Rabu, 02 November 2011

Esai

              Sastra Islam Yes, Media Massa Islam No
Oleh: M Taufan Musonip

Tak ada lagi kepercayaan bahwa kehidupan duniawi dan kehidupan langit tergambar secara dualisme. Orang-orang eksistensialis meyakini, kebersatuan itu bermula dari kesadaran manusia untuk mencipta. Menyelesaikan dirinya sebagai manusia yang mampu menundukan semesta.
Maka ritus-ritus kesucian haruslah memberi resonansi kesadaran akan kreatifitas manusia, yang secara fitrah adalah mahluk-mahluk sekuler, manusia yang tak pernah terhindar dari persoalan-persoalan duniawi.
Jika demikian, sebenarnya agama tak pernah absen dari unsur-unsur keprofanan, jika ia memiliki abstraksi dimensi hukum pengaturan semesta (sains dan teknologi) dan sosial. Semakin sekuler, semakin religiuslah ia. Hal ini berkebalikan dengan sekularisasi di barat, semakin sekuler ia semakin menjauhlah ia dari agama, meskipun pada dasarnya tak semua pemikir di barat salah memahami sekularisasi itu. Masih ada para pemikir di sana, yang kuat sekali keyakinan keagamaannya, tapi tak pernah absen dari sumbangannya terhadap dunia.
Namun bagaimanapun, pada akhirnya religiositas haruslah menempuh puncak daripadanya, yang bersumber dari mistifikasi sebagai inner circle keilahian. Kata mistik tak harus lagi diartikan sebagai klenik, hal-hal yang kita sebut semata-mata sebagai takhayul. Kata mistik, dalam pengertian mutakhir diartikan sebagai puncak dari eksebisi pemikiran manusia.
Para sastrawan dewasa ini berhasil memanfaatkan ritus-ritus suci dalam membangkitkan spiritual kehidupan manusia. Memiliki pandangan mistik, sebagai puncaknya. Sebut saja karya-karya pengarang, yang hilir mudik di media massa. Seperti karya pengarang muda Miftah Fadhli, Masjid Penuh Malaikat (Republika, 5 Desember 2010) atau Suara Adzan karya Suhairi Rachmad (Republika, 14 November 2010). Menandakan momentum karya seni sastra sebagai semangat ---meminjam istilah Heiddeger--- sein zum tode, bagaimana dengan cerdas pengarang mengaitkan antara kematian dengan kehidupan.
Sein zum tode, mempersoalkan bahwa waktu di dunia adalah sebuah penyadaran, semakin manusia menghendaki ilmu pengetahuan yang dikelilingi oleh kehendak kreatif dirinya maka ia akan selalu mengalami kebinasaan.
Tak ada waktu yang cukup bagi kemalasan, raga-raga yang melawan sang atma. Waktu selalu merupakan tiang penyangga antara langit dan bumi. Maka memerlukan loncatan-loncatan supaya aliran darah selalu sempurna menggerakan tubuh, dalam berbagai gesturenya.
Di sanalah maka kematian selalu berdampak pada sejauhmana manusia memiliki kemampuan berderma. Kemampuan inilah yang menjadi inspirasi bagaimana unsur mistik dikaitkan dengan kehidupan sekuler, kehidupan yang masih berkutat pada persoalan kesenjangan ekonomi dapat dijadikan sebagai dasar empati antar umat manusia.
Kematian dalam hal ini menjadi moda bahwa manusia haruslah semakin peduli kepada sesama, dalam tiap waktunya. Waktu menjadi bergerak dinamis, persoalan “ada” manusia bukan lagi menjalani waktu mekanis, tapi waktu ada, sesaat setelah ia berkorban terhadap sesama.
Simak misalnya Cerpen Rifan Nazhif (Tangan, Republika 26 Desember 2010) yang hampir senafas unsur mistiknya dengan pengarang muda Miftah Fadhli (Masjid Penuh Malaikat), sang aku yang berprofesi sebagai penulis lepas, berhari-hari kehilangan tangannya untuk dipergunakannya menulis. Beberapa jemarinya kaku tak bisa digerakan, keadaan itu membawanya dirinya untuk segera mengadu kepada Sang Pemilik Tangan, Pemilik Raga Absolut, di tempat ibadahnya. Maka pengarang telah menyimpulkan bahwa kejadian yang menimpa dirinya, adalah karena selama ini sang aku tak pernah berderma kepada sesama yang di simbolkan dalam tokoh lain.
Ritus
Pengarang nampak berhasil memanfaatkan ritus-ritus suci dalam mendengungkan resonansi sekularisme yang benar (entmytologisierung). Miftah Fadhli berhasil membuat suasana mistik dalam simbol masjid yang terkunci, atas meninggalnya seorang dermawan, karena kematiannya diumumkan oleh ‘para malaikat’ (Masjid Penuh Malaikat).
Akan tetapi apakah yang religius selalu menambatkan ritus-ritus suci di dalamnya?. Sehingga hal itu menjadi semacam standar penilaian bahwa sebuah karya sastra yang menukil simbolisasi agamanya adalah sesuatu yang layak, pada eksistensi media massa bernafaskan Islam?.
Padahal karya sastra religius terutama sastra islami dengan acuan nilai-nilai kebenaran yang diyakininya musti meliputi hal yang lebih kompleks. Jika Agama Islam mengafirmasi pengaturan  dunia secara lebih konkret oleh sains, mengapa tidak ada karya sastra islami yang memiliki warna saintifik?. Jika Agama Islam meyakini politik sebagai cara dalam kehidupan manusia mengenai pengaturan kehidupan melalui kepemimpinan, mengapa tidak ada karya sastra islami yang menandingi karya-karya sastra bernuansa politik yang menandingi karya-karya Martin Aleida atau Eka Kurniawan ditempat lain. Jika agama Islam konsen terhadap ketertindasan, kenapa tidak ada penilaian karya-karya sastra yang bermuatan itu dikategorikan sebagai karya sastra islami?
Yang lebih mengkhawatirkan adalah bahwa media massa islam yang memuat karya sastra  jumlahnya semakin kecil, sisanya adalah media-media massa yang selalu mengusung politik jihadis, dan cenderung anti kesastraan.
Oleh karenanya kita tertambat pada media islami yang ada, yang dapat menampung karya sastra terlepas dari penilaian simbolisasi keagamaan. Mengingat apa yang pernah disampaikan Kuntowijoyo dalam bukunya yang bertema islami (Muslim Tanpa Masjid, Mizan), tentang seni sastra Islam, dia pernah bertanya senada dengan kampiun pelukis kaligrafi Indonesia, AR Fachruddin (Pak AR), “Apakah benar, seni sastra Islam dapat meningkatkan kesadaran keimanan pada penikmatnya?”--- sejalan dengan sejauhmana misalnya, penikmat karya kaligrafi dapat meningkatkan keimanannya setelah ia menikmati karya tersebut? Demikian pula halnya dengan menara-menara indah yang ada di setiap masjid, sejauhmana ia dapat menyadarkan orang-orang yang melewati dan menikmati keindahan menara itu bisa merubah dirinya menjadi manusia yang bertambah keimanannya terhadap Tuhan. Apakah kesenian bernafas religius dapat menjaminnya?. Jika tidak, bukankah hal itu menjadi suatu yang mubah?.
Pada akhirnya kita meyakini bahwa sejatinya seni sastra islami, bukanlah semata-mata sebagai alat dakwah tapi merupakan sebuah bentuk aktualisasi dan tasbih bagi penciptanya. Jika ia harus berkiblat pada kesenian secara adiluhung, dua prasyarat itu (aktualisasi diri dan tasbih) musti lebih kental dari prihal yang pertama (dakwah). Jika ia harus menjadi media penyampai nafas nilai-nilai agama ia haruslah bersifat syi’ar ketimbang dakwah.
Menyadari hal itu, nyatanya masih ada karya-karya bernafaskan islami yang berfokus kepada mistifikasi dan unsur spiritual tidak ditampung oleh media bernafaskan Islam karena tidak memuat ritus-ritus kesuciannya. Apakah kemudian harus berbunyi statemen dari para pengarang, seperti ungkapan Caknur: Sastra Islam Yes, media massa Islam No?.
***
Cikarang, 29 Desember 2010
Dimuat di Majalah Sabili Januari 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar