.


     Bocah itu menginginkan ayahnya seperti sediakala dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan remeh temeh yang selalu melintas dikepalanya. Seperti pertanyaan tentang siapa pemilik layang-layang naga, yang selalu terbang mengibaskan ekornya siang hari menjelang senja. Ia masih berharap ayahnya dapat membuatkan untuknya. Ayahnya bukan pembuat layang-layang, ia hanya seorang pembuat cerita.


     Kali ini memang ayahnya harus membuat cerita secara sungguh-sungguh. Ia sudah menasbihkan diri menjadi seorang pengarang, pekerjaannya dahulu sebagai seorang auditor, sudah ditanggalkan, banyak mudaratnya dari pada manfaatnya. Menjadi Auditor lebih sering menguar kongsi untuk sebuah kejahatan keuangan yang mesti disembunyikan, jika tidak begitu ia akan menerima resiko dikorbankan dari jerat konspirasi.
     Ia yakin, ia dapat menjadi seorang pencerita hebat. Terbukti sebelumnya, kisah-kisahnya selalu diminati beberapa koran lokal. Anehnya saat ia benar-benar menasbihkan diri sebagai seorang pengarang, ia merasa mengalami kematian nalar: ia selalu gagal menyusun penggalan-penggalan kisah yang terbit dipikirannya menjadi benar-benar utuh sebagai cerita.
     Maka meski setiap hari ayahnya ada, Nung merasakan justru ayahnya semakin hilang. Ayahnya lebih sering membisu daripada saat-saat ia menjadi seorang auditor, selalu saja ada waktu-waktu bersamanya secara lengkap.
     Kali ini Nung menganggap ayahnya benar-benar tak menginginkannya. Nung bagai sebuah ruang kosong yang mencegah nalarnya bekerja, Nung diusirnya, sudah beratus-ratus kali pertanyaan tentang layang-layang naga itu tak pernah terjawab. Siapa pemiliknya?, di mana kira-kira layang-layang itu diterbangkan dan sejuta mimpi bagaimana ayahnya dapat membuatkannya.
     “Mungkin itu layang-layang naga yang terbang dari kelenteng Chin Tzu, Nung.” Kata ayahnya dulu, sebelum benar-benar menjadi laki-laki dewasa yang autis.
     Tapi setiap kali Nung mencarinya, tepat di muka kelenteng yang berada tak jauh dari rumahnya, Nung tak pernah melihat seseorang menerbangkannya. Namun Persoalannya sekarang bukan sekedar layang-layang naga yang menari gelisah diudara, tapi ibunya yang selalu memaksanya mampu mengeja huruf.
     Ibunya kini geram, segala kata-kata kotor keluar dari mulutnya membuat Nung benar-benar merasa menjadi seorang bocah paling bodoh di muka bumi. Saat itu, ayahnya bangkit, membela Nung, bukan dalam artian sebenarnya, karena kolase cerita yang sudah tersusun kembali ambruk. Keping-keping Kolase itu pada akhirnya menjadi semacam roh yang mengisi ruang hampa sebuah guci, gelas-gelas ukir dan vas bunga.
    Suara pecahan mengudara, melengking. Menjadi sebuah fasat cerita tanpa disusun secara sengaja. Dan Nung menganggap buah cerita itu adalah ekor layang-layang naga di suatu siang yang sepi, yang perlu ditatap, dilukiskan. Nung mendapatkan tembok, untuk melukiskan layang-layang naga itu di muka rumah, tapi pertengkaran orang tuanya memberontak kehendaknya, membuatnya lebih menyukai teduh pohon kersen, lima ratus meter di luar pagar rumah, di pertigaan jalan menuju sebuah deretan Ruko.
***
     Bongham mendapati Nung bergelantungan di dahan kersen. Sudut matanya mengeluarkan kepedihan. Pras anaknya sedang tergeletak tak berdaya di sebuah kamar kelas tiga rumah sakit. Nung seperti Bongham merasakan kesepian yang sama.
     Siang buta begini hanya Pras yang selalu setia menemaninya, Bongham bukan seorang ibu yang memiliki kemampuan dapat membuat Pras dapat tertidur siang hari. Bongham hanya lelaki pengangguran dari seorang istri yang bekerja sebagai buruh sebuah pabrik di pinggiran kota.
     Bagi Bongham, seperti pernah ia umbar pada setiap ibu-ibu rumah tangga menjelang maghrib, anak-anak menjadi korban ego ibunya saat mereka mengorbankan siang ke dalam mimpi mereka. Bongham meyakini, bahwa anak-anak yang beraktifitas siang hari akan melancarkan kerja otaknya yang tengah berkembang pesat, sementara anak-anak yang tertidur siang hari akan membuat pikirannya rapuh dan mudah terkena pilek.
     Maka Bongham, selalu terkenang akan kenakalan anaknya bersama Nung, menyusun batu-batu menjadi semacam miniatur kota. Tapi sekarang kenakalan Pras hanya menjadi memori yang mengkristal dari sumber air matanya. Pras sedang merasakan sakit yang menganga di kepalanya. Itulah yang membuat dirinya selalu bolak-balik ke rumah sakit.
     Didekatinya Nung dengan perasaan hampa. Mata Nung nanap di sebuah dahan, sementara Bongham mendekat padanya. Apakah ada kabar gembira mengenai sahabatnya. Begitu tatap mata Nung. Tapi yang dibawa Bongham adalah kabar mengenai siapa yang selama ini menerbangkan layang-layang naga.
     “Om mendapatkan siapa pemilik layang-layang naga itu, Nung!,” teriak Bongham.
     Nung menjatuhkan diri dari dahan kersen. Benarkah, orang tua itu sudah mendapatkannya, kabar yang selama ini ia cari jawabnya bersama sahabatnya Pras, hingga rela mengembara siang terik dari lorong ke lorong jalan.
     “Dan kau bisa memilikinya, Nung!.”
     “Beneran, Om?.” Tanya Nung mengerutkan dahinya, matahari begitu terik, siang ini.
     Tiba-tiba tanpa disadari tubuh kecil itu berjalan bersama Bongham, menelusuri sebuah jalan yang akan membawanya di mana layang-layang itu diterbangkan. Mereka menaiki sebuah angkutan umum, di pertigaan jalan. Sejenak kedua manusia itu lenyap mengukir jejak, sepi.
***
      Semakin didekati layang-layang naga itu semakin menjauh dari pandangan Nung. Ia pada akhirnya seperti ular naga dalam setiap kisah pengantar tidur yang selalu dibawakan ayahnya jauh sebelum menjadi seorang pengarang seperti sekarang, selalu memautkan misteri tentang keberadaannya sebagai satu spesies yang berdiri sejajar bersama binatang rumah tangga. Sebagaimana seekor bunglon atau kadal yang sering melintas di pekarangan rumahnya. Dulu memang hewan itu mungkin pernah ada, entah sebagai mimpi atau nyata. Begitu ayahnya pernah bilang.
     Bongham berkata, bahwa ia akan mengajak Pras sebelum mendapatkan siapa yang menerbangkannya dan bagaimana memilikinya.
      “Nung juga kangen kan, sama Pras.”
        Nung mengangguk.
     Hari beranjak malam, tibalah mereka di sebuah rumah besar mirip rumah sakit. Dikatakan mirip karena ia memang tak sepenuhnya seperti rumah sakit. Ada suara mendengung bagai mesin produksi di ruangan lain. Seorang perempuan tiba-tiba muncul, langkah dan gayanya seperti seorang suster yang biasa merawat seorang pasien.
      Perempuan itu mengajak Nung pergi, memberinya kembang gula dan beberapa mainan. Nung tergiur dan meninggalkan Bongham sendirian, mungkin perempuan itu akan mengajaknya ke kamar Pras atau bisa jadi, bagi Nung ini seperti ritual khitanan yang pernah ia alami beberapa tahun lalu.
      Nung melewati lorong-lorong gedung itu, memang mirip rumah sakit, tapi terkadang mirip tempat pemotongan daging hewan. Di sebuah lorong ada beberapa orang mengemas daging berbau anyir yang dimasukan ke dalam sebuah kardus kemasan.
      Tiba-tiba Nung merasa kepalanya pening. Dan ia seperti memasuki sebuah ruang operasi. Dua orang lelaki yang mengenakan pakaian layaknya seorang dokter menyuruhnya berbaring. Nung tak pernah lagi tahu jalan cerita selanjutnya. Dia hanya merasakan sebuah tidur yang agung.
***
      Pras siuman. Kedua orang tuanya memeluknya sangat dalam. Pras lalu bercerita bahwa ia bermimpi Nung menerbangkan layang-layang naga. Ia seperti itu karena, suatu siang Pras telah membawanya kepada seseorang yang selama ini dia cari, pemilik layang-layang naga. Dan orang itu telah memberi Nung sebuah layang-layang naga, mengajarinya bagaimana menerbangkannya.
     “Pras kangen sama Nung, Pa!.”
     Tiba-tiba Bongham mengeluarkan air mata.
     “Kenapa Papa menangis?”
     Bongham tak menjawab. Istrinya sendiri heran mengapa suami yang selama ini selalu tegar menghadapi segala cobaan hidup, begitu terlihat sangat tertekan, terlebih pada hari-hari di mana anaknya bangun dari setengah kematiannya.
     “Papa bahagia kamu kembali,” ucap Bongham lirih.
     “ini apa, Pa?,” tanya Pras sambil mengusap kepalanya yang retak ditisik kawat jejak operasi.  “Mirip kenur layang-layang naga, dalam mimpi Pras.”
     Bongham kembali terjatuh dalam kesedihan. Ia seperti ingin mengatakan bahwa benang yang menjahit kepala anaknya sehabis operasi memang untaian daging yang diambil dari perut Nung. Sisanya adalah uang untuk membayar semua biaya perawatan anaknya itu.
     Dan mungkin masih ada uang untuk diberikan kepada orang tua Nung, orang tua yang mungkin sekarang sedang meratap karena kehilangan anak yang pasti dicintainya, sekedar santunan, bahwa ia telah mengirim anaknya kepada sang pemilik naga udara. Yang selama ini selalu misterius di mata anak itu.
***
Cikarang-Pebayuran 2 November 2010
Dimuat di Majalah Horison edisi Januari 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar